Season 2 : The Beginning (1)

Srak..srak..

Suara daun kering yang terinjak itu terdengar renyah mengusikkan telinga namun tak membawa perasaan menyebalkan. Daun kering yang berjatuhan tak tertahankan, membawa lebih banyak dan berserakan daun untuk diinjak oleh pejalan kaki yang melintasi areanya.

Sepasang mata menatap kearah pohon yang jarak puncaknya lebih tinggi kurang lebih 2,5 meter dari tubuhnya. Sambil berjalan pelan dengan bawahan alas sepatu yang terlihat beberapa bekas remahan daun kering. Tepat ketika angin penjuru membawa kesejukan meniup pelan rambut-rambut kecil milik seorang lelaki yang kini menghentikan langkah pelannya untuk sekedar menutup mata, menikmati terpaan angin penjuru yang sedang melambungkan rasa lelahnya. 

Tangan lelaki itu masuk kedalam saku celana komprangnya diikuti dengan helaan nafas lembut dari mulut bersamaan dengan tiupan angin yang perlahan meninggalkan sosok jangkung lelaki tersebut untuk membawa kesejukan bagi penduduk dunia selain dirinya yang ada di sekitar sana. Sebuah tekstur kering menerpa wajah lelaki tersebut. Membuat pemilik wajah seketika membuka mata dan melihat ke bawah dekat sepatu, kemudian menyimpulkan sebuah daun kering sempat jatuh menerpa wajahnya. Sekarang, daun-daun kering disekitarnya kembali bertambah dan bertumpuk diatas daun yang telah lelaki itu injak sebelumnya. 

Mata lelaki itu kembali menatap ke arah pohon, sehelai-dua helai daun kering kembali jatuh menerpa wajah. Sang pemilik wajah mulai berfikir mungkin pohon itu akan segera gundul jika helai daunnya terus berguguran karena paparan matahari musim kemarau serta angin yang melemahkan hubungan daun dengan batang-batang kecil pengerat pada pohon tersebut.

Cuaca cerah, langit biru indah yang setelah ini akan segera berakhir karena posisi sang matahari yang sudah condong ke arah barat.

Suara beberapa kelompok burung yang sayup sayup makin terdengar kencang dari kejauhan. Beberapa diantaranya mulai mencari tempat bertengger untuk istirahat dari aktivitasnya sepanjang hari tadi. Memenuhi pohon-pohon yang ada di sekitar lelaki itu, membawa hasil makanan untuk anak-anak burung yang menunggu di sarang, menyiapkan diri untuk cuaca dingin dari kegelapan malam yang akan datang sebentar lagi. 

Pandangan lelaki itu beralih ke sebuah bangku kayu dekat pohon yang telah menjatuhkan daun pada wajahnya berulang kali. Lelaki itu kemudian berfikir mungkin ini adalah saat yang pas untuk melihat matahari terbenam. Hal tersebut membawa langkahnya mendekati bangku kayu dan mendudukinya di posisi yang sedikit memojok ke kiri bangku, menyisakan banyak ruang di sebelah, entah mengapa lelaki itu melakukannya, sudahlah yang terpenting dia bisa duduk dengan nyaman sekarang. 

Kilauan cahaya jingga pada air yang ada di hadapan lelaki itu. Air mengenang di danau menjadi tempat beberapa angsa yang berenang di tepinya, tanpa sengaja kilauan cahaya tadi juga mengenai bulu-bulu putihnya yang rapat dan sedikit basah terkena air, membuat angsa-angsa tersebut bersinar. 

Mata itu termanjakan sepenuhnya, memang dia tak salah memilih tempat untuk merilekskan jiwa dan raganya di hari terakhir libur kerja. Setelah ini, mungkin dia tak akan pernah ada waktu untuk duduk bersantai disini. 

Kemudian sayup-sayup terdengar suara anak kecil, dengan cepat anak-anak itu berlari melewati lelaki yang tengah terduduk itu, menganggu pandangannya, membuat lelaki itu refleks menoleh ke arah anak kecil itu yang tersenyum sambil membawa sebuah balon berwarna biru. Dia berhenti berlari lalu menatap ke arah larinya tadi, peluh membasahi kening dan lehernya, dengan nafas tersengal masih mencoba tetap tersenyum. Tak perlu waktu lama suara-suara kembali terdengar di telinga lelaki tersebut dari arah awal anak itu berlari tadi. Lewat lagi di hadapan lelaki itu sepasang pria dan wanita yang mengikuti arah anak kecil yang berlari tadi sambil memasang wajah khawatir. 

Sang wanita kemudian berjalan lebih cepat daripada pria disampingnya lalu jongkok di hadapan anak kecil tersebut, sambil merogoh dalam tas kecil yang dibawanya, mengeluarkan sebuah sapu tangan.

"Adek kan mama sudah bilang jangan lari, kalau jatuh gimana dong?" ucap wanita itu sambil mengelap kening dan leher anak kecil yang berkeringat itu.

Anak kecil itu hanya bisa tersenyum meringis. Sedangkan wanita itu dengan wajah khawatir mengelap peluh berlebih pada kening dan leher putranya. 

Kemudian wanita dan pria tersebut menatap anak laki-laki itu yang sepertinya sedang bercerita kepada keduanya. Gerak-gerik tubuh lincah si anak berhasil membuat kedua manusia berusia pertengahan 30 an di hadapan anak tersebut tertawa kecil. Selang beberapa menit wanita itu kembali berdiri dan memasukkan sapu tangan kembali ke dalam tasnya.

Anak kecil tersebut kemudian meneruskan jalannya, namun dia tak lagi berlari lalu memegang balonnya semakin erat, sangat riang. Lalu diikuti, pria dan wanita dari belakang, keduanya perlahan mengaitkan jari jemari hingga menjadi gandengan tangan yang erat, berjalan mengikuti anak tersebut, ketiganya menjauh dari hadapan lelaki itu.

Pupil lelaki tersebut masih menetap tak berhenti melihat ketiga manusia tadi. Pikiran yang entah menuju ke arah mana dipicu dari apa yang baru saja ia lihat, perlahan membuat hatinya sedikit tersengat. 

Sejak kapan..

Terakhir kali itu terjadi padaku.

Mungkin itu yang bisa dilihat dari ekspresi lelaki yang sempat dibuyarkan lamunannya oleh suara sisa burung di langit sehingga membuatnya kembali menatap matahari. Namun tentu saja pikiran itu akhirnya kembali, tak dapat tertahankan. Dia menatap tangan yang jemarinya mulai mengikat-bermain satu sama lain, dia tetap terdiam dengan pupil yang bergetar. Sepertinya sosok jangkung itu tengah berfikir sesuatu, sesuatu yang entah mengapa tidak menyiratkan suatu kebahagiaan dalam raut wajahnya sedikitpun.

"Kalau saja, keluargaku bukanlah pewaris itu, aku takkan hidup sebatang kara seperti ini."

Pohon-pohon hijau itu kembali digoyangkan daunnya oleh angin seraya matahari yang semakin menyelip berusaha memasuki bayangan dalam lautan.

"Aku hidup cukup dari pekerjaanku, aku dapat memenuhi kebutuhanku, semua itu seharusnya bisa membuatku puas."

Dia tak seharusnya mengeluh seperti ini, namun dia sangat jarang menangisi hidupnya yang sudah tak berwujud. Kacau, seperti rumah-rumah bambu yang tertiup angin topan. 

"Namun mengapa-" 

"Mengapa aku merasa hampa dan sepi?"

Sejenak kemudian dia kembali memandang matahari yang semakin cantik dengan awan dan langit disekitarnya.

"Aku keluar dari rumah bukan hanya untuk menghindari mereka yang telah mengekangku, aku ingin hidup selayaknya orang biasa, lalu mengapa ?"

Setelah mengatakan hal tersebut, tangannya terdiam, lelaki itu menghela nafas.

Helaan nafas yang kasar.

"Kalau saja, aku bisa menjadi anak kecil yang mudah melupakan masalah hidup."

Setelah itu dia terdiam.   

Klak, klak! 

Entah karena keadaan sore yang begitu sunyi, lelaki itu sampai bisa mendengar suara sepatu hak seseorang di belakang kursinya.

Awalnya dia mengabaikan, namun suara sepatu itu makin lama seperti makin mendekat ke arah tempat duduknya sekarang.

"Namun, jika menjadi anak kecil kau tidak akan bisa memahami masalah hidup, kau hanya akan terus melupakan masalahmu."

Suara lembut seorang wanita terdengar dari belakang lelaki itu. Wangi parfum vanilla dari wanita itu sontak membuat lelaki itu menoleh ke arah belakang.

Dilihatnya seorang wanita dengan rambut pirang dan berkacamata persegi panjang tipis tersenyum dan sedikit memiringkan kepala kearahnya.

"Hai! apakah aku bisa duduk di bangku ini?" Tanya wanita itu riang.

Lelaki itu berkedip beberapa kali, bingung, akhirnya dia hanya membalas dengan anggukan.

Pupil lelaki itu mengikuti gerakan wanita yang dengan cepat menuju ke arah bangku dan duduk di sisi kosong sebelah kanan sambil membenahi roknya yang selutut berwarna coklat tua sehingga bisa duduk denga nyaman. Setelah itu dia merapikan kemeja blus merah muda sepertiga lengan yang dimasukkan kedalam rok itu sebelum benar-benar duduk diam disebelah lelaki tersebut sambil melepas kacamatanya.

Harum parfum wanita itu benar-benar menyerbak, walaupun kini pandangan si laki kembali ke pemandangan senja, namun baunya membuat ia tak fokus.

Dia sedikit melirik ke arah wanita itu dan ternyata wanita tersebut juga memandang senja bersamanya. 

..

"Jadi ada apa?" Tanya wanita disebelahnya secara tiba-tiba, hal itu sedikit membuat lelaki tersebut terkejut.

"Ah, seberapa banyak kamu mendengarkannya?" Spontan lelaki itu melempar pertanyaan kembali.

"Tak banyak," 

Lelaki itu menghela nafas lega.

"Apa kau kabur dari rumah?"

"Itu berarti kamu mendengarkan segalanya." Sambung cepat lelaki itu mengerti bahwa dia terlalu keras mengatakan masalah hidupnya. 

Hah..ini merepotkan, dia tidak sedang ingin dinasehati, haruskah dia pergi dari sini? Namun sayang sekali, matahari akan segera terbenam sesaat lagi, dia datang satu setengah jam hanya untuk pemandangan ini.

"Maaf aku harus-"

"Aku tidak menyalahkanmu untuk itu." Ucap wanita itu tiba-tiba.

Lelaki itu terdiam.

"Kau tau? Aku juga kabur dari rumahku yang sangattt jauh dari sini." 

Wanita itu kemudian menoleh ke arah lelaki yang sudah sedari tadi memandanginya. Spontan wanita itu tersenyum.

"Kita berhak untuk memilih, walaupun itu berlawanan dengan apa yang seharusnya kita terima, wajar saja kalau setelah membuat keputusan seberat itu, kamu merasa cemas,"

"Itulah yang membuatmu merasa hampa walaupun sesuatu yang kamu putuskan adalah yang terbaik menurutmu." 

Angin sepoi-sepoi kembali bertiup, suara angsa-angsa danau sayup-sayup terdengar. Lelaki itu kemudian menundukkan kepalanya.

"Aku tidak pernah meminta takdir yang seperti ini." Lirih lelaki itu, masih dapat didengar oleh wanita sebelahnya.

"Jika takdir ini tidak terjadi, aku tidak perlu menjauh dari keluargaku, aku tidak perlu hidup sendirian seperti ini, aku tidak perlu khawatir tentang apapun!" ujar lelaki itu makin lama makin lantang.

Wanita yang semula menoleh ke arah lelaki itu kembali melihat senja. Terdiam.

Tanpa sadar setelah mengucapkan kata-kata itu lelaki  tersebut merasa nafasnya tersengal. Seperti melepaskan emosi dari kata-kata tersebut. Dia menyadari bahwa perilakunya membuat wanita itu tidak nyaman, dia sedikit panik melihat ekspresi wanita tersebut yang tak dapat dideskripsikan ketika melihat senja itu. 

"Maaf." Lirihnya singkat sambil mencuri pandang ke wanita di sebelahnya.

Setelah terdiam beberapa saat, wanita itu tanpa disadari mengukir sebuah senyum di sudut bibirnya.

"Kau benar." Ujarnya tenang.

Wanita itu tersenyum ke arah lelaki itu dengan mata tertutup.

"Kita tidak pernah meminta untuk dilahirkan dengan takdir yang sudah tak dapat diubah dan menyusahkan seperti ini." 

Masih tersenyum, sekejap kemudian mata wanita itu terbuka, sedikit berkaca-kaca, lelaki itu sepenuhnya melihat ke arah wanita itu dengan serius menatapnya lamat-lamat.

"Namun apa lagi yang bisa kita lakukan selain berusaha? Kita sudah terlanjur menjalani hidup ini bukan?" 

Sebuah kalung berwarna silver ternyata ada di lingkaran leher wanita itu sedari tadi, motif bunga dengan sedikit warna hijau. Hijau jade.

"Tidak akan adil bagi kita jika terus berprasangka buruk, disaat banyak orang yang lebih menderita dari kita. tapi mereka tetap menjalani kewajiban dan takdir hidupnya seperti yang sudah ditetapkan, bukan?"

Detik-detik sebelum matahari itu menghilang, sepucuk sinarnya dibantu langit merah dan awan itu mengenai sosok wanita yang kini duduk tak jauh dari posisi laki-laki tersebut di bangku. 

Membuat senyumnya semakin cerah, pantulan sinar kemerahan senja semakin pekat terbiaskan ke mata wanita tersebut. Sosoknya bersinar seperti angsa-angsa itu. Semakin indah. 

Semakin cantik.

Mata itu sampai rela tak memandangi senja yang sudah dia tunggu sejam lebih hanya untuk kilau sesaat dihadapannya saat ini dan membuat bulu roma lelaki itu berdiri.

Fisiknya bergetar, matanya tak terlepas dari wanita itu, seperti sesuatu sangat nyaman mendiami lelaki itu sekarang.

Setelah itu lelaki tersebut sedikit memiringkan kepalanya menatap wanita itu lebih dalam. 

Di lain pikiran, wanita itu baru tersadarkan sesuatu.

"Ah! Maafkan aku, tidak seharusnya aku mencampuri urusanmu, kumohon jangan anggap serius apa yang kukatakan, jadikan sebagai pelepas kecemasan saja." Ujar wanita itu sambil menatap lelaki tersebut panik.

"Siapa namamu?" Tanya lelaki itu.

"Eh?" 

Wanita itu bingung, namun segera menjawab pertanyaan lelaki itu.

"Ella Jade."

Lelaki itu tersenyum, membuat wanita itu salah fokus.

"Bersinar."

"Aku, Broto Wicaksono."

Wanita itu kembali tersenyum sedetik kemudian terkejut, karena lelaki itu menggeser duduknya sedikit lebih dekat ke arah wanita tersebut.

"Mungkin kita tidak akan pernah bertemu lagi, namun aku sangat berterimakasih karena kau sudah menyadarkanku sesuatu, Ella, ternyata, itu sederhana."

Senyum terukir semakin merekah di wajah wanita itu, membuat lelaki tersebut terpaku dengannya.

"Dengan senang hati, ini adalah hari yang berarti, Broto."

Bersamaan dengan itu langit menggelap, begitupun angsa-angsa yang naik ke darat berlari menuju pelukan beberapa petugas berbaju kuning, yang membawa mereka kembali. Senja telah berakhir.

"Apapun yang menjadi kehendak tuhan itu adalah takdir bukan?"

"Memang rasanya tidak adil karena alam semesta telah memberikan rasa ini kepadaku untuk mencintai mereka melalui sosokmu."

Itulah yang dipikirkan oleh lelaki itu sekarang, setelah tidak sengaja bertatapan mata dengan wanita itu. Wanita yang sama yang ia kenali di taman itu. Ella Jade.

"Ella Jade, dihadapanku."

Wanita itu mengedipkan kedua matanya beberapa kali terkejut dan bingung saat melihat Broto. Dia membawa beberapa lembar kertas di belakang orang yang dengan lantang memberikan briefing kepada seluruh petugas penambang batu bara di wilayah Broto bekerja. 

Itu adalah hari awal setelah libur kerja bagi seluruh petugas, dan yang sedang lantang berbicara itu adalah mandor setempat. Mandor itu tampak akrab bertanya dan mengambil kertas yang telah disiapkan oleh wanita bernama Ella Jade.

Ya, mereka bekerja di tempat yang sama. 

"Pada hari itu, untuk pertama kalinya, aku menyukai kehendak tuhan yang diberikan untuk menjadi takdirku." 

















Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top