Season 2 : Pesta Malam

Matahari telah tenggelam dua jam yang lalu, suasana malam yang tidak begitu dingin, cahaya dari rembulan yang seperempat bagiannya kini di fase gelap, bintang yang memenuhi langit serta awan di sekitarnya yang indah menyenangkan hati Hazel yang kini tengah berjalan menuju balai kampung bersama Liam dan teman-temannya yang lain.

"Liam sudah sempet makan ya tadi?" Tanya Hazel yang kini berjalan sambil menggandeng tangan adiknya itu.

"Iya kak, kira-kira nanti muat ngga yah buat diisi makanan lagi?" Balas Liam dengan raut mukanya yang bertanya-tanya.

Hazel tersenyum kecil, merasa geli.

"Yah, semoga saja Tuan Perut mengizinkan Liam untuk menambah beban kerjanya sedikit."

"Liam, harap begitu," lelaki itu mengangguk.

Setelah selesai berbincang dengan Liam, gadis itu berjalan sambil memperhatikan lingkungan kampung yang begitu sibuk. Mereka berjalan ke arah yang sama. Bedanya, warga yang ada di sana telah membawa panci-panci yang Hazel asumsikan adalah makanan untuk kumpul pesta nanti.

Hazel bersama rekan satu rumahnya berangkat sedikit lebih awal, karena kalau dari gadis itu sendiri berkeinginan untuk membantu beberapa hal sebelum pesta itu diselenggarakan. Sementara yang lain pada akhirnya juga ikut berangkat awal, karena tuan rumah sudah berangkat satu jam yang lalu ke balai kampung, mereka merasa sungkan.

Beberapa warga ada juga yang membawa nampan berisi teko aluminium dan teko plastik berisi cairan berwarna hitam pekat, kopi. Lalu beberapa gelas di sekitar nampan itu. Melihat mereka semua begitu cekatan dan terorganisir, Hazel jadi semakin yakin bahwa memang pesta ini telah menjadi pesta tahunan yang diselenggarakan jika kedatangan rombongan baru.

Melewati beberapa jalan yang dipenuhi oleh warga yang berlalu lalang membawa panci maupun teko, pada akhirnya mereka sampai di depan sebuah bangunan yang terbuat dari kayu, seperti apa ya, kalau Hazel ingat dia pernah melihat desain balai ini di sanggar sekolahnya yang terbuka. Mereka berhenti di depannya. Di depan balai itu tergantung banyak tanaman hijau yang segar, juga lapangan di sebelah balai yang luas dan cukup untuk menampung semua warga disana.

Tepat di atas bangunan balai itu pada dinding bambunya yang berwarna coklat tua terpampang sebuah papan berwarna putih. Di papan tersebut tertulis sesuatu dengan tinta hitam,

"Balai Kampung Purwoseso," lirih Hazel menyipitkan mata melihat tulisan tersebut dari jarak yang cukup jauh.

Gadis itu mengerling ke sekitar lalu menemukan beberapa meja panjang berisi makanan dan minuman yang pernah Hazel lihat sewaktu dalam perjalanan ke balai ini. Kemudian beberapa tikar plastik maupun tikar kain, berjejer rapi mengelilingi api unggun yang berkobar tersebut. Tentunya dalam jarak yang masih aman dan tidak akan membuat orang yang duduk merasa terlalu kepanasan.

"Wah, ramainya bukan main," ucap Dina dengan mata berbinar.

"Benar, padahal masih ada waktu 30 menit sebelum pestanya dimulai."

Hazel kemudian melihat ke arah dimana ibu-ibu kampung berkumpul menata beberapa piring jajanan tradisional di sana. Mata gadis itu juga menangkap Bu Darni.

"Din, jaga Liam dulu ya,"

"Mau kemana, Zel?" Kening Dina mengernyit.

"Mbantu Bu Darni disana, kamu cari tempat duduk aja dulu," ucap Hazel melihat ke arah tikar-tikar yang hampir terisi penuh.

"Oke deh," seperti tau apa yang dipikirkan Hazel, Dina menggangguk kemudian mengajak Liam pergi.

Setelah itu, Hazel berbalik arah dan berjalan cepat ke arah dimana Bu Darni berada. Mata gadis itu terlalu fokus, sampai tidak tau ada yang mau melintas di depannya, ekor mata gadis itu menangkap seorang pria lalu secara tidak sengaja, bertabrakan dengan pria tersebut.

Klotak! Klotak!

Kedua orang itu sama-sama terduduk terkejut, barang-barang yang dibawa pria itu berjatuhan semua ke tanah.

Sambil menyentuh keningnya yang sakit, gadis itu seketika berdiri dan membungkukkan tubuhnya,

"Maafkan saya Tuan! Maafkan saya! Saya tidak melihat anda!"

Suara gadis itu mampu didengar oleh beberapa orang di sekitar, termasuk bagian di mana Bu Darni berada.

Gadis itu melihat raut wajah pria itu, lalu bergidik ngeri dan duduk sambil merapikan barang-barang pria tersebut yang berjatuhan, yaitu kayu bakar.

Sedangkan pria itu masih terduduk di hadapan Hazel,

Setelah merapikan kayu tersebut Hazel mengambil tali yang ada di bawah kayu-kayu itu, lalu mengikatnya dengan rapi. Bersamaan dengan hal itu, pria tersebut bersiap untuk berdiri lalu membersihkan celana belakangnya yang penuh dengan debu.

"Ck!"

Hazel yang mendengar decakan itu seketika terdiam sementara menahan tali yang diikatnya itu, sebelum akhirnya berdiri mengangkat kayu-kayu itu dengan kedua tangannya, bertatapan wajah dengan pria yang sedikit tinggi darinya ini.

"Perhatikan jalan, jangan ngelamun!" ucap pria itu sedikit menimbulkan urat dilehernya,

Gadis itu menatap raut muka pria itu yang tampak sangat marah, apalagi ketika matanya bertemu dengan mata pria itu, pada akhirnya Hazel kembali membungkukkan tubuhnya,

Pria itu tampak ingin memarahi gadis itu kembali, namun, kedatangan Bu Darni membuat pria itu seperti terburu-buru.

"Dasar, anak terkutuk..."Ucap pria itu lirih hampir berbisik lalu meninggalkan tempat tersebut.

Saat Bu Darni sudah sampai, beliau menatap ke arah pria itu.

"Haduh..padahal beliau sendiri juga galiat jalan loh," kemudian Bu Darni menoleh ke arah Hazel.

Bibir gadis itu tampak bergetar, matanya membulat melihat punggung pria yang menjauh itu. Tampak sangat terkejut dengan apa yang pria itu katakan terhadapnya.

Tiba-tiba urat di keningnya timbul menahan amarah, dia menerima jika dimarahi tadi karena tidak fokus di jalan dan bertabrakan dengan pria itu. Namun, kata-kata selanjutnya, apakah itu pantas dikatakan oleh seorang pria yang bahkan Hazel tidak tau siapa?

"Zel," panggil Bu Darni.

Apa masalah orang itu dengannya? Anak terkutuk darimana? Hazel langsung menutup mata, mencoba menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya, sambil mengepalkan tangannya kuat, dia sebal dengan perkataan orang tersebut terhadapnya.

"Kalau aku marah sekarang, tidak ada bedanya dengan pria itu, aku akan semakin malu, namun perilakunya benar-benar membuatku kesal," pikir gadis itu.

"Ayo kita merapikan piring berisi makanan itu di meja," ucap Bu Darni.

Iya, gadis itu mendengar.

"Jaga image Hazel! Jaga image! Tahan!"

Setelah itu Hazel membuka mata, kemudian menatap Bu Darni dengan senyuman kecil.

"Baik Bu Darni."

Beberapa menit kemudian...

Tak!! Dung! Dung!Tak!

Tabuhan gendhang yang dibawa oleh bapak-bapak muda tersebut mengawali kemeriahan pesta malam hari itu. Bersamaan dengan alunan musik yang dimainkan, warga telah berbincang-bincang ria sembari mengambil jajanan dan minuman hangat yang disediakan ibu-ibu di sebelah api unggun.

Hangatnya api bersahabat di tengah lapangan di lingkaran tumbuhan itu, membuat suasana asri juga nyaman yang tidak dapat dideskripsikan oleh Hazel. Gadis itu menoleh ke arah adiknya yang sudah memakan jagung bakar disebelahnya dengan lahap.

"Padahal baru makan.." Pikir Hazel kemudian tertawa kecil melihat adiknya.

Hazel hanya mengambil segelas teh hangat dan semangkuk kecil sup ayam. Lalu menikmati indahnya malam itu sambil mendengarkan alunan musik gamelan yang tersaji denga baik.

"Dasar, anak terkutuk..."

Seketika Hazel teringat kembali akan kata-kata itu. Rasa sebalnya kembali, moodnya jadi hancur karena perkataan orang itu, walaupun acara ini ditujukan untuk mereka, warga kampung ini baik kepadanya, namun satu orang itu membuatnya berhati-hati lagi untuk mengenal warga disini.

"Kak, supnya kenapa belum dimakan?"

Tiba-tiba Liam, menyadarkannya dari pikirannya yang kalut itu.

"Oh Iya," ringis Hazel.

Kemudian Liam mengehentikan aktivitas makannya, menoleh ke arah wajah Hazel dengan lebih seksama.

"Kakak kenapa?"

Hazel segera menggeleng, dia lupa bahwa Liam sangat peka dengannya, dia takut adiknya akan risau dan menghancurkan mood Liam juga yang sedang ceria malam ini.

"Gapapa, yuk lanjut makan," ucap Hazel berusaha tersenyum manis.

Liam yang sempat terdiam itu kembali menyantap jagungnya tanpa ekspresi apapun.

Suara alunan gendhang yang ditabuh itu semakin mendayu-dayu. Membuat siapapun yang mendengarkannya ikut merasakan tarikan untuk menari mendayu terhadap lagu itu. Alhasil, beberapa warga memulainya dengan berdiri. Lalu mereka mengajak istri-istri mereka untuk menari di sekeliling api unggun itu sambil ada yang membawa beberapa tusuk sate ditangannya.

Tepukan tangan dan hitungan langkah dari kaki itu berirama, senada dengan musik yang didengarkan itu. Hazel yang melihat itu ikut bertepuk sambil duduk untuk meramaikan suasana, beserta Liam dan Dina juga.

Kemudian sorakan kembali terdengar dengan keras, tatkala Pak Yanto sengaja berdiri untuk bergabung dengan warga yang sedang menari itu.

"Hey! Hey!" Sorakan itu terdengar bersemangat sejalan dengan irama lagu.

Pak Yanto kemudian menarik istrinya, Bu Darni untuk ikut dengannya. Walaupun sedikit malu, Bu Darni akhirnya tetap bergabung dengan senyuman manis di wajahnya.

Para warga saling menari dengan hitungan yang sama juga sautan dari Pak Yanto yang semakin menyambungkan mereka semua.

Hazel menyadari, bahwa dari awal memang kampung ini begitu patuh terhadap pemimpin, juga kuat dalam persaudaraan, bagaimana bisa ada kampung sesempurna ini?

Warga-warga itu saling bergandengan tangan, berputar di sekitar api unggun itu sambil bersorak dengan hitungan kaki juga.

"Ayo para tamu kita juga bergabung!" Sorak keras Pak Yanto membuat warga semakin bersorak antusias mendorong warga padepokan untuk bergabung menari bersama mereka.

Hazel yang kebingungan karena merasa malu jika nantinya ikut menari kemudian mendapat uluran tangan dari Bu Darni.

Bu Darni menaikkan alisnya tersenyum, seperti secara tidak langsung mengatakan "Ayo ikut!" kepada gadis dihadapannya ini.

Hazel menggeleng sungkan dengan senyuman dan raut muka yang tidak enak terhadap Bu Darni,
"Hehe, tidak apa-apa, Bu Darni"

Namun, diluar yang dipikirkan Hazel, Bu Darni malah menarik lengan gadis itu dan membawanya. Hal itu membuat Hazel refleks juga menarik lengan Liam, lalu berantai. Sampai akhirnya hampir semua warga padepokan ikut andil membentuk lingkaran di sekitar api unggun menari sambil bersorak dibawah iringan gendhang dan gamelan itu.

Nada semakin intens, tepukan semakin bersemangat. Mereka tertawa bersama-sama.

Beberapa orang muncul dengan semburan api di mulutnya. Lalu memutarkan atraksi lidi yang di masing-masing pinggirnya telah terbakar api.

Lagu ini akan mencapai klimaks, putaran semakin luas, gerakan juga semakin lincah, membuat tubuh Hazel seolah terombang-ambing oleh alunan musik.

Ini sungguh menyenangkan, begitu pikir gadis tersebut.

Di tengah keramaian tersebut seorang pria yang menatapnya dari barisan duduk para warga, menatapnya secara tajam.

Sampai lagu akhirnya selesai, semuanya bersorak lega dan bertepuk tangan ria,

"Hebat sekali!" Ucap Dina lalu meregangkan ototnya dan tersenyum lebar.

"Benar!" Balas Hazel juga ceria disusul dengan anggukan senang dari Liam.

Mereka berjalan menuju tempat duduk, lalu Dina menatap ke suatu arah.

"Zel," ucap Dina menyenggol bahu Hazel.

"Hmm?"

"Itu siapa sih, dari tadi liatin kamu mulu."

Kemudian Hazel sedikit melirik, supaya tidak ketahuan jika menoleh ke arah orang itu. Lalu mendengus kesal melihat ke arah pria yang tadi menabrak dan menghinanya.

Gadis tersebut memutar bola mata malas, lalu mempercepat langkahnya menggandeng tangan Liam.

"Biarin deh."

"Eh? Beneran nih?" Dina kemudian menyusul langkah cepat Hazel sambil sesekali menoleh ke orang itu lagi.

Mata tajam yang menatap kepergian gadis tersebut kini berdiri meninggalkan lapangan itu, ditengah keramaian yang masih memadati pesta tersebut.

Pria itu tidak kembali lagi sampai akhirnya pesta malam itu selesai.
__________________________________

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top