Season 2 : Kucing dan Kupu-kupu yang berwarna hitam
Malam itu semakin larut. Pesta malam telah berakhir sekitar 15 menit yang lalu. Para warga yang sudah tidak memiliki kepentingan di lapangan itu pada akhirnya banyak yang pulang ke rumahnya masing-masing dengan perut yang telah terisi penuh oleh makanan. Namun ada juga yang masih tinggal di lapangan sekedar untuk membersihkan dan meringkas tikar alas duduk, abu bekas api unggun serta kayu sisa, lalu merapikan meja balai kampung.
"Mbak Hazel!" Seru Bu Darni yang tengah menumpuk piring serta gelas kotor bersama beberapa warga yang lain ke arah Hazel.
Hazel yang bersama Liam tengah bersama-sama menggulung tikar, memberhentikan aktivitasnya, menoleh ke arah Bu Darni.
"Iya Bu?"
"Sudah, pulang dulu saja ya bersama teman-temannya mbak Hazel yang lain, kunci rumahnya dibawa kan tadi?"
Gadis itu mengangguk, kemudian merogoh saku celananya dan mengeluarkan kunci dengan gantungan bertuliskan "I Love Blitar" berwarna dominan merah dan hitam.
"Ndak papa bu, kami tinggal dulu?"
Bu Darni mengangguk lalu menghampiri tempat Hazel berdiri sekarang,
"Ndak papa, kalau ndak salah besok akan dimulai pelatihan dari padepokan ya? Biar tidak kesiangan."
Gadis itu tersenyum kemudian menggandeng tangan Liam.
"Benar Bu Darni, kalau begitu saya bersama yang lain izin pulang terlebih dahulu."
"Hati-hati" Balas Bu Darni tersenyum.
Gadis itu kemudian berteriak memanggil Dina dan satu temannya yang lain untuk segera pulang.
Ini bagus, setelah mengalami hari normal di Kampung Purwoseso, akhirnya siswa-siswi Padepokan akan melaksanakan kembali aktivitas rutin mereka. Namun, karena posisinya ada di perkampungan warga, maka kegiatan tersebut hanya akan dilakukan di aula tempat Ajeng dan yang lainnya tinggal, serta di suatu tempat di luar perkampungan ini untuk menghindari resiko. Warga Padepokan juga tidak ingin meresahkan masyarakat, karena yang benar-benar tau seluk beluk kejadian aneh yang menimpa kampung ini hanyalah Pak Yanto dan Bu Darni selaku pemimpin disini.
Maka itu tidak aneh jika kampung ini tidak mengalami huru-hara kepanikan seperti yang biasanya Hazel dengarkan melalui radio di mobil ayahnya jika telah terjadi serangan mistis dari makhluk aneh.
Karena memang, warga kampung tidak tau tentang hal itu, Hazel dan siswa-siswi lainnya terkejut bagaimana bisa?
Kira-kira apa yang membuat Pemimpin Kampung Purwoseso dan beberapa petinggi terkait berfikir untuk tidak menjelaskan atau menceritakan hal-hal janggal serta sihir berbahaya ini kepada warga yang lainnya sampai sekarang?
Itu mungkin menjadi pertanyaan yang mengganjal di otak Hazel.
"Zel!"
Tepukan di bahu itu menyadarkan Hazel dari lamunannya. Gadis itu menengok ke arah Dina lalu ke Liam serta temannya yang menatap gadis itu dengan heran.
"Maaf kalian ngomong apa tadi?"
"Lupakan dulu itu, kamu kenapa ngelamun terus, Zel?"
Mereka kini dalam perjalanan pulang, ditengah renggangnya rumah-rumah sederhana warga kampung. Keadaannya saat itu sudah sepi, karena ini sudah hampir tengah malam. Suara angin yang berhembus itu semakin bisa terdengar, membuat geli telinga.
Hazel kembali menatap jalan, menghela nafas lalu menatap langit yang kini semakin penuh dengan bintang-bintang kecil yang bersinar.
"Kamu dengar kan, apa yang diucapkan oleh Tuan Wirya saat pertemuan siang tadi?"
"Oh, tentang kejadian janggal yang hanya diketahui oleh pemimpin kampung?" Ucap Dina menoleh ke arah Hazel, memperhatikan.
Hazel mengangguk,
"Kira-kira kenapa Pak Yanto maupun Bu Darni tidak memberitahu atau menceritakan apapun tentang sihir maupun hal janggal itu kepada warga?"
"..." Dina terdiam tidak ada balasan apapun.
"Maksudku, itu adalah rahasia besar yang seharusnya diketahui seluruh warga bukan?"
Setelah beberapa langkah, akhirnya Dina membuka mulut.
"Mungkin saja ada resiko yang terjadi jika Pak Yanto dan Bu Darni memberitahukannya kepada sembarang orang, mudah saja, rahasia besar juga berbanding lurus dengan resiko yang besar."
Hazel menatap ke arah Dina beberapa saat kemudian tersenyum kecil.
"Yah, sepertinya apa yang kamu katakan benar."
Dina mengangguk, lalu menepuk pundak Hazel beberapa kali,
"Sudah, sudah, kalau begitu, mari kita mengistirahatkan tubuh lalu kita bisa berfikir kembali tentang hal ini bersama siswa-siswi padepokan yang lain."
Tidak terasa, mereka sudah ada di hadapan halaman rumah dari Pak Yanto dan Bu Darni. Perjalanan sambil berbicara itu memang menyita banyak waktu dan perhatian. Untung saja mereka tidak salah jalan tadi.
"Berikan kuncinya kepadaku, biar aku yang membukanya," ujar Dina disusul dengan anggukan Hazel.
Setelah memberikan kunci rumah, Dina melangkah kedepan pintu memasukkan kunci tersebut. Namun, Hazel masih di luar halaman. Ketika gadis itu hendak beranjak, tiba-tiba suara kucing menyita perhatian gadis itu.
Kemudian gadis tersebut menoleh ke arah datangnya suara, menemukan kucing hitam yang berjalan ke arahnya. Hazel berjongkok lalu merentangkan tangannya, mencapai makhluk berambut hitam halus yang manis itu.
"Hey, dimana temanmu yang lain?" Ucap Hazel tersenyum gemas sambil mengusap rambut kucing itu dengan lembut.
Kepala kucing itu menyundul tangan Hazel berulang kali. Bersikap manja di hadapan gadis itu. Lalu kedua tangan Hazel menangkup wajah kucing hitam itu. Gadis itu menatapnya lekat-lekat, mata yang bersinar berwarna biru sedikit tua, hidung yang hitam bersih, bulu sekitarnya yang lebat, bahkan tidak ada luka maupun kotoran di sekitar mata dan telinga kucing itu.
"Wah, kucing liar disini benar-benar setara dengan kualitas kucing berharga mahal di kota."
"Zel, Ayo masuk!" Seru Dina membuka pintu rumah.
"Masuk dulu aja, Din!" Balas Hazel masih mengusap bulu kucing itu.
Dina mengangguk lalu membentuk simbol ok pada jarinya,
"Ayo Liam, kita masuk dulu?" Ucap Dina kepada laki-laki itu.
Liam sempat menoleh ke arah kakaknya, kemudian kakaknya mengisyaratkannya untuk masuk dulu. Pada akhirnya lelaki itu mengangguk dan mengikuti Dina masuk ke dalam.
Hazel mengusap-ngusap gemas pipi kucing itu kemudian menemukan sesuatu di leher kucing tersebut. Sesuatu melingkari lehernya, seperti tali yang digunakan untuk kucing rumahan. Berwarna biru tua, dengan liontin berwujud bola kecil berwarna perak.
"Sayang sekali, kamu sudah ada pemiliknya ya?"
Kucing itu mengeong lalu berjalan beberapa langkah membelakangi Hazel. Gadis itu terdiam, bingung, apalagi saat kucing itu menoleh ke arahnya, mengeong lagi. Lalu melanjutkan untuk berjalan lagi ke suatu arah yang berlawanan dengan arah rumah Pak Yanto dan Bu Darni saat ini.
"Apa kucing itu menyuruhku ikut dengannya? Tapi kemana?" Pikir gadis itu, kemudian menoleh ke kanan dan kiri.
Tapi kucing itu tidak menunjukkan adanya sihir berbahaya seperti yang Hazel kenal bersemayam di kampung ini. Maka harusnya aman saja bukan?
Hazel akhirnya mengikuti kucing tersebut.
Kucing itu menuntunnya ke suatu tempat, ke jalan dimana Hazel ingat pernah melewatinya saat warga padepokan pertama kali masuk kesini. Ini adalah jalan menuju ke luar kampung, kenapa kucing ini menuntunnya kemari. Apa yang ada disini?
Langkah demi langkah terlewati, namun Hazel masih tetap tidak mengerti kemana hewan ini menuntunnya. Di luar perkiraan Hazel, ternyata jalan ini tidak mengarahkannya ke gapura selamat datang kampung Purwoseso. Namun jalan ini terkesan, baru bagi gadis itu? Entahlah, sepertinya gadis itu belum pernah melewati jalan ini, setelah dibawa berkeliling oleh Pak Yanto dan Bu Darni di hari kedatangan mereka saat itu.
Jalan itu semakin dipenuhi oleh tanaman hijau dan semak belukar setinggi lutut gadis itu, semakin lama semakin banyak. Tetapi tanaman ini diluar kata menganggu malahan beberapa ada yang indah menurut Hazel, tanamannya begitu segar dengan beberapa tetesan air di ujung daunnya. Apa ini karena embun yang masih tertinggal di permukannya?
"Aku tidak pernah tau ada tempat serindang dan sehijau ini di kampung, bagaimana kamu bisa menemukannya," tanyanya ke kucing itu basa-basi.
Kunang-kunang mulai mengikuti gadis itu, membuat senyuman kecil tertorehkan di wajah tembam gadis tersebut.
Setelah itu Hazel melihat jalan setapak dengan tanah yang gembur. Lalu melihat ke arah kucing itu yang mengeong dan akhirnya berhenti berjalan lalu menatap ke arah Hazel.
Hazel kembali menatap ke arah depan, lalu terdiam.
Matanya membelalak.
Untuk sesaat jantungnya seperti berhenti berdetak.
Seseorang berdiri di hadapannya saat ini.
Bibir gadis itu bergetar.
Lelaki bertubuh jangkung yang Hazel kenal itu kini berdiri dihadapannya, menatap ke arah gadis itu dengan senyumnya yang mengembang. Sudah lama sejak lelaki itu menghilang, namun mengapa Hazel harus bertemu dengannya di tempat dan suasana seperti ini?
"Sudah lama sejak terakhir kali kita bertemu, Hazel."
Kemudian raut muka lelaki itu berubah menjadi khawatir setelah melihat raut muka terkejut gadis itu.
"Apakah kamu baik-baik saja selama ini?" Tanya lelaki itu.
Gadis itu masih terdiam, terkejut dengan siapa yang ditemuinya,
"Apa ini mimpi?"
Lelaki itu menggeleng, tersenyum dengan muka yang bahkan tidak cocok dengan senyumannya kini,
"Tidak."
Hazel kemudian menelusuri penampilan Reza yang berubah kini. Rahang dan wajah yang semakin tirus, gadis itu sampai berfikir apakah Reza kehilangan banyak berat badan? Padahal sudah dengan tubuh jangkung seperti itu. Baju yang dikenakannya dominan berwarna hitam, apa yang dipakainya itu, apakah jubah? Jubah hitam?
"Kemana saja kamu pergi?" Tanya gadis itu setelah sekian lama terdiam.
Lelaki itu menunduk,
"Maaf aku tidak memberi tahumu."
"Bagaimana keadaanmu?" Tanya gadis itu lagi.
Lelaki yang sempat menunduk itu kemudian menatap mata gadis itu. Ah, wajah itu lagi, kenapa kamu seperti memalsukan senyumanmu seperti itu, Reza?
"Aku baik-baik saja, Hazel."
"Bohong."
Lelaki itu terdiam.
"Bagaimana kamu bisa bilang baik-baik saja, setelah pergi tanpa sepatah kata apapun kepadaku maupun Liam, penampilan yang berubah, dan fisikmu yang seperti ini, apa kamu berfikir aku akan percaya dengan konteks baik-baik saja yang kamu ucapkan itu Reza?"
Lelaki itu tetap terdiam.
"Kamu..apa yang sudah kamu lakukan sejauh ini?"
Lelaki itu membuang wajahnya,
"Kamu tidak perlu tau apa yang kulakukan sejauh ini,"
"Kamu kira, aku tidak tau apa-apa?"
Reza kembali menatap gadis itu.
"Apa yang kamu tau, Zel?
Gadis itu terkejut.
"Apa maksudmu?"
Gadis itu menunduk, menatap tanah di bawahnya ini, serta kucing yang menuntunnya kesini. Dia menahan air matanya.
"Kenapa..."
Tangan gadis itu mengepal, kemudian Hazel menatap mata lelaki itu lekat-lekat.
"Kenapa kamu mengemban semuanya sendiri?"
Lelaki itu menghela nafas memasang wajah dingin,
"Aku disini hanya untuk memberitahumu, bahwa kampung ini akan diserang oleh perkumpulan magis itu dalam waktu dekat."
Apa lagi ini? Kenapa kampung ini bisa diserang lagi? Apa Reza yang sekarang bisa Hazel percaya? Dan lagi kenapa Reza bisa tau tentang hal ini.
"Reza, aku ingin bertanya sesuatu kepadamu,"
Bibir gadis itu bergetar, bagaimana jika apa yang dibilang oleh Bu Ningrum pada saat itu benar adanya,
"Apa benar kamu menjual jiwa-"
"Kenapa kamu penasaran akan hal itu, Hazel?"
"Tentu saja karena aku mengkhawatirkanmu!" Sahut Hazel tidak tahan.
"Memangnya siapa aku di kehidupanmu, sehingga kamu mengkhawatirkanku seperti itu?" Reza menatap mata gadis itu lekat-lekat.
Hal itu membuat tubuh gadis itu berguncang. Apa yang dimaksud lelaki ini, bukankah sudah jelas jawabannya. Alhasil gadis itu terdiam karena benar-benar tidak mengerti arah pembicaraan lelaki itu.
"Aku sudah terlambat, aku akan kembali," ucapnya kemudian menghilangkan kucing hitam itu menjadi asap, seperti tidak pernah ada disana.
"Tunggu, Reza! Kemana lagi kamu akan pergi," Seru Hazel.
Lelaki itu terdiam, kemudian memejamkan matanya. Tangannya terangkat dan mengepal. Reza seperti mengucapkan beberapa kata yang tidak dimengerti oleh Hazel. Saat itu, sesuatu bersinar di genggaman Reza, membuat Hazel terdiam dengan pemandangan itu.
Dari genggaman lelaki itu keluarlah seekor kupu-kupu hitam legam tanpa corak apapun di tubuhnya.
Setelah membisikkan kupu-kupu itu, hewan tersebut kemudian terbang menuju Hazel dengan cepat lalu masuk secara ajaib di kepala gadis itu.
Tubuh gadis itu terjatuh, Hazel tidak sadarkan diri.
__________________________________
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top