Season 2 : Di suatu malam sehabis kekacauan

Semua orang di tepi tebing itu masih menatap dengan seksama kepada lelaki muda yang tengah menutup matanya ini.
Apa yang akan dilakukan olehnya?

Hazel mengernyitkan dahi, merasa tidak memiliki ide. Pandangannya mengarah ke Ajeng yang pada akhirnya menoleh ke arahnya juga.

Gadis disebelahnya itu juga mengedikkan bahu. Kemudian Hazel melirik ke arah Tuan Wirya.

Pria itu tengah menatap sosok Liam dengan fokus. Tidak terlihat sama sekali raut bingung di wajahnya.

Pandangan gadis itu kembali ke arah adiknya.

Betapa terkejutnya Hazel ketika tiba-tiba Liam membuka mata.

"Apa? Apa yang terjadi?" Pikir Hazel bingung.

Liam menoleh ke arah Tuan Wirya lalu mengangguk kemudian disusul dengan senyuman kecil di wajah pria tersebut.

Hazel memperhatikan daerah sekitar dengan cepat, menoleh ke kanan dan ke kiri lalu terhenti ketika suara kicauan burung mendekat ke arah mereka berempat.

Hazel menoleh ke arah atas dan menemukan seekor burung kecil sedang terbang mengelilingi lokasi mereka.

Setelah sekitar 3-4 kali burung kecil itu terbang berputar diatas tempat mereka. Akhirnya dia terbang turun.

Liam bersiap mengangkat tangannya dan mengeluarkan jari telunjuknya. Dia menyiapkan tempat bagi burung itu untuk bertengger. Hebatnya lagi burung itu seperti mengerti hal yang dipikirkan oleh Liam dan seketika berhenti mengepakkan sayapnya saat sudah bertengger dengan tenang di jari telunjuk Liam.

"Hewan ini akan bertugas di misi yang berkaitan dengan kejadian yang baru saja kita lalui," Jelas Tuan Wirya melihat burung itu kemudian mengelus bagian kepala burung tersebut dengan lembut.

Hewan tersebut begitu cantik dengan bulunya yang dominan berwarna ungu dan warnanya yang mengkilat di bawah sinar matahari. Burung itu juga memiliki tubuh yang sangat kecil dibandingkan dengan burung-burung pada umumnya. Selain itu bagian paruhnya juga menarik perhatian karena ukurannya lebih panjang dari paruh burung lain dan terlihat tajam.

"Wah, Saya memang mendengar Liam sangat baik dalam berkomunikasi dengan hewan. Namun disini saya menjadi lebih mengerti kalau Liam juga bisa memanggil hewan apapun yang dia inginkan. Itu hebat sekali!" Ucap Ajeng tersenyum menatap ke arah Liam dan burung itu bergantian.

Hazel terdiam sejenak memikirkan suatu rencana selepas itu menatap ke arah Tuan Wirya,
"Saya sepertinya tau apa yang akan dilakukan Liam terhadap burung ini."

Tuan Wirya menganggukkan kepala,
"Tentu, kamu pasti sudah mengetahuinya dalam sekali berfikir. Namun, saya ingin tau apa yang kamu maksud."

Hazel melirik ke arah Ajeng yang matanya juga berbinar seperti meminta penjelasan.

Hazel mengedipkan kedua matanya beberapa kali sebelum menjawab. Dia menarik nafas,
"Burung ini adalah burung Kolibri. Terlihat dari bulunya yang mengkilat ketika matahari bersinar di bulunya yang padat itu. Selain itu dia juga dikenal sebagai burung yang handal ketika di udara. Dia sangat pandai dan cepat dalam terbang. Lalu..."

Ajeng membulatkan mata memandang gadis itu dengan takjub. Juga Liam yang tersenyum.

"Karena dia sangat hebat dalam terbang, apa dia akan mendapatkan tugas untuk mengejar sesuatu di udara?"

Tuan Wirya mengeluarkan jari telunjuknya dan mengarahkan pada gadis dihadapannya itu, tersenyum.

"Benar!"

"Ohhh burung ini, jangan-jangan akan menjadi penguntit asap hitam yang terbang di udara itu?? Benar?!" Ucap Ajeng dengan nada terkejut di akhir kalimat.

Hazel menggangguk sambil tersenyum lebar.

"Ini adalah rencana yang bagus, hewan ini akan diberi arahan oleh Liam, selanjutnya dia akan terbang mengikuti asap itu, dan memeriksa daerah yang menjadi tempat pemberhentian asap ini. Kita hanya perlu melepas dan menunggu kabarnya dari hewan kecil ini," Jelas Tuan Wirya.

"Hebat sekali, seperti mata-mata!" Girang Ajeng disusul dengan anggukan mantap dari Hazel.

"Kamu hebat Liam!" Seru Hazel menoleh ke arah adiknya.

Liam tersenyum lebar kemudian mulai membisikkan sesuatu ke burung itu, perlahan namun pasti.

Tuan Wirya juga memberikan lapisan perlindungan tak kasat mata pada tubuh burung itu. Supaya tidak mudah diketahui keberadaannya oleh musuh.

Sesaat kemudian Liam mengangkat tangannya, membiarkan makhluk itu pergi dari jari telunjuknya dan melesat ke arah dimana asap itu masih terlihat walaupun sudah samar karena jauh dari tempat mereka berempat berdiri saat ini.

Selesai menyaksikan kepergian burung itu, Tuan Wirya menyatukan kedua telapak tangannya dengan cepat membentuk suara yang memecah keheningan.

"Baik! Kita sudah selesai disini, mari kita kembali ke desa. Ini sudah senja, ditambah lagi kabut semakin tebal, tuan rumah kalian masing-masing bisa khawatir karena kehilangan tamu muridnya,"

Tuan Wirya dengan wajahnya yang kembali tenang tanpa ekspresi, memimpin jalan kembali ke desa, bersama dengan Hazel, Ajeng, dan Liam yang mengekori beliau di belakang.

Saat turun suara seperti kayu yang dibakar, menarik perhatian mereka berempat yang kembali dari tepi tebing.

Semua warga di perkampungan beserta siswa-siswi padepokan yang berbaur itu tampak sibuk membersihkan bekas-bekas kericuhan yang terjadi sore tadi.

Beberapa warga menyalakan api unggun yang besar. Mereka menghangatkan badan, beserta tertawa berbincang, walaupun beberapa diantaranya memiliki perban baik itu di daerah kaki, maupun dahinya.

"Tuan Wirya!" Sahut seseorang

Tuan Wirya menoleh menyimpulkan sebuah senyum namun juga memasang ekspresi khawatir pada orang yang memanggilnya.

Ternyata itu orang sama yang tadi berdiri di pinggir api unggun.

"Selamat malam, Tuan, apa kondisi anda telah membaik?" Tuan Wirya memperhatikan tangan orang tersebut yang diperban tebal.

Pria itu menggangguk,
"Nggih, Saya bersyukur lengan saya sudah tidak terlalu sakit seperti tadi."

"Tuan, seharusnya anda beristirahat saja di aula kesehatan." Ucap Tuan Wirya khawatir.

"Tidak apa-apa, Tuan Wirya, saya juga ingin berbincang dengan warga yang lain dan tidak menghabiskan hari saya hanya terbaring di aula kesehatan," jawab pria tersebut tersenyum ramah.

Hazel, Ajeng, dan Liam saling menoleh, kemudian menemukan pekerjaan bersih-bersih untuk dilakukan,
"Biarkan kami juga ikut membantu!" Seru mereka bertiga.

Malam semakin larut, matahari sudah tenggelam dari ufuk barat sekitar 2 jam yang lalu.

Para warga yang telah melaksanakan bersih-bersih, perlahan, kembali ke aula kesehatan.

Tempat di sekitar rumah kepala desa itu kini hanya menyisakan hanya beberapa orang sekarang, termasuk Hazel, Ajeng, dan Liam.

Api unggun itu masih menyala, beberapa orang yang tertinggal disana perlahan mempersempit jarak. Apalagi ketika Ibu Ningrum, Tuan Wirya berjalan ke arah Api unggun tersebut.

Beberapa perwakilan asrama seperti Dania, Hazel, Ajeng, Liam, Dimas serta beberapa murid yang didominasi dari asrama Dewandaru telah duduk melingkar disekitar api unggun.

Tuan Danang dan Bu Ningrum menyatu dengan lingkaran disekitarnya.

Hazel menepuk punggung Ajeng pelan lalu berbisik.
"Cobalah bicara, kamu bisa, Ajeng!" Lalu memberikan jempol kepada temannya itu.

Ajeng mengangguk sambil menatap kepasa kedua guru terhormat Padepokan Bahuwirya itu. Gadis itu mencoba menyiapkan mental, mengatur nafasnya, mencoba mengingat kembali apa yang akan dia sampaikan guru-gurunya tersebut.

Tuan Wirya menatap satu persatu muridnya kemudian membuka pembicaraan.

"Saya sengaja datang kemari bersama Bu Ningrum, karena kami mengetahui kejadian hari ini yang benar-benar diluar kendali..-"

Keadaan hening.

"Jadi kalian bisa mengutarakan pendapat, saran, kritik, ataupun pertanyaan tentang masa depan kalian. Kami terbuka untuk itu, karena kami mengetahui kalian benar-benar sangat terkejut dengan kejadian tadi sore." Lanjut Tuan Wirya kemudian beliau menunggu.

Dania mengangkat tangannya.

"Silahkan, Dania." Ucap Bu Ningrum.

"Selamat malam, saya mengetahui ini sulit, namun, bisakah kita melancarkan serangan balasan kepada pengkhianat seperti Tuan Danang?"

Tuan Wirya terkekeh pelan begitupun Bu Ningrum yang tersenyum kecil.

"Pertanyaan yang bagus Dania, saya mengapresiasi kegilaanmu itu. Namun, kita perlu melihat kondisi." Tuan Wirya melayangkan pandangan kepada Liam.

"Liam telah mengirimkan mata-mata burungnya untuk melihat kondisi dimana asap itu terhenti. Setelah kita mengetahui hal-hal vital organisasi musuh. Kita akan melancarkan serangan balasan."

Tuan Wirya kembali menatap ke arah Dania,
"Yang perlu kita lakukan sekarang adalah menunggu burung itu kembali untuk memberikan informasi berharga, paham?"

Dania mengangguk, memahami.

"Saya ingin bertanya Tuan."

Seorang gadis di samping Hazel mengangkat tangan, sebenarnya jantungnya berdetak hebat, namun ini demi kelangsungan hidup murid-murid asrama Dewandaru.

"Apakah...Dewandaru akan memiliki guru asrama yang baru?"

Setelah itu keadaan kembali menjadi hening. Ajeng sedikit menyesali perkataannya barusan. Mungkin dia dianggap egois karena mementingkan hal golongan disaat kondisi kacau begini. Dia menanyakan sesuatu yang tidak penting.

"Bagaimana ini, apakah aku salah mempertanyakan hal ini? Namun jika tidak sekarang aku tidak tau lagi kapan harus melakukannya." Pikir Ajeng gugup berusaha membela diri.

"Benar."

Ucapan singkat itu membuyarkan pikiran Ajeng yang tadi kalut.

"Kami telah mempunyai kenalan di luar padepokan Bahuwirya, dia akan datang besok untuk memperkenalkan diri.

Ajeng mengangguk menghela nafas lega, tersenyum. Tanpa Ajeng sadari beberapa murid Asrama Dewandaru yang mendengarkan juga ikut bahagia setelah mendengar jawaban Tuan Wirya.

"Guru pembimbing asrama Dewandaru yang baru akan tidak jauh berbeda umurnya dengan kalian. Dia baru berumur 19 tahun sekarang dan dia masuk kategori rantai keturunan berdarah dengan kasus istimewa." Ucap Bu Ningrum.

Keadaan menjadi serius kembali.

Wah? Siapa dia? Bagaimana bisa?

"Rata-rata potensi dari rantai keturunan berdarah akan tumbuh sebelum umur 17 tahun. Namun dia baru menemukan potensinya ketika sudah berumur 18 tahun." Jelas Bu Ningrum.

Pembicaraan itu berakhir dengan semua murid di sekitar api unggun itu menunjukkan mata berbinar-binar. Mereka tidak sabar dengan sosok yang akan mereka temui besok.

"Ini akan menarik." Lirih Hazel dengan senyuman mengembang di wajahnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top