Season 2 : Di Masa yang mana?
Hazel masih menatap kampung itu dengan pandangan nanar.
"Aku tau kampung ini memang misterius dan aneh, namun aku tidak menyangka tandanya akan menjadi sejelas ini."
Gadis itu mengangkat dan meneliti telapak tangannya, membayangkan apa yang baru saja dia lalui bersama kelompok kecilnya, jujur membuat Hazel bergidik ngeri.
"Aku benar-benar tidak mengerti, separah apa sihir yang ada di tempat ini.."
Hazel menatap lampu minyak yang tergantung tepat di hadapannya. Lalu mengerling ke arah sekitar. Beberapa penduduk tampak berbincang ria, baik di depan rumah maupun di pondok kecil. Gadis itu menebak tempat itu adalah pos ronda malam.
Seorang wanita menggunakan atasan kaos berwarna putih dan bawahan jarik (bawahan kebaya jawa) serta rambut yang digulung asal, tampak keluar dari rumah membawa nampan berisi beberapa cangkir kopi, lalu menyajikannya di meja sambil tersenyum ramah.
Setelah itu, wanita tersebut menatap ke arah rombongan dari padepokan, matanya melebar, tersenyum, kemudian menepuk bahu salah satu pria yang duduk itu dan menunjuk ke arah dimana Hazel dan yang lain berdiri.
Pria itu sedikit menyeruput kopi, lalu melihat ke arah yang wanita itu tunjuk,
"Ah, Tuan Wirya!" Sahut pria itu senang menarik perhatian penduduk lain sambil menuju ke rombongan itu.
Tuan Wirya menatap pria itu sambil tersenyum.
"Selamat Malam, Tuan, saya harap kondisi kampung anda baik-baik saja hari ini."
Pria itu sedikit tertawa kecil, menatap rombongan itu dengan ramah.
"Syukurlah Tuan, ini semua juga berkat bantuan Tuan Wirya, kondisinya baik-baik saja. Terimakasih telah bersedia mendengar keluhan dan membantu menjaga kampung kami dari serangan makhluk itu."
Tuan Wirya mengangguk kemudian sedikit berjalan ke pinggir, menunjukkan murid-muridnya.
"Saya membawa mereka untuk mengetahui hal yang sebenarnya terjadi di kampung ini. Mereka adalah murid yang memiliki potensi istimewa, saya harap hal ini tidak merepotkan."
Pria tersebut menatap ke arah murid-murid tersebut, tersenyum, sambil meneliti satu-satu wajah mereka. Setelah itu, wanita yang tadi sempat menyajikan kopi juga ikut datang terburu-buru dan merapikan jariknya, menunduk ramah tersenyum kepada semua pendatang itu. Wanita tersebut melihat murid-murid padepokan itu, kemudian pandangannya terhenti ketika bertemu manik mata Hazel, lalu membenarkan posisinya menjadi tegak kembali dan beralih pandang.
"Sebelumnya perkenalkan nama saya Suyanto, biasa dipanggil Pak Yanto. Saya adalah pimpinan kampung ini, jikalau ada kunjungan atau masalah apapun, orang pendatang maupun orang asli kampung akan meminta saran atau membicarakannya dengan saya," ujar beliau ramah.
Wanita disebelahnya kembali sedikit membungkuk, kemudian tersenyum,
"Darni, saya istri dari beliau," menghadap ke arah suaminya.
Setelah itu, kami diarahkan oleh Tuan Wirya dan Bu Ningrum. Kami terbagi menjadi beberapa kelompok, untuk memudahkan pembagian tempat beristirahat di rumah warga. Beberapa warga ada yang bersedia menyediakan kamarnya untuk ditinggali oleh murid maupun guru padepokan, sisanya tidur di pondok penginapan kampung yang ada.
Hazel, Liam dan dua teman lainnya terpilih untuk tinggal di rumah Pak Yanto dan Ibu Darni. Namun, dia harus berpisah dengan Ajeng karena dia kebagian tinggal di pondoknya.
"Syukurlah Liam bisa bersama kakak lagi," ucap Liam disambut dengan senyuman manis di wajah Hazel.
Gadis itu mencubit pipi Liam dengan lembut, merasa gemas dengan tingkah adiknya.
Kemudian mereka dipersilahkan duduk di sofa oleh Pak Yanto, juga teh selamat datang oleh Bu Darni.
Hazel mencoba teh tersebut, lalu melihat rumah itu yang ber cat dinding hijau, dengan atap yang tidak terlalu tinggi. Di ruang tamu, terdapat foto pemilik rumah dengan baju pengantin berwarna putih khas jawa. Disitu Hazel menyadari, dengan banyaknya foto pemilik rumah itu hanya berdua dan belum ada anak kecil di foto-foto tersebut, bisa disimpulkan bahwa pasangan ini belum dikaruniai seorang anak.
"Maaf yah, rumahnya tidak terlalu besar, jadi nanti sekamar isinya dua orang, kami berharap kalian bisa nyaman tinggal di sini untuk sementara," ujar Pak Yanto sedikit khawatir.
Hazel tersenyum ramah lalu dengan tenang menjawab,
"Kami sangat bersyukur atas kebaikan Pak Yanto dan Bu Darni, kami akan berusaha sebaik mungkin untuk tidak merepotkan anda sekalian."
Kemudian sofa itu menjadi sedikit bergetar, Hazel refleks menatap teman disebelah Liam.
"Anu..." Salah seorang teman Hazel yang juga ikut menginap itu duduk sambil tersenyum resah merapatkan kakinya.
Semua pandangan tertuju padanya dan membuat mereka khawatir.
"Kamu kenapa nak, sakit?" Tanya Pak Yanto khawatir.
Sementara teman-temannya sudah berfikir yang bukan-bukan. Apa yang terjadi? Ayolah, mereka baru saja datang dan beristirahat.
"S-saya, kebelet buang air kecil, apa saya boleh ke kamar mandi s-sebentar," ucapnya sambil sesekali memejamkan mata.
Tik..
Tik..
Keadaan sunyi, sampai suara menahan tawa dari Liam terdengar.
Seketika tawa semua orang di ruang tamu itu meledak.
"Oalah nak, yasudah pergi dulu ke kamar mandi, Darni tolong antarkan juga mereka ke kamar yang di tempati, mereka juga pasti ingin beristirahat," ucap Pak Yanto setelah tertawa terbahak-bahak.
Bu Darni mengusap air mata karena tertawa tadi, lalu mengangguk dan berdiri dari sofa.
"Ayo, Ibu tunjukkan toilet dan kamarnya ya, mbak mas,"
Setelah dari ruang tamu, mereka menemukan terdapat beberapa pintu disana. Jumlahnya total ada tiga pintu, di tengah itu terdapat satu ruangan tanpa sekat dengan televisi tabungnya dan karpet berwarna merah yang menurut penjelasan Bu Darni, tempat itu adalah ruang keluarga.
"Pintu pertama ini pasti kamar Pak Yanto dan Bu Darni," pikir Hazel menggangguk.
Mereka melintasi pintu pertama, lalu memerlukan beberapa langkah untuk sampai di pintu kedua, wanita itu kemudian berbalik ke arah Hazel dan yang lain sambil menunjuk pintu dihadapan beliau.
"Untuk perempuan, lalu untuk laki-laki beberapa langkah lagi sampai pintu terakhir, setelah itu mas mbak bisa beristirahat, ada yang tidak suka sayur sawi?"
Mereka semua menggeleng.
Kemudian, Bu Darni tersenyum, tetapi mengapa Hazel melihatnya seperti malah sedih.
"Baik, besok saya buatkan pecel kacang ya, lalu mbak, mari saya antarkan ke toiletnya."
"Terimakasih, Bu Darni," ucap teman Hazel.
Kemudian gadis itu menghadap ke arah Hazel.
"Masuk dulu deh, zel" Ucapnya tersenyum sambil mengerutkan keningnya.
"Iya deh buruan ke kamar mandi, hati-hati bocor," setelah itu Hazel mendapat pukulan ringan di pundak dari temannya.
Setelah melihatnya pergi, Hazel memutar kenop pintu kamar, kemudian mendorongnya. Pintu perlahan terbuka. Menampilkan kamar yang begitu gelap. Gadis itu mencari saklar lampu lalu menyalakannya.
Cklak.
Cat rumah yang sama berwarna hijau, dua kasur dan lemari kecil yang memisahkan keduanya di tengah. Hazel sedikit berfikir, lalu memilih kasur di sisi kanan lemari kecil itu. Hazel merebahkan tubuhnya di kasur itu. Lalu menghela nafas lega.
Dia menatap kamar tersebut dari posisinya itu secara teliti, lalu menemukan sebuah lemari kayu lebih besar, Hazel tau itu pasti isinya baju. Kemudian gadis itu menutup matanya dengan satu lengannya di atas.
"Aku tau jika melihat dari aura mereka yang tulus, sepertinya mereka memang tidak tau apapum mengenai kejadian misterius itu."
"Ruang berbatu, darah..." Gumam Hazel sambil memikirkan kejadian tadi.
Kemudian gadis itu duduk, kembali bergumam.
"Mata yang tertutup, ruang berbatu, darah, serangga, aku tau ini pasti ujian, karena bukan kelompokku saja yang mengalaminya, namun kenapa makhluk itu menunjukkan hal seperti itu kepada kami?"
Hazel berdiri. Mulai berjalan ke tempat lemari kecil itu berada.
"Jika itu memang dari perkumpulan itu, bisa saja mereka, mematikan kami semua saat itu juga di dimensi mereka, namun ini tidak."
Gadis itu mengetukkan jarinya di lemari kecil itu, mencoba memikirkan hal yang terjadi. Apa semua ini berhubungan dengan masalah mereka semua yang datang ke padepokan?
Atau...
Hazel kemudian tersenyum sendu
"Bisa saja itu pertanda untuk Kampung ini, namun, masa depan? Atau masa lalu?" Lirih Hazel.
Kemudian pintu kamar terbuka, teman Hazel masuk.
Dia bernama Dina Sariwarsih Sutika. Hazel mengenalnya karena dia juga salah satu yang mengobati Liam di ruang kesehatan bersama Ajeng sewaktu di ruang bawah tanah saat itu. Potensinya adalah Bisa melihat masa lalu barang yang dipegang olehnya. Dia mempunyai kemampuan lain yaitu di bidang kesehatan. Oleh karena itu, dia juga bergabung ke kegiatan itu waktu di padepokan.
Hazel menatap gadis yang menuju ke arah dua kasur itu.
Sementara gadis yang ditatapnya merasakan aneh karenanya.
"Kamu kenapa deh,"
"Kamu tadi juga mengalami hal yang tidak wajar kan di depan gapura kampung ini?" Tanya Hazel lalu menuju kasurnya.
"Hmm, sepertinya memang itu berkaitan dengan kampung ini," ujar Dina merebahkan diri di atas kasur satunya.
"Tapi yang aku bingungkan, itu berkaitan pada masa lalu atau masa depan dari kampung ini?" Kemudian Hazel melepas kuncir rambutnya.
Dina nampak berfikir sejenak, lalu mendengus.
"Hah...Aku ingin sekali menyentuh Gapura itu lebih lama lagi."
"Memang kenapa tadi kamu tidak menyentuhnya?"
"Susah, Tuan tidak mengizinkanku melakukannya, sebelum dapat izin dari Pak Yanto, atau aku akan dianggap mengintip memori kampung ini."
"Ah begitu.."
Hazel memperbaiki posisi duduknya.
"Karena begini, aku juga melihat bayangan dari sosok berjubah hitam..jadi-"
"Serius??" Ucap Dina terkejut.
Hazel terdiam.
"Zel, sosok itu tidak muncul disembarangan situasi, itu bisa aja menyimbolkan.."
Mereka berdua terdiam sementara.
"Kematian..kan?"lirih Dina hati-hati.
"Aku tau itu....dan disini potensimu benar-benar dibutuhkan Dina, untuk mengecek apakah itu pertanda masa lalu atau masa depan. Kita turut berduka jika itu masa lalu, namun jika itu masa depan. Bukankah kita bisa mencegahnya?" Ujar Hazel.
Dina menggangguk.
"Yah, tidak ada salahnya mencoba, tapi kita harus dapat izin dulu dari Pak Yanto, bagaimana dengan itu?"
"Soal itu..."
Tiba-tiba terlintas di pikiran Hazel, Bu Darni dengan ekspresinya tadi ketika di depan kamar.
"Sepertinya aku ada cara," kemudian Hazel berdiri dan berjalan menuju lemari baju.
"Benarkah? Gimana?" Tanya Dina antusias lalu berdiri di samping Hazel.
Hazel membuka lemari itu kemudian melihat beberapa lipat baju.
"Nih, ganti baju dulu," Hazel menyerahkan baju tidur itu kepada Dina.
"Lah,"
"Besok ya, ngantuk banget beneran," kemudian Hazel berakting gaya menguap untuk mendukung situasinya itu.
"Pinter banget cari alasan."
"Hehe, emang beneran ngantuk kok, Din, serius."
Dina menghela nafas,
"Yasudah deh," Dina mengembangkan senyumannya tipis, sembari bersiap mengganti baju.
Sementara itu, dari luar kamar Bu Darni sedikit mendengarkan percakapan mereka lalu spontan ekspresinya berubah menjadi sedih, beliau menyentuh bagian jantungnya dan bersandar di tembok, beberapa menit kemudian beliau menghela nafas lalu mengatakan sesuatu dengan lirih,
"Mencegah.."
__________________________________
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top