Season 2 : Awal yang buruk

Pagi menyambut, ruangan-ruangan tidur itu terlihat kosong. Rupanya seluruh siswa telah berkumpul di depan pintu keluar dari ruang bawah tanah berbahan kayu itu.

Barisan siswa-siswi padepokan Bahuwirya berjejer rapi membentuk vertikal berwarna hitam.

Para siswa memakai seragam resmi yang dilengkapi dengan armor bertali kulit di depan dada mereka. Pada armor tersebut terdapat lambang dari bunga teratai kecil di pojok sisinya. Atasan berwarna hitam dengan lengan berwarna putih, serta bawahan celana yang berbeda-beda.

Mereka semua telah membawa masing-masing senjata yang mereka kuasai. Panah, pisau kecil, pedang, alat bergerigi, dan lain sebagainya ditempatkan rapi di saku punggung belakang seragam mereka maupun di samping celana tebal itu.

"Jumlah murid padepokan 29 orang, terdiri dari 6 peserta dari pondok Bahuwirya, 6 peserta dari pondok Maheswari, 6 peserta dari pondok Dewandaru, dan 11 peserta didik baru yang belum bertempat di pondok asuh resmi dari ketiga pondok besar di padepokan ini," ucap Tuan Danang memberikan informasi dengan suara yang lantang dan jelas.

Keadaan begitu tertib, hanya suara beliaulah yang terdengar.

"Untuk hari ini, akan terdapat pembagian sebanyak enam kelompok, dimana setiap kelompok berjumlah lima orang, dengan sisa kelompok terakhir berjumlah 4 orang, pembagian sudah dilakukan secara acak untuk menghindari adanya kecurangan."

Kali ini, misi keluar pertama mereka sebagai peserta didik baru.

Hazel mengepalkan tangannya kuat, pandangan matanya begitu berkilat. Seperti siap menerkam segala macam tantangan yang ada.

Walaupun sesaat wajahnya tampak lemah, karena memikirkan Reza yang hilang, apalagi perkataan Bu Ningrum semalam yang masih terngiang-ngiang di kepalanya.

"Lelaki itu-"

"-Telah melakukan perjanjian yang melibatkan jiwa dan raganya kepada iblis, bagaimana kamu bisa tidak mengetahuinya?"

Kemudian Hazel segera menggelengkan kepalanya sendiri, menepuk pipinya sedikit keras, agar dia segera sadar dan fokus menjalankan misi hari ini.

"Misi Pertama : Kunjungan ke kampung di bawah padepokan Bahuwirya."

Untuk mempersingkat waktu, mereka semua menaiki kereta kuda berbahan kayu yang mampu menampung setidaknya 6 orang per keretanya.

Walaupun tidak cukup baru, ini bagus, setidaknya mereka bisa memandang panorama indah pagi ini. Sebelum akhirnya harus bersiap untuk tugas mereka ditengah bergetarnya kereta kuda itu.

Pohon-pohon Cemara yang tinggi menjulang, beberapa rumah kayu usang kosong kadang terlintas dihadapan mereka. Membuat mereka berfikir dimana sebenarnya pemilik-pemilik rumah itu sekarang.

Semakin dekat dengan area perkampungan itu, jalanan itu berganti menjadi lebih banyak dengan tanah, membuat permukaannya semakin kasar.

"Zel, udah sampai," ucap Ajeng melihat tempat itu.

Hazel yang tengah melihat saku-saku dan senjatanya itu seketika ikut memandang ke arah yang sama dengan Ajeng.

Gapura di depan tanda masuk, ayam jantan yang berkeliling dan memandang orang baru itu dengan keheranan menjadi sambutan awal yang mereka lihat ketika turun dari kereta kuda itu.

Hazel berjalan perlahan ke depan kereta kuda itu, mencoba melihat papan gapura kampung itu dengan jelas.

"Selamat datang di kampung Purwoseso"

Beberapa huruf ada yang hilang, entah karena catnya yang terkelupas atau bagaimana.

Setelah itu, Hazel terdiam, mencoba memeriksa keadaan sekitar.

"Zel?" Ucap Ajeng menepuk pundak gadis itu.

"Entahlah, aku merasakan sesuatu yang tidak beres-"

"Aku juga," saut Ajeng cepat.

Hazel seketika memandang wajah Ajeng itu, mencoba berfikir, lalu menoleh ke arah yang lain untuk menemukan beberapa dari mereka juga terdiam memandang kampung itu.

"Baik, anak-anak,"

Hal itu membuyarkan pikiran mereka yang sempat teralihkan.

"Saya dan Pak Danang akan masuk, saya harap tidak ada yang mengikuti kami terlebih dahulu sebelum kami kembali lagi kesini, apa kalian paham?"

Raut muka dari Tuan Bahuwirya sendiri sangatlah menjelaskan kebenaran adanya sesuatu yang tidak beres di daerah itu.

Segera mereka berdua mengangguk dan masuk kedalam.

Beberapa langkah kedua orang itu maju.

Kemudian sebuah bayangan hitam datang, dan menutup semua mata mereka.

Srat!

Ketika mata itu terbuka.

Mata itu terbuka semakin lebar, pupil mereka bergetar.

Ada di mana mereka sekarang.

Gadis itu mengerjapkan matanya berkali-kali untuk menemukan bahwa kelompoknya kini terjebak di lorong dengan sinar berwarna merah.

Begitu dingin dan asing, sunyi, tidak ada yang lain selain Hazel dan rekan-rekannya.

"Dimana kita?" Ucap Hazel masih kebingungan.

Ajeng dan satu gadis lainnya mencoba meraba-raba tembok tampak begitu mengkilat itu.

"Akkhhh!!!"

Salah satu gadis disebelah Ajeng itu terduduk dengan mata yang membulat ketakutan.

Semua menoleh ke arah gadis itu.

Gemetaran, gadis yang tengah terduduk lemas itu perlahan mengangkat tangannya.

Begitu Merah, pekat, bau anyir yang sangat mereka kenal.

"D-darah..darah......"

Kemudian dari lantai tanah itu, mulai keluar darah dari berbagai penjuru, termasuk disebelah gadis yang tengah terduduk itu.

Hazel menoleh ke arah kanan dan kiri, darah itu merembes dimana-mana.

"Ayo! Bangun! kita harus segera pergi dari sini!" Teriak Hazel sambil menarik lengan gadis itu.

Mereka semua berlari ke arah salah satu pintu kayu.

Mencoba masuk kedalam lalu menutupnya dengan rapat, berharap hal ini bisa memperlambat kecepatan darah itu untuk meninggi.

Setelah itu dengan langkah yang gontai mereka tetap berlari, menuju suatu pintu, sampai sesosok makhluk bertudung hitam itu mengkagetkan mereka semua yang tengah berlari, membuat Hazel terpeleset lalu mencoba untuk berdiri lagi dibantu oleh rekannya yang lain dengan segera.

"Lewat sini!!" Ucap salah satu lelaki yang ada di dekat pintu mencoba mendobraknya.

"Cepat buka!!" Teriak Ajeng sambil berlari dari kejauhan.

Brak!!

Brakk!!!

Ruangan itu semakin penuh dengan darah, perlahan darah itu mengalir lewat lubang pintu yang mereka tutup, apalagi bayangan itu mengejar arah lari Hazel dan rekannya yang lain.

Brak!!!

Krek!

Sepertinya sudah rusak, mereka memaksa pintu itu untuk terbuka.

Ajeng yang sampai duluan kemudian melihat disekitar laki-laki itu naiklah beberapa serangga berbahaya seperti kalajengking.

Dengan tombaknya, dia singkirkan hewan-hewan itu.

Brak!!

Crkrakkk!!

Pintu itu terbuka, semuanya langsung masuk, seketika lelaki itu menutup pintu itu persis sesaat dimana sosok itu akan masuk.

"Hah...hah..." Nafas mereka semua tersengal-sengal.

Gelap, hampa, berbau busuk.

Dimana lagi ini?

Kratak..kratak, kratak....

Lendir berkilau itu menetes ke baju mereka, semua langsung mengambil senjata, melingkar.

Sesaat pemilik lendir itu turun dari atas, membawa kawanan sejenis yang lebih kecil. Hewan sama yang dibunuh oleh Ajeng tadi. Mereka berubah menjadi seukuran sepatu mereka saat ini.

Perlahan hewan-hewan itu mendekat. Hazel mengistruksikan mereka untuk tidak membuat pergerakan. Keadaan ruangan itu gelap semakin memperburuk indera penglihatan mereka, namun warna kulit serangga yang menggelikan itu cukup membuat mereka dapat memperkirakan berapa banyak serangga di sekeliling mereka sekarang.

Banyak.

Ckrak....

Suara pintu berat yang terbuka itu terdengar, refleks membuat mereka berlima menghadap ke arah pintu yang luarnya hanya putih saja, apakah itu jalan keluar? Syukurlah mereka akan segera mengakhiri ini. Namun, suara yang ditimbulkan pintu itu cukup keras. Mereka jadi berfikir, bagaimana dengan serangga yang ada di sekeliling mereka saat ini.

"Zel.." Lirih Ajeng bergetar.

Hazel menoleh perlahan dengan tatapan horor, hewan-hewan itu tampak terganggu, mereka mulai terbang, menunjukkan sengatan di tubuhnya yang mengkilap seperti ujung pensil runcing namun lebih mematikan.

"KRAAAAAAHHHH!!!!!" Suara bising itu membuat mereka berlima terperanjat.

Hazel langsung memimpin kelompoknya untuk membunuh serangga kecil itu.

Gadis itu memutar tubuhnya memanah serangga yang mendekat ke arahnya searah jarum jam. Kemudian memastikan kondisi rekannya yang lain. Dia berlari, kesana-kemari, menarik perhatian serangga itu. Hingga tidak ada yang tersisa di belakangnya.

Ajeng yang berada di kanan Hazel segera membunuh serangga yang lebih besar dengan pedangnya. Menusuk tiap tubuh serangga itu, sambil mengeluh lendirnya yang mengotori sinar pedangnya.

"ewh..." Dahinya mengerut kesal sambil berlari dan menebas kepala serangga di belakangnya.

"Kak! Kenapa serangga ini tidak habis-habis, kita sudah membunuh hampir ratusan diantaranya!" Ucap gadis yang tengah berlari dibelakang Ajeng. Suaranya terdengar oleh mereka berlima.

Hazel tidak menjawab, dia juga bingung. Kemudian matanya membelalak memikirkan sesuatu hal yang kemungkinan akan terjadi.

"Jangan-jangan ratunya belum keluar? Oleh karena itu, regenerasi mereka bisa secepat ini,"

Hazel menelan ludahnya kasar, sesaat setelah mengatakan itu, bekas mayat serangga dan darah yang berceceran itu perlahan menyatu, membentuk suatu makhluk, Begitu besar, sekitar tiga kali tinggi tubuh mereka, perut yang besar, alat menyengat yang lebih berbahaya, runcing, bulu disekitar tubuhnya, dan juga gigi taringnya.

Objek itu, mendekat kearah mereka, membisikkan suatu kata yang dapat didengar oleh mereka berlima.

"NGALIH!"

Seketika otot mereka langsung seperti melemas, dan jatuh tersungkur, energi mereka seperti terkuras habis.

Tubuh mereka bergetar, Hazel yang sempat terdiam itu menepuk pipinya sendiri dengan kencang menyadarkan diri.

"Akhhh!!!" Kaki Ajeng tergigit oleh hewan-hewan itu, begitupun yang lain.

Tidak ada cara lain, percuma membunuh mereka, pintu itu telah terbuka sejak tadi, mereka hanya bisa berlari untuk keluar dari tempat ini. Meskipun itu berarti semakin menarik perhatian mereka. Mereka digigit karenanya.

Sakit, sangat sakit.

Tapi apa lagi yang bisa mereka lakukan?

Mereka berusaha berdiri dengan luka yang ada di sekujur tubuh mereka. Merasakan pusing yang sangat, menyerang mereka dengan sekuat tenaga.

Semakin dekat dengan pintu itu, cahayanya benar-benar menyilaukan mata.

Jleb!!!

Jlebb!!

Mereka terfokus kepada cahaya itu, sambil menyerang hewan-hewan berbahaya tersebut walaupun itu mencabik tubuh mereka.

Dengan langkah yang tidak beraturan mereka berlima lari, dikejar oleh serangga itu, menuju ke pintu itu.

Kemudian pusing itu semakin memburuk, membuat pandangan mereka tidak fokus, seolah badan mereka ringan, tubuh lunglai mereka ambruk. Tepat saat mereka di perbatasan pintu itu, merasakan angin yang menerpa wajah mereka dengan kasar. Lalu pandangan mereka mengabur.

Gelap.

Membuka mata lagi, Hazel mengerjap, dengan waspada menoleh ke kanan kiri, ini tempat yang tadi. Mereka telah kembali, perbedaannya adalah mereka telah masuk kedalam gapura itu, bersama rombongan yang lain.

Iya, mereka di perkampungan itu lagi.

Luka itu?? Darah itu??? Dimana?? Hazel mencoba mencari disekujur tubuhnya, tetapi tidak ada yang aneh, dia masih rapi sama seperti dia pertama berangkat ketempat ini.

Bulan bersinar di bawah mereka, hari itu telah gelap. Malam telah tiba.

Hazel memandang sekitar, guru-guru mereka memejamkan mata. Kemudian Tuan Wirya membuka matanya, kini dengan alis yang sedikit menekuk, menghela nafasnya.

Lalu pandangan Hazel beralih ke kelompok lain, yang tampak kacau juga, seperti takut, bingung, jengkel menjadi satu.

"Ternyata bukan kelompokku saja yang mengalaminya," gumam Hazel menatap halaman depan perkampungan itu.
__________________________________

Heyyoo!!! Delzy1 kembali!
Terimakasih untuk para pembaca, rekan yang menunggu cerita ini untuk berlanjut kembali!

Cerita akan berlanjut dengan frekuensi upload 2 kali seminggu! Harinya tidak bisa Author tentukan, namun akan author usahakan untuk upload 2 kali seminggu! ^^ karena sudah banyak waktu kosong jadi author memiliki banyak hal yang ingin dilakukan juga ^^

Hope you enjoy it guys! First part of season two! When You Lost It! ^^

See you on next chapter!

-Delzy1

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top