Pelatihan Pertama
Pelatihan pertama adalah dari materi pondok Bahuwirya. Mereka yang mempunyai potensi disini dilatih untuk mencoba dan mempraktekkannya.
Sebelum itu, Dimas selaku perwakilan menuntun mereka ke suatu tempat.
Tempat yang mereka tuju adalah pondok peserta didik baru yang terbuka. Ketika mereka sampai disana, seketika semuanya dibuat takjub kembali oleh pemandangan yang ada. Bagaimana tidak? Disini terdapat danau buatan yang begitu jernih dan pohon-pohon hijau disekelilingnya, tempat ini akan sangat cocok untuk orang-orang yang ingin merasakan ketenangan untuk menyegarkan pikirannya.
"Ayo cepat, Zel!" Ajeng tampak sangat bersemangat lalu menarik lengan Hazel menuju tepi pagar kayu pondok untuk melihat danau itu dari dekat.
Setelah mereka berkumpul, Dimas menoleh ke arah belakang lalu tersenyum saat melihat mata-mata takjub dari peserta pelatihan itu. Dia sedikit berdeham kemudian menghadap ke arah pemandangan tersebut.
"Aku tau beberapa diantara kalian pasti tidak memiliki ekspektasi tinggi dengan fasilitas yang ada di area pondok peserta didik baru. Apalagi setelah mengetahui bahwa peserta baru yang masuk lebih banyak dari biasanya."
Beberapa diantara mereka mendengar dan menoleh ke arah kanan dan kiri lalu tersenyum kecut karena yang dikatakan Dimas itu benar.
"Namun, lihatlah mulai dari pondok pelatihan ini."
Pondok cukup besar dengan gantungan angin dari bulu-bulu yang indah. Tidak banyak barang disini, jadi pondok itu terkesan luas. Apalagi dengan pemandangan indah yang disuguhkan. Pondok itu berdiri diatas danau buatan itu. Membuat bayangannya terlukis di air bening itu yang begitu indah dengan warna hijau kebiruan.
Beberapa murid juga terfokus dan melihat banyaknya bunga-bunga yang tumbuh di sela pohon-pohon tepi danau tersebut. Menakjubkan, mereka begitu berwarna.
"Bunga-bunga berwarna yang indah, danau buatan yang bersih, kalian memang berhak untuk mendapatkannya,"ucap lelaki itu tersenyum kemudian menghadap ke arah mereka.
Mata Dimas kemudian terpaku pada seseorang yang mengacungkan tangannya terhadap lelaki itu. Seseorang di belakang Hazel itu berniat bertanya kepada Dimas.
"Mengapa kami berhak mendapatkan ini semua?" Tanya gadis itu.
Raut muka Dimas berubah menjadi sedikit sendu dengan senyuman kecil yang terukir di wajahnya.
"Kenapa? Mungkin karena kepala padepokan ingin mengapresiasi kalian yang telah keluar dari masa kelamnya masing-masing?"
Beberapa siswa mengangguk. Mereka menyadari bahwa ini semua tidak diberikan secara cuma-cuma. Sebagai gantinya dari ini semua, mereka harus bisa berlatih sekeras mungkin untuk menghadapi masa depan dimana padepokan ini akan ada dalam bahaya. Ini adalah tempat bernaung bagi mereka semua sekarang. Mereka harus bisa menjaganya.
Tidak terkecuali dengan Hazel yang kini menatap pemandangan diluar pondok dengan senyuman kecil diwajahnya. Gadis itu menyadari setelah semua yang dia lewati, dia benar-benar harus belajar sekuat tenaganya untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Hal-hal yang ingin dia tahu mengenai asal teror itu, penyebab sesungguhnya dari kematian ibu, potensinya yang tumbuh, semuanya pasti memiliki tali yang bisa disambung satu sama lain.
Gadis itu mengepalkan tangannya kuat. Mungkin saja dia bisa mendapat fakta baru?
Setelah itu baik dari ketiga perwakilan tiap pondok asuh dan dua belas peserta didik baru dari padepokan tersebut duduk bersila membundar renggang. Dimana Dimas menjadi pusat bundaran itu, sementara kedua perwakilan pondok lain menunggu di pojok pondok sambil melihat pemandangan yang ada.
"Baik hari ini akan menjadi pelatihan pertama di 1 bulan pencocokan peserta didik baru, hari pertama akan dimulai dengan materi dari pondok Bahuwirya," ucap Dimas kemudian berdiri mengambil kotak kayu di pojok pondok itu.
Lelaki itu duduk kembali lalu melanjutkan,
"Untuk itu setiap peserta yang punya potensi, aku harap bisa mengerahkan kemampuannya secara maksimal."
Seseorang peserta mengangkat tangannya. Dimas mengangguk, mempersilahkan.
"Apa yang akan kita lakukan hari ini?"
Dimas tersenyum lalu satu tangannya masuk ke lubang di kotak kayu, mengacak sesuatu yang ada di dalamnya.
"Hari ini kalian akan menunjukkan potensi kalian dengan batas waktu yang akan ditentukan, namun sebelum itu, aku akan mengacak nama untuk urutan maju terlebih dahulu."
Semuanya menunggu, kotak itu berisi nama mereka yang diacak menjadi satu untuk kemudian diundi.
Kemudian lelaki itu terus mengacak kartu-kartu itu sampai akhirnya dia berhenti. Oh, sepertinya dia telah mendapat satu kartu pilihannya.
Dimas mengeluarkan kartu itu dan membuka lipatan-lipatannya. Kemudian dia membaca lirih nama di kartu itu.
"Hazel, kamu akan tampil dahulu untuk menunjukkan potensimu," ujar lelaki tersebut.
Hazel kemudian berdiri lalu menoleh sebentar ke arah Ajeng untuk melihat reaksinya yang memberikan dua jempol kepadanya.
Hal itu membuat gadis itu tersenyum kemudian berjalan menuju tengah bundaran lalu duduk berhadapan dengan Dimas.
"Ah, potensimu disini tertulis memanipulasi pikiran, apa itu berarti kamu bisa membuat orang bertindak sesuai yang kamu mau karena dapat memanipulasi pikiran mereka?"
"Aku hanya pernah mengacaukan ingatan saja untuk membuat orang semakin panik, namun aku belum mencoba untuk menyuruh seseorang melakukan yang kumau."
"Baiklah, coba saja hari ini, karena fungsi pelatihan ini untuk mengasah kemampuanmu yang sesungguhnya, aku sendiri yang akan menjadi lawanmu, cobalah untuk melakukannya kepadaku."
"Berapa waktu yang diberikan untukku agar bisa menunjukkannya Dimas?"
"15 menit? Cukup?"
"Baiklah kalau begitu," ujar gadis tersebut tersenyum kemudian bersiap.
Suasana mulai serius, Hazel mulai memperhatikan mata lelaki itu dengan fokus. Dia mencoba untuk membangun konsentrasi yang ada di otaknya, mengosongkan ingatan yang tidak perlu.
Karena dia pernah melakukan ini untuk menganggu pikiran ayahnya yang kacau waktu itu, apakah hal ini juga akan berhasil untuk sekarang?
Tetapi, Hazel memang merasa ini cukup sulit, karena suasana yang tidak sama dengan sebelumnya. Satu-satunya yang bisa dia lakukan adalah berusaha keras dan tetap fokus menyeimbangkan pikirannya.
"Aku tidak akan menyerah."
Gadis itu mencoba untuk tetap fokus membangun konsentrasi itu. Dia berharap kesadarannya bisa segera dia masukkan ke dalam akal sehat Dimas, sehingga akan mudah untuk mengacaukan pikirannya.
Lima menit berlalu, Hazel tau itu butuh waktu. Ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi setelah Hazel sadari, Dimas adalah sosok yang tangguh dan positif. Beda dengan keadaan dimana ayahnya saat itu ada di titik dia terendahnya, pikiran ayahnya benar-benar kacau saat itu.
"Ini akan membutuhkan waktu, pikirannya terlalu penuh untuk dikacaukan," pikir gadis itu.
Beberapa menit telah berlalu, kepala Hazel menjadi pusing sendiri, dia berusaha memfokuskan dirinya ke manik mata Dimas lebih dalam lagi, memang ini lama, namun, seharusnya di keadaan seperti ini justru ketepatannya dari keseimbangan pikiran dan kefokusan akalnya akan menyambung, tunggu sebentar lagi saja.
Lalu Hazel merasakan sensasi seperti sengatan listrik yang mengalir itu.
Klik.
Itu dia, kini segala hal akan lebih dipermudah, gadis itu mulai berusaha lagi menanamkan dalam pikirannya. Menjurus ke mata lelaki itu, mengatakan hal yang sama di dalam benaknya.
"Berdirikan badanmu."
Hazel berusaha melihat usaha lelaki itu tanpa membuat kefokusannya menghilang. Namun, ketika mata Hazel melihat lelaki didepannya ini, sungguh reaksinya benar-benar tidak sebanding dengan usaha yang dilakukan oleh gadis itu. Kepalanya semakin pusing, dia sudah melakukan hal sesuai yang dia tau, namun kenapa Dimas terlihat tidak bergeming terhadap apa yang Hazel ucapkan di benaknya?
Gadis itu memaksakan dirinya untuk mencoba lebih fokus, lebih dalam, merasuki benak Dimas. Mencoba memasukkan sedikit kesadarannya kepada Dimas.
Lalu dari kejauhan kesebelas murid itu menatap fokus kearah dimana Hazel dan Dimas berada. Begitupun Reza dan Liam yang menatap Hazel dengan khawatir, waktu sudah berjalan jauh, apakah potensi Hazel masih belum bisa bekerja?
"Sepuluh menit telah berlalu , namun tidak ada reaksi dari Dimas."
"Mungkin kekuatannya masih belum terlatih, dia benar-benar perlu belajar lagi."
Bisikan-bisikan itu mulai terdengar, tentu saja Hazel dapat mendengar itu semua, namun dia tidak ingin berfikir tentang itu dan mengacaukan kefokusan yang sudah dia buat susah payah hingga ditahap ini.
Tunggu saja, sebenarnya bisa kok, jika perkiraannya benar maka selanjutnya dia hanya perlu lebih memfokuskan dirinya. Ini memang perlu waktu.
"Berdirikan badanmu."
Hazel sedikit terkejut, lelaki di hadapannya mulai menggelengkan kepalanya. Keningnya sedikit berkeringat.
"Sepertinya ini bekerja." Ucap lelaki itu tersenyum.
Beberapa murid memperhatikan, Hazel benar-benar serius, hingga dia tidak merasakan sesuatu seperti cairan dingin dari hidungnya mengalir, lalu menetes ke baju milik gadis itu.
Merah.
"Ah, Hazel!" Lirih Ajeng panik, namun dia tidak tega mengacaukan kefokusan Hazel saat ini.
Reza yang melihat Hazel seperti itu sedikit menggelengkan kepalanya. Dia khawatir hal ini akan terjadi.
"Kakak..." Lirih Liam terpaku melihat kakaknya begitu berusaha menunjukkan potensinya itu.
Dengan cepat Ajeng duduk di sebelah Hazel, sejujurnya dia takut terbawa suasana. Sehingga Ajeng mengisi pikirannya dengan berbagai hal. Dia tidak membiarkan pikirannya kosong sembari mengusap darah yang menetes dari hidung Hazel.
Beberapa saat kemudian, kening dan leher Dimas semakin berkeringat karena dia berusaha tidak terbawa pikiran oleh Hazel setelah beberapa waktu. Dimas berusaha tidak kehilangan fokus. Namun, sesekali dia melirik ke arah perwakilan yang lain memberikan pandangan aneh kepada mereka.
Kemudian Dania dan perwakilan lain yang melihat hal itu dari pojok segera berjalan menuju tempat Hazel dan Dimas berada.
Dania melihat ke mata Dimas.
Gadis itu melihat kedua raut muka Dimas dan Hazel yang mulai pucat. Dania menghadap ke arah Dimas lalu melihat jam, 15 menit lebih ternyata telah berlalu. Namun mengapa Dimas tidak menghentikan latihan gadis ini?
"Apa yang Dimas pikirkan?" Pikir Dania bingung.
Mata Dimas melirik ke arah Dania, kemudian menepuk pelan gadis itu yang berdekatan dengan Dimas.
Dania yang melihat hal itu kemudian berniat menepuk pundak mereka berdua, untuk menghentikan pelatihan dan mengembalikan kesadaran mereka berdua. Namun, sebelum itu terjadi, Hazel seketika ambruk dengan darah yang terus menetes itu.
Dengan cepat Ajeng menahan pundak Hazel. Gadis itu nampak pucat karena kehilangan darah dari mimisan tersebut.
Dania mengerahkan sapu tangan ke Dimas.
"Terimakasih," ucap lelaki itu dibalas dengan anggukan dari Dania.
Hazel kemudian kembali duduk dan membersihkan sisa darah yang ada di hidungnya. Mimisan itu berhenti tepat setelah Hazel menghentikan dirinya untuk melatih potensinya itu.
"Maafkan saya, saya akan benar-benar mencobanya setelah saya pulih nanti," ucap Hazel dengan pandangan sayu, menatap kedua perwakilan dihadapannya itu.
Dimas menatap gadis itu, terdiam.
"Kamu yakin tidak apa-apa, Hazel?" Ucap Ajeng.
Hazel mengacungkan jempolnya lalu mengambil tisu lagi.
"Bagaimana kamu melakukannya Hazel?"
"Aku hanya melakukan sesuai yang aku tau," jelas gadis itu tersenyum.
Dimas tersenyum,
"Baiklah kamu boleh kembali."
"Terimakasih," balas gadis itu ramah kemudian kembali ke tempat duduknya bersama peserta didik yang lain dalam keadaan masih lemah.
"Pelan-pelan saja Hazel, kamu hebat!" Ucap Ajeng kemudian mengacungkan jempol ke arah Hazel.
Di tempat yang sama Dimas berbincang dengan Dania.
"Dia hebat, Dan!" Lelaki itu berbinar.
"Bagaimana bisa? Dia bahkan tidak sampai membuatmu benar-benar terbawa olehnya," ujar gadis itu dengan alis berkerut, meragukan.
Dimas menggeleng,
"Kamu melihatnya sendiri tadi, dia merubah instruksinya di detik-detik terakhir sebelum mataku menoleh ke arahmu untuk datang kesini."
Dania terdiam, menyadari sesuatu.
"Tunggu, jadi..."
"Benar, dia menginstruksikanku untuk tidak bisa berbicara!"
Dania menatap ke arah Hazel dengan ekspresi yang tidak dapat ditebak.
"Dia mengerikan," lirih gadis itu.
_____________________________
Hazel menoleh ke arah jam tangannya dan menyadari semua pelatihan hari ini berakhir tepat di jam 4 sore.
"Akan kita lanjutkan besok, kalian luar biasa hari ini, selamat berisitirahat," ujar Dimas kemudian berkumpul dengan perwakilan lain.
Hazel tersenyum, akhirnya pelatihan hari pertama telah berakhir.
Gadis itu berjalan menuju tepi pondok untuk melihat danau itu. Angin lembut membelai rambut hitam Hazel yang terurai. Dia memejamkan mata untuk merasakan ketenangan itu.
Kemudian Hazel merasakan seseorang berjalan ke arahnya.
Reza ikut bergabung dengan Hazel untuk berdiri disana.
"Pemandangannya begitu indah disini, bukan begitu Reza?"
Reza mengangguk, namun, raut mukanya berkata lain.
Hazel menoleh ke arah lelaki tersebut dan mengerutkan alisnya,
"Ada apa?"
"Kamu mencium aromanya juga?"
"Aroma apa yang kamu maksud?"
"Bau terbakar."
Gadis itu terkejut, rupanya Reza juga mencium aroma itu. Hazel memijat-mijat jari-jarinya satu sama lain berfikir.
"Ajeng yang memberitahuku, tetapi aku tidak menciumnya tadi."
"Benarkah?"
Gadis itu mengangguk kemudian melanjutkan,
"Aku juga bermimpi ketika pondok yang kita tempati ini terbakar.
"Seluruhnya?" Ucap lelaki menoleh ke arah Hazel, meyakinkan.
Gadis itu mengangguk.
"Apa sesuatu yang buruk akan terjadi?" Gadis itu menatap danau, berusaha menenangkan pikirannya.
Pandangan Reza kembali menghadap ke danau itu, menggeleng,
"Aku tidak tau, aroma terbakar dan mimpi itu sepertinya bukanlah pertanda yang bagus."
Gadis itu menghela nafas perlahan, berusaha untuk tenang.
"Apa hidungmu baik-baik saja?" Tanya lelaki itu kemudian menunjuk hidungnya sendiri.
"Iya, tidak separah tadi, aku sampai bertanya mengapa bisa keluar darah sebanyak itu," ucap gadis itu tersenyum kecut.
Reza terdiam menatap gadis itu.
"Apa?"
"Tidak," Reza menggeleng.
"Baiklah kalau begitu, mari kembali ke pondok, hanya tinggal kita berdua disini.
Liam juga pasti menunggu."
Hazel berjalan diikuti Reza dari belakang, kemudian meninggalkan tempat tersebut.
Sementara itu hari semakin gelap, semburat jingga kemerahan dari senja yang ada itu mulai menghilang. Bulan perlahan terlihat, hari itu adalah malam bulan purnama. Malam ketika semuanya lebih jelas dan misterius.
Di tengah malam yang dingin itu, siapa yang bisa melindungi diri selain dirimu sendiri?
__________________________________
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top