Hampir saja!

Ini sudah pukul tujuh kurang lima belas menit. Waktu yang cukup untuk Hazel dan Liam bersiap-siap sembari memakai sepatu dan kembali mengecek perlengkapan sekolah yang akan mereka bawa.

Sambil menyimpulkan tali sepatu, Hazel sedikit mengencangkan tali terlalu keras. Keningnya berkerut, dia kesal. Dia bahkan tidak membuka obrolan lagi setelah apa yang terjadi di dapur tadi.

"Dasar...ternyata keluargaku sendiri yang melakukannya." Pikir Hazel amarahnya semakin mendidih.

Memang tidak seperti orang marah pada umumnya yang akan mengamuk ketika tau bahwa pembunuh dari keluarganya adalah saudaranya sendiri. Namun, benar-benar ketika mendengar hal tersebut, gadis tersebut begitu merinding.

"Bagaimana cara paman melakukannya? Seandainya aku tau...." Pikir gadis tersebut masih berkutat pada segala macam kejadian yang pernah terjadi beberapa hari belakangan.

Hazel kemudian menoleh ke arah adiknya yang masih mengikat tali sepatu tepat disebelahnya. Gadis itu begitu terkejut tadi ketika dengan cepat lelaki ini lepas dari pelukan tangannya dan berlari ke dapur. Keras kepala, padahal gadis ini ingin mendengarkan lebih banyak lagi cerita yang dengan tidak sengaja kedua keluarganya itu ucapkan ketika Hazel dan Liam tidak ada.

Gadis itu kemudian kembali menghadap depan dengan posisi sepatu telah siap dan masih terduduk. Gadis itu mendongak ke atas, sambil memikirkan, hanya dirinya dan Liam saja yang tidak mengetahui rangkaian peristiwa yang terjadi.

Percuma juga untuk bertanya pada ayahnya, dia tidak akan mendapatkan satu pun petunjuk di sana. Beliau bilang bahwa dia belum dewasa, belum saatnya untuk menceritakan hal itu kepada dirinya. Maksudnya?? Ayolah Hazel sudah bukan gadis yang masih harus disuapi ketika makan, terkecuali kalau sedang sakit.

Yah....apalagi karena penjelasan tadi, pembicaraan mereka benar-benar nyambung, rasanya mereka berdua terkait dengan peristiwa masa lalu itu. Hal itu juga semakin membuat dirinya kesal. Kenapa mereka tidak bercerita?
Apa salahnya, bagaimana jika kejadian yang menimpa ibunya terjadi lagi pada anggota keluarga Hazel yang lain.

Gadis tersebut menggelengkan kepala. Dia tidak dapat membayangkan betapa kehilangannya dia apalagi ketika nanti adiknya juga diambil alih menjadi korban tumbal. Dia benar-benar akan kehilangan akal sehat jika itu sampai terjadi.

"Perkumpulan magis itu...memangnya ada?" Pikir gadis itu sambil menatap pepohonan yang tinggi menjulang.

Dengan segala pemikiran tersebut, pada akhirnya tetap saja, Hazel kehilangan arah dia tidak tau harus memulai darimana. Perlahan gadis itu menunduk dan menghela nafas dengan frustasi.

Ketika menoleh ke arah adiknya yang sudah siap dengan sepatunya.

Dengan cepat Hazel berdiri dan mengambil tas yang tergeletak di sofa dekat pintu. Dia harus cepat, gadis itu begitu malas untuk bertemu kembali dengan ayah dan tantenya. Rasanya reflek otaknya akan membuatnya mengamuk seperti yang selama ini Hazel pikirkan dengan melihat wajah mereka.

Dengan cepat Hazel berlari menuju gudang di belakang rumah dan mengambil sepeda tua pemberian kakeknya. Tersenyum, ternyata masih bagus. Gadis tersebut lalu mengayuh sepedanya menuju depan rumah, dan berhenti lalu memanggil Liam untuk segera naik diatasnya.

Namun, dari belakang terlihat Tante Hazel sedang berjalan cepat menuju ke depan untuk sekedar memberikan ucapan semoga berhasil, selamat tinggal, atau semoga sukses disekolah.

Hazel sedikit tersenyum masam, dia benar-benar muak dengan wajah itu sekarang, dia sengaja tidak mengamuk karena berfikir bahwa hal itu tidak akan menyelesaikan masalah. Tunggu saja, dia akan mencari jalan keluarnya sendiri, dan membalaskan apa yang terjadi di masa lampau itu.

Setelah membantu adiknya untuk duduk di jok belakang, akhirnya gadis itu dengan santai mengayuh sepeda meninggalkan pekarangan rumah tersebut, dengan seorang wanita yang sudah berlari menuju halaman depan rumah.

"Hazel! Liam! Kumohon tunggu dulu!" Ucap wanita tersebut lalu berhenti.

Wanita itu menangis, dia bingung dan kecewa karena kejadian tadi. Dua keponakan yang paling disayangi olehnya sekarang akan benar-benar mengacuhkannya.

Dia menahan rasa sakitnya sambil berbalik dan berjalan ke dalam rumah.
.
.
.
Dengan cepat Hazel mengayuh sepedanya, dia kesal, sangat kesal.

Rasanya rantai sepeda tersebut bisa terputus, karena cepatnya roda yang melaju.

Hatinya sakit.

Perlahan satu bulir air mata jatuh di pipinya yang tembam. Dengan cepat Hazel mengusapnya kembali, jangan sampai adiknya melihat kakak dalam keadaan seperti ini lagi. Dia harus menjadi berguna dan bisa diandalkan oleh adiknya.

Karena tidak fokus dalam mengayuh sepeda, ketika sampai di kelokan jalan menuju rel kereta. Hazel tetap melaju. Kebetulan kereta akan melintas di rel tersebut. Namun, gadis itu tidak berhenti, padahal lampu peringatan sudah dihidupkan, suara palang yang tertutup sudah terdengar.

Liam dari belakang, menengok, kakaknya ini kenapa? Liam berusaha berbicara dengan kakaknya secara halus di belakang, dia panik. Batasnya sudah terlihat, namun, mengapa sepeda kakaknya masih belum melambat?

"Kakak...
"Kak...tolong berhenti.."

"Tidak...jika kakak mengayuh lebih jauh...tidak...kakak ini kenapa?" Pikir Liam panik.

Sedikit kesal adiknya kemudian menepuk pundak Hazel sedikit keras dan berteriak,
"KAK! BERHENTI!!!"

Seketika Hazel tersadar, dengan cepat Hazel mengerem sepeda tersebut. Lalu terdiam sesaat sambil mengambil oksigen sebanyak yang dia bisa.

Pandangannya menanar, dia terkejut. Kereta akan melintas, dia ada di pinggir rel kereta sekarang, satu gayuhan lagi, dan dia akan keluar dari palang ini, tidak akan dapat menyelamatkan diri jika adiknya tidak menyadarkannya.

"Kak? Kakak kenapa?! Bagaimana jika kita tidak sempat berhenti?" Ucap Liam menggerutu di belakang.

Hazel menyesal semakin ditimpa rasa bersalah, bagaimana dia bisa ceroboh? Setidaknya jangan mengorbankan orang lain. Dia berfikir dirinya sungguh bodoh, hanya karena memikirkan hal tersebut, dirinya dan adik hampir saja menjadi santapan lezat kereta kencang yang melaju di sana. Bagaimana dia bisa melindungi adiknya jika perilakunya saja masih seperti itu. Hazel menunduk kemudian menangis tanpa bersuara.

Hazel mencoba merasakan tiap tetesan air mata yang jatuh dari pelupuk matanya, sambil menatap langit, begitu indah, biru cerah dengan sedikit awan putih disana. Bahkan sepertinya Tuhan sendiri tidak memperbolehkannya untuk menangis hari ini.

Itu karena dia sendiri juga tidak percaya bahwa saudaranya sendiri yang berencana membunuh ibunya.

"Kenapa...kenapa harus keluargaku sendiri.." Pikir Hazel lalu mengusap air mata yang ada pipinya dengan cepat, lalu menunggu sampai palang tersebut terbuka.

Dia kembali mengatur nafas dan membaca beberapa doa, agar hatinya kembali tenang, sambil menatap lajuan kereta yang ada didepannya.

Kereta akhirnya selesai melintasi rel tersebut. Lampu peringatannya padam, dan palang rel akhirnya terbuka perlahan. Dengan cepat Hazel mengayuh sepedanya kembali. Tetapi kini dia fokus memerhatikan jalan
tidak ingin sesuatu terjadi lagi.

Sekolah Liam ada di persimpangan jalan, kini bangunannya mulai terlihat, ketika sampai di gerbang, dengan cepat Hazel menurunkan adiknya dari sepeda. Adiknya kemudian melambaikan tangannya sambil tersenyum kepada Hazel lalu di datangi oleh teman-temannya yang sudah menunggu di depan pos satpam.

Setelah memastikan Liam masuk, Hazel dengan cepat kembali mengayuh sepedanya dan pergi menuju sekolahnya.

"Aku juga tidak akan diam tentang hal ini, tapi aku tidak akan menjadi bodoh dan membuatku menjadi mangsa yang masuk perangkap mereka." Pikir Hazel yakin lalu berkelok lincah di padatan mobil serta motor yang ada di dekat lampu merah.
.
.
.
Hazel kemudian masuk kedalam gerbang, lalu dengan cepat turun dan memarkirkan sepedanya.

Seperti biasa, sahabatnya menyapa Hazel terlebih dahulu dari belakang. Hazel berbalik dan tersenyum, lalu mengikuti Reni untuk masuk bersama ke kelas mereka.

"Ah lihatlah, kamu nangis lagi Hazu?" Tanya Reni ditengah-tengah perjalanan mereka.

Hazel yang semula menghadap gadis tersebut kini menunduk lalu mengangguk.

Dengan cepat Reni memeluk Hazel dan menepuk punggungnya perlahan.

"Kuatkan dirimu Hazel, aku juga sangat sedih ketika mendengar kepergian Tante, aku harap jalannya di lapangkan oleh Tuhan Yang Maha Esa" Ucap Reni pelan dan memejamkan matanya.

"Terimakasih banyak atas doamu Reni..." Ucap Hazel tersenyum terharu di pelukan sahabatnya.

Lalu keduanya melepas pelukan dan kembali berjalan menuju kelas mereka.

Saat masuk ke kelas, banyak teman-teman Hazel yang menghadapnya dengan tatapan prihatin.

Dengan cepat Hazel duduk di bangkunya bersama Reni lalu menggantung tasnya di samping meja.

Beberapa teman Hazel perlahan datang, kemudian mereka satu persatu mengucapkan bela sungkawa kepada Hazel. Gadis tersebut hanya tersenyum dan berulang kali mengucapkan "terima kasih" kepada mereka.

Ada juga yang kemudian dengan tidak berfikir, bertanya kepada Hazel, bagaimana kejadian atau hal yang menimpa ibunya itu sehingga membuat beliau meninggal. Tentu saja, Hazel terdiam.

Dia tidak diam karena sombong, Hazel pun juga tidak tau bagaimana ibunya bisa meninggal. Tau saja ketika datang ke rumah, dia memandang tubuh kaku ibunya ketika dibawa petugas yang ada saat itu.

Mendengar beberapa pertanyaan tersebut, Hazel hanya bisa terdiam dan tersenyum sedih.

Reni yang ada di sebelahnya, mengerutkan kening, khawatir lalu menatap kumpulan murid (reporter) tersebut.

"Hei, kalian benar-benar tidak bisa membaca situasi? Jangan bertanya hal sensitif tersebut kepada Hazel. Lihatlah dia terdiam mendengar pertanyaan-pertanyaan dari kalian. Sudah seperti detektif saja sampai bertanya sedetail itu." Ucap Reni dengan tatapannya yang risih terhadap mereka.

Dengan cepat, kumpulan tersebut perlahan terdiam dan tidak menanyakan hal aneh-aneh kembali kepada gadis tersebut. Sedikit lega, akhirnya gadis itu menghela nafas.

"Terimakasih banyak Reni, aku akan menraktirmu soto di kantin!" Pikir Hazel tersenyum menoleh ke arah Reni terharu.

Setelah itu, bel masuk berbunyi. Mata pelajaran pertama Kimia. Ah, kesukaan Hazel. Dia akan melepaskan amarahnya disini. Berharap, perasaannya akan kembali tenang setelah mengerjakan rumus rumit namun, nagih yang ada di mata pelajaran tersebut.
------------------------------------------------------






Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top