Dua golongan

Tik...tik...

Tiada lagi yang bisa menandingi kesunyian ruangan itu. Lampu minyak yang sudah padam, menyisakan kegelapan. Kamar-kamar itu telah terisi penuh oleh murid-murid yang tertidur pulas, setelah menjalani hari yang berbeda dari hari biasanya.

Bangunan yang berada di bawah tanah itu begitu kokoh, suhunya cukup dingin, sehingga membuat penghuninya tidak ragu memakai selimut tebal saat tidur.

Mereka menyiapkan energi untuk hari esok. Hari yang begitu penting, hal itu bisa menjadi pengalaman mereka untuk menjadi lebih kuat. Pastinya mereka telah berlatih mati-matian untuk ini. Tidak ada lagi kata takut, mereka harus mampu, mereka harus kuat.

Tetapi, di tengah kesunyian itu, seorang gadis yang tengah tidur dengan posisi terlentang malah merasakan ketidaknyamanan. Hal ini terlihat dari kelopak matanya yang seperti ingin segera dibuka. Dada yang naik turun, kening yang berkerut.

Air mata keluar dari pelupuk mata gadis itu, membuat raut mukanya tampak menyedihkan dalam tidur. Setelah itu dengan cepat gadis itu merasa kesadarannya seolah kembali dengan cepat.

"Hah!!!" Gadis itu terbangun dan duduk dengan mata yang membulat terkejut.

Nafas gadis itu memburu, dia menoleh ke arah kanan dan kiri dengan waspada. Dia khawatir membangunkan teman sekamarnya yang lain.

Dia mengusap matanya dengan kedua tangan, lalu menutupnya dan terdiam sementara. Membuang nafas dan menariknya, hal itu dia lakukan selama beberapa menit, sampai kerja jantungnya kembali normal. Tangannya pun kini masih bergetar. Lalu dia merasakan haus yang amat sangat dari tenggorokannya akibat hal yang dia alami dalam tidur itu.

Mata gadis itu sayu, tidak mendapat tidur yang cukup,
"Aku ingin minum..." Lirihnya.

Dengan lemah gadis itu menyibak selimutnya. Beranjak dari kasur,
memakai sandal kayunya, lalu keluar menutup pintu kayu itu secara perlahan.

Saat di luar ruangan, semuanya tidak jauh berbeda, suhu masih dingin, penerangan remang-remang dari lampu minyak itu menuntun Hazel untuk berjalan terus menuju dapur.

Hembusan angin itu terkadang membuat tubuhnya menggigil, sehingga Hazel mengeratkan pelukan terhadap dirinya sendiri sambil menggosok bagian lengan atasnya agar merasa hangat.

Ruangan terkunci semua, mungkin hanya dia seorang yang keluar?

Hazel menyusuri koridor dari ruangan yang ada di tempat itu, bisa dipastikan, tidak ada jendela yang terpasang, karena mereka ada di ruang bawah tanah. Namun, mengapa suhunya bisa dingin seperti ini? Apakah ini dari temperatur suhu tanah yang didukung oleh suhu dingin malam itu? Mungkin saja.

Dapur itu terlihat, Hazel mempercepat langkahnya lalu melihat sekitar dan menemukan tempat rak gelas. Gadis itu mengambil salah satunya dan mengisinya di kran air minum.

Gluk..gluk...

Gadis itu merasa lega dan berdiam diri sejenak, memejamkan mata sambil merasakan kesegaran itu yang membuat pikirannya kembali rileks setelah mengalami mimpi buruk.

Srak..Srak....

Telinga Hazel menangkap suatu suara, dengan cepat Hazel meletakkan kembali gelas itu di tempatnya dan berbalik badan.

Kening gadis itu mengerut, matanya menghadap ke arah depan. Dia terdiam, mencoba mendengar suara itu lebih jelas, apakah masih muncul?

Srak...Srak....

Perlahan Hazel berjalan, sesuai instingnya, menuju sumber suara. Karena asalnya tidak jauh dari dapur.

"Siapa? Malam-malam begini?" Pikir Hazel.

Kemudian dia menemukan ruangan asal suara itu dan menemukan Ibu Ningrum yang tengah mengasah panah kecilnya.

Beliau terduduk di kursi kayu yang memiliki meja bundar kecil. Satu kursi kosong juga ada diseberang meja tempat Ibu Ningrum berada. Setelah Hazel sadari ruangan ini terdapat banyak sekali buku, terdapat beberapa rak disana.

Hazel terdiam.

"Tidak bisa tidur?" Ucap Ibu Ningrum tanpa menoleh ke arah gadis itu.

Kemudian wanita itu mengangkat kepalanya yang dari tadi terfokus pada panah itu, menuju ke arah Hazel berdiri.

Mata Ibu Ningrum bergerak cepat dari melihat kiri dan kanan, lalu kembali ke arah Hazel seakan menyuruhnya untuk duduk di kursi satunya yang kosong.

"Permisi," Hazel berjalan cepat kemudian duduk di kursi itu.

Ibu Ningrum meletakkan panah kecilnya ke dalam kotak kayu. Lalu mengambil lagi yang masih ada di luar kotak tersebut dan kembali mengusap dan mengasahnya seperti tadi.

Ketika Hazel mengintip, barang-barang itu ternyata bukan hanya busur kecil, namun juga ada belati, pisau, bahkan senjata bergerigi yang mudah dibawa kemana saja.

Hal itu membuat Hazel bergidik ngeri, apakah Ibu Ningrum selalu membawa alat sebanyak ini saat menjalankan suatu misi?

"Apakah ada yang menganggu pikiranmu saat ini, sampai kamu mengalami mimpi buruk?" Tanya Ibu Ningrum kemudian memfokuskan pandangannya ke mata hazel gadis tersebut.

Dia terdiam sementara, kemudian membalas pertanyaan Ibu Ningrum.

"Saya sudah sering mengalami ini, namun akhir-akhir ini hal itu terjadi setelah satu rekan saya menghilang secara tiba-tiba."

"Reza, apa betul itu namanya?"

Hazel mengangguk,
"Kepergiannya sangatlah tidak wajar, apakah anda mengetahui keadaannya, guru?"

Ibu Ningrum terdiam, mengusap senjatanya, setelah dirasa cukup, wanita itu meletakkan senjatanya kembali di dalam kotak, dan berdiri meninggalkan Hazel sendiri di meja itu, masuk ke dalam rak-rak buku yang ada di tempat itu.

Beberapa menit kemudian, beliau membawa sebuah buku, tidak terlalu tebal, namun tampak usang dimakan usia. Ibu Ningrum menyerahkan buku itu kepada Hazel.

"Penyembah aliran sesat," lirih Hazel membaca judul.

Gadis itu mengerutkan keningnya merasa tidak mengerti, dia bertanya kondisi Reza, kenapa malah diberi buku seperti ini? Apa yang dimaksud oleh Ibu Ningrum?

"Saya mengetahui ada dua golongan orang yang bergabung dengan penyembah aliran sesat ini," ucap Ibu Ningrum yang duduk kembali lalu mengangkat jari telunjuknya.

"Satu, orang itu bergabung untuk memenuhi keinginan yang diimpikannya."

Hazel menghadap ke wajah Ibu Ningrum, menatapnya lekat-lekat mencoba memahami.

Kemudian jari tengah beliau terangkat di sebelah jari telunjuknya mengisyaratkan angka kedua.

"Kedua, karena mereka tidak ada pilihan lain dari keturunan keluarga, padahal sebenarnya mereka tidak mau."

Hazel membuka lembaran buku itu, terdiam.

"Menurutmu, golongan mana kamu sekarang?"

Hazel mengangkat kepalanya,
"Tentu saja, saya menjawab yang kedua," ujar gadis itu yakin.

Ibu Ningrum melipat kedua lengannya di dada. Menatap gadis itu.

"Beberapa dari orang ini akan melakukan apa saja agar bisa keluar dari rantai keturunan ini. Seperti yang kamu tau, padepokan ini menjadi rumah kedua bagi mereka yang ingin menjadi lebih kuat dan melawan takdir mereka sendiri untuk melawan keburukan."

Hazel mengangguk memahami.

"Namun, beberapa orang memang ada yang sudah terlanjur masuk terlalu dalam sesuai dengan takdir yang dibuat untuk mereka di pusaran kegelapan itu. Jadi satu-satunya cara yang bisa dilakukan mereka, untuk melindungi diri dan orang yang disayanginya hanyalah," Ibu Ningrum sengaja tidak melanjutkan perkataannya agar muridnya itu bisa memikirkan sendiri jawabannya dengan membaca buku itu.

Hazel mencoba memikirkan perkataan Ibu Ningrum sambil membolak-balik halaman buku itu. Kemudian dia menemukan bab yang menarik perhatiannya.

Setelah membaca judulnya dia mengerutkan keningnya, mengangkat kepalanya menghadap ke arah Ibu Ningrum.
"Bagaimana bisa? Ini tidak mungkin, guru,"lirih Hazel.

"Seperti yang pernah saya bilang," Ibu Ningrum berdiri lalu berjalan mendekat ke tempat dimana Hazel duduk.

"Tempat ini menjadi tempat teraman bagi murid-murid padepokan Bahuwirya. Namun, Ingat, saya tidak pernah mengatakan bahwa tempat ini aman bagi mereka yang menjadi penyusup disini."

Ibu Ningrum berjalan semakin dekat lalu menundukkan tubuhnya sedikit lebih rendah agar dapat melihat manik mata gadis itu dengan lebih fokus.

"Lelaki itu-"

Ibu Ningrum mengangkat dagu Hazel dengan jari telunjuk dan jari tengahnya.

"-Telah melakukan perjanjian yang melibatkan jiwa dan raganya kepada iblis, bagaimana kamu bisa tidak mengetahuinya?"

Seketika jantung Hazel serasa berhenti berdetak untuk sementara, raut wajahnya menjadi benar-benar gelisah,

"Sejak kapan..."

Ibu Ningrum kembali berdiri tegak,
"Lama sekali, kurang lebih lima tahun jika dilihat dari kondisi jiwanya, menurut Pak Danang."

"Mengapa anda sekalian tidak mengatakan apapun pada saya sejak datang ke tempat ini?"

"Sebelumnya kami ragu, namun setelah seorang siswa melihatnya pergi, dengan asap hitam, itu sudah menjadi bukti yang cukup."

Hazel menunduk mengepalkan tangannya kuat. Mencoba menahan imajinasinya yang meliar,
"....."
__________________________________
Jauh dari padepokan itu, sebuah gubuk kecil di tengah hutan tersebut kedatangan dua asap hitam yang berubah menjadi sosok lelaki dan perempuan.

Mereka masuk ke dalam gubuk itu lalu menutup pintu dan mengucapkan suatu kata disana. Dalam sekejap tubuh mereka terbawa ke suatu bangunan besar yang begitu gelap, suara dari gagak yang berterbangan.

Mereka berdua berjalan masuk menuju sebuah ruangan besar yang dikelilingi pilar dari batu berwarna hitam. Mereka berhenti disana. Menunggu kedatangan sesuatu, berdiri menundukkan kepalanya.

Sosok hitam itu kemudian datang dihadapan mereka.

"Melapor tuan, besok mereka telah bersiap untuk pergi menuju kampung yang telah di ilusikan oleh para petinggi perkumpulan," ucap lelaki itu.

Orang yang disebut tuan itu kemudian menjawab,

"Penyamaran yang bagus, aku tidak mengira kamu akan mengabdi seperti ini kepada kami, Reza."

Lelaki itu hanya memandang lurus ke depan.

"Saya akan melakukan apa saja untuk bisa mengabdi kepada yang pantas saya abdikan."

Tuan itu kemudian mengangkat tangannya dan menyerap energi yang membuat Reza itu terkejut dan terduduk lemah memukul jantungnya yang sakit.

Dug!! Dug!!

"Akhh! Ohok! Ohok! hakhh!"

"Aku suka semangatmu, tapi kata-katamu masih belum bisa dipercaya, aku akan tunggu buktinya besok, atau..."

Tuan itu kembali melakukan sesuatu terhadap Reza yang membuat lelaki itu semakin merasa kesakitan. Peluh keluar dari keningnya.

"Hakhh! Akh!"

Dug!! Dug!! (Dadanya kembali dipukul)

"Ha..."

Setelah itu Tuan tersebut menjentikkan jarinya, dalam sekejap rasa sakit yang dialami Reza menghilang secara tiba-tiba.

Tuan itu mengangkat satu alisnya, menyimpulkan sebuah senyuman kecil yang kejam dan terdiam menunggu respon dari lelaki itu.

Lelaki itu terdiam, sesaat kemudian dia kembali berdiri menyejajarkan posisinya dengan gadis disebelahnya.
"Baik, Tuan."
__________________________________
Thanks for reading! ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top