Bertemu
Kembali lagi malam itu tiba.
Begitu sunyi, sampai tiap jarum jam dinding itu bergerak akan menimbulkan suara detakan yang berarti. Bisikan dari angin syahdu malam itu, cahaya langit dari bulan yang kini mulai tertutup bagian tepinya, setelah kemarin bersinar penuh di fase purnamanya.
"1 menit lagi," lirih gadis itu menatap tajam ke arah jam dinding.
Gadis disebelahnya mengangguk dalam keadaan tidur terlentang dan badannya tertutup selimut hingga lehernya.
"30 detik lagi," lirih gadis itu lagi.
Gadis disebelahnya menatap langit-langit kasur atas itu. Mencoba untuk menelan ludahnya kasar. Sedikit gugup.
Setelah itu, gadis yang melihat jam tersebut, menepuk pelan pundak temannya yang di posisi tidur itu dan mengarahkan perhatiannya ke arah pintu.
"Ayo Hazel, ini sudah waktunya."
Mereka mengendap dan berhasil keluar dari pondok itu, setelah bersusah payah menutup pintu kayu yang berat. Kemudian, mereka berdua mengambil masing-masing sandal kayu yang tersedia di rak.
Namun, Hazel menghentikan aksinya,
"Ajeng, bukannya sandal kayu ini akan sangat berisik?"
Ajeng terdiam sementara seperti berfikir, sesaat kemudian dia menaruh kembali sandal itu diikuti oleh Hazel.
"Kalau gitu kita berjalan dengan kaki telanjang saja, zel."
Hazel memberikan jempol.
Namun, tiba-tiba pupil Ajeng melebar. Sepertinya dia melihat sesuatu.
Dengan cepat Ajeng menarik lengan Hazel dan berlari menuju semak-semak yang dekat dengan asrama tempat mereka itu.
Awalnya karena bingung Hazel berusaha bertanya, namun dia berhenti ketika Ajeng mengisyaratkan gadis itu untuk diam dan mengintip ke arah depan.
Ternyata beberapa orang berbaju seragam putih dan hitam berkeliling dan membawa obor kesana kemari di area yang tidak jauh dari tempat mereka berada. Dengan cepat Hazel mencoba mengintip, dia memeriksa.
"Terdapat beberapa orang disana, ah, padahal itu adalah jalur dimana tempatnya berada."
Hazel melanjutkan dengan menggerakkan matanya yang tajam ke arah kanan dan kiri.
Ajeng yang ada disampingnya menarik lengan baju gadis itu pelan, setelah itu bertanya,
"Bagaimana?"
Hazel menoleh ke arah Ajeng dan duduk kembali sejajar dengannya.
"Ada 2 di arah tempat yang akan kita lalui, dan 2 yang mengawasi dari sudut area asrama kita, setelah itu 1 sisanya berkeliling."
Ajeng sedikit terkejut, ternyata sebanyak itu yang menjaga. Hazel memutar otaknya, memikirkan suatu rencana untuk bisa melewati jalur itu.
Hazel naik lagi mengintip penjaga-penjaga itu, setelah terdiam beberapa saat, gadis itu menoleh ke arah Ajeng.
"Jeng, gimana kalau waktu kita mau lewat ke arah yang kita tuju, nanti penjaganya kamu kasih lempar batu buat perhatian ke arah yang berbeda dengan yang akan kita tempuh, lalu aku akan memeriksa bagaimana mereka akan merepons dari pikiran mereka,"
Ajeng mengangguk dan memberikan pandangan meminta penjelasan lebih lanjut.
"Nanti ketika mereka memiliki niat untuk mengecek ke arah datangnya suara, aku bisa memberikan aba-aba untuk segera bergerak maju. Karena bisa saja setelah dikecoh seperti itu, kita bisa lolos dari sini dengan segera."
Ajeng berfikir, terdiam.
"Kira-kira berapa banyak batu yang harus aku kumpulkan untuk ini?"
"Sebanyak yang mampu kamu bawa saja, toh kita akan berusaha mengecoh bukan melawan mereka."
Ajeng mengangguk, paham.
Setelah itu mereka berdua mulai berjalan pelan.
Satu langkah
Dua langkah
Sejauh ini berjalan baik, Ajeng dengan cepat melempar batu ke arah semak di tempat mereka bersembunyi tadi untuk mengecoh penjaga-penjaga itu.
Hazel dengan kekuatannya mencoba membaca pergerakan mereka.
Ctangg!!!
Suara itu timbul karena terdapat besi di tempat yang dilempari batu oleh Ajeng.
Membuat bunyinya menarik perhatian seluruh penjaga disitu.
"Hey! Siapa disana?!"
"Bagus, semuanya tertarik menuju ke arah itu!" Pikir Hazel tersenyum.
Setelah itu Hazel menoleh ke belakang ke arah Ajeng dan menyuruh gadis itu untuk berjalan dahulu. Dengan sigap, Ajeng berlari dengan menunduk dan mencapai dengan cepat jalur yang mereka tuju.
"Ayo zel!" Bisik Ajeng lantang dari ujung yang berbeda.
"Tunggu dulu!"
Hazel menoleh ke arah berkumpulnya orang-orang itu, lalu memeriksa jumlah mereka.
Satu, dua, tiga, empat, dan Li...
Loh dimana petugas satunya? Bukankah tadi yang menjaga area seluas ini terdiri dari lima orang?
Satunya berkeliling bukan?.......
Hazel mulai merasakan bulu kuduknya naik, gadis itu menatap mata Ajeng dengan gugup seperti orang yang benar-benar takut ketahuan.
Ini sangat tidak lucu, jika penjaga itu mengetahui keberadaan mereka, maka bisa saja perilaku mereka dilaporkan ke pondok besar dengan tuduhan melakukan sesuatu yang mencurigakan.
Apalagi setelah Hazel mengetahui bahwa penjaga-penjaga ini terdiri dari campuran murid-murid yang sudah lulus dari pelatihan sebulan. Singkatnya mereka yang sedang menjaga ini adalah murid-murid resmi dari tiga nama besar pondok di padepokan ini.
Karena terlalu lama, Hazel mendengarkan perdebatan dalam benak mereka yang hampir selesai itu.
"Aneh padahal aku yakin sekali ada suara disini. "
"Apa itu hanya hewan?"
"Kalau begitu kita hanya bisa kembali ke tempat masing-masing sambil menunggu suara itu muncul lagi. Toh pelakunya sudah tidak ada."
"Kamu benar."
Hazel mengintip ke arah depan, para penjaga itu mulai berjalan kembali ke arah pos mereka.
"Aduh, aku tidak akan bisa keluar dari sini jika begini terus. Tidak ada semak belukar lagi dibelakangku, lalu jika aku berlari, walau secepat apapun, mata tajam mereka tetap akan menangkap bayangan dan mengikuti arah perginya," Pikir Hazel menggigit jari sambil memutar otaknya keras.
Ini semua karena satu penjaga yang tiba-tiba tidak ada itu, Hazel khawatir petugas itu berkeliling dan melihat mereka. Oleh karena itu, Hazel harus melihat situasi terlebih dahulu. Namun, petugas itu tetap tidak kunjung tertangkap oleh mata Hazel.
Dimana dia?
Setelah itu, Hazel mendengar suara lagi, percakapan mereka.
"Hey, dari mana saja kamu?"
"Loh kenapa?"
"Kami baru saja mendengar suara dari semak belukar itu, tapi mungkin itu hanya hewan saja."
"Ah...benarkah, baiklah kita tunggu sampai suaranya terdengar kembali," ucap penjaga yang baru datang itu.
"Kamu belum menjawab pertanyaanku, dari mana kamu?"
Hazel mengintip ke depan melihat petugas yang mukanya tertutup itu. Sejujurnya memang Hazel tidak tau itu laki atau perempuan, atau teman dia atau bukan, karena baju penjaga itu memiliki penutup muka dari kain, awalnya Hazel tertawa mendengar kostum penjaga itu setelah diceritakan oleh Ajeng beberapa jam yang lalu. Namun jika dipikir topeng itu tenyata memiliki fungsi yang berguna sekarang.
Agar musuh tidak mengetahui siapa yang akan mereka lawan.
Lalu saat melihat kondisi dimana penjaga-penjaga itu terfokus pada penjaga yang baru kembali itu, Hazel dengan cepat melangkahkan kakinya ke arah dimana Ajeng berada.
"Lama sekali, Hazel," Ajeng dengan ekspresi cemberut.
"Maaf, aku harus memastikan keadaan dulu."
Ajeng dengan cepat mengangguk dan menarik lengan Hazel menuju Jalur dimana suara-suara itu berasal.
Namun, sebelum benar-benar pergi dari tempat itu Hazel tidak sengaja mendengar percakapan sisa dari mereka.
"Aku habis dari belakang mengecek sesuatu."
"Ah seperti biasa, Dania, bisa diandalkan menjadi petugas penjaga paling teliti di padepokan ini, benar tidak teman-teman?"
Kemudian penjaga-penjaga bertopeng yang lainnya tertawa.
Hal itu meninggalkan kesan di benak Hazel.
"Dania?"
Jadi penjaga yang berkeliling itu Dania.
"Dia datang dari arah yang aku dan Ajeng ingin kunjungi...."
Dengan cepat, Hazel kembali fokus mengikuti arah jalan dengan Ajeng sebagai kompasnya.
Satu kelokan, dua kelokan.
Mereka mulai melintasi daerah dengan pepohonan yang makin rimbun. Sinar bulan hanya dapat menyisakan sedikit dari sinarnya untuk menerangi hutan itu.
"Dimana tempat itu, Ajeng?"
"Tunggu, sebentar lagi kita sampai!"
Hazel diam, dia mengikuti langkah gadis itu, hingga akhirnya Ajeng berhenti.
Yang bisa mereka temukan kini adalah pagar tinggi yang membatasi mereka. Diluar pagar itu ada perkampungan yang terletak dibawah.
Ajeng mengangguk,
"Suaranya berpusat dari bawah, dimana perkampungan itu berada."
Hazel melihat perkampungan itu. Terlihat biasa saja, lampu-lampu yang bersinar di setiap rumah kampung itu. Kampung itu terlihat normal.
"Apakah ada sesuatu yang janggal dari kampung itu?"
Angin malam itu berhenti, menyisakan keheningan malam.
Disini mereka bisa melihat langit dengan lebih leluasa. Bintang-bintang yang memenuhi langit berwarna biru gelap itu memanjakan mata mereka berdua yang berdiri di depan pagar se dada mereka.
Kemudian angin kembali bertiup, kini sedikit kencang, namun membawa aroma yang tidak sedap, bisa dikatakan busuk? Entahlah.
Angin itu membuat rambut Hazel bergerak menutup penglihatan Hazel dengan cepat. Membuat gadis itu tidak nyaman dan akhirnya menyingkirkan ujung-ujung rambut itu dari matanya.
Setelah ujung rambut terakhir itu disingkirkan, mata gadis itu kembali menghadap kedepan.
Namun kini dia terdiam, matanya membelalak melihat makhluk itu.
Makhluk itu terbang naik, menuju ke arah dimana kini Hazel dan Ajeng berada.
Dug! Dug!
Jantung Hazel berdetak dengan kencang, matanya tidak bisa terlepas dari pemandangan itu.
Langkah kaki Hazel perlahan mulai mundur.
Satu langkah
Dua langkah, yang berat.
Hazel bersusah payah mengambil oksigen yang dia perlukan.
"Hazel?" Ajeng bingung dengan reaksi temannya.
Kemudian makhluk yang dilihat Hazel itu melepaskan sesuatu seperti asap yang hitam secara cepat.
Bam!
Rasanya tubuhnya seperti disengat listrik. Namun, Hazel masih tetap tersadar, hanya seketika dia terduduk lemah dan terbatuk. Matanya kini mengeluarkan air mata.
"Hazel!" Panik Ajeng menghampiri Hazel khawatir.
Di dalam benak Ajeng, dia bertanya-tanya sekarang, apa yang baru saja Hazel lihat sampai membuatnya seperti ini?
Sementara itu di benak Hazel, gadis itu berfikir bagaimana bisa dia bertemu lagi dengan mereka?
Makhluk berjubah hitam seperti malaikat maut itu.
Makhluk yang dilihat oleh Hazel dalam ingatan ayahnya.
Makhluk yang hadir dalam mimpi buruknya.
Makhluk itu.
"Bawa.." ucap makhluk itu dengan suara berat.
Gadis itu mendongak ke arah depan, makhluk itu tidak lagi hanya satu sekarang, namun sudah menjadi banyak. Membuat mata Hazel melotot dibuatnya.
"Tidak..." Lirih Hazel.
Ajeng yang bisa merasakan aura dari suara-suara itu ikut pucat karena ini adalah suara dari makhluk yang tidak hanya sekedar arwah, namun ini adalah parasit, mereka berbahaya.
"Ajeng kita harus lari dari sini."
Ajeng mengangguk cepat, menyetujui.
Dengan cepat Hazel berdiri dan menarik lengan Ajeng.
Namun baru beberapa langkah berjalan, mereka dikejutkan dengan suara dari makhluk itu.
"Lihatlah keturunan istimewa itu."
"Keturunan istimewa telah datang."
"Ini adalah harga yang tidak bisa dibayar."
"Bawa kepada tuan."
"Keturunan istimewa telah datang."
"Keturunan istimewa telah datang."
"Bawa kepada tuan."
Suara itu membuat Hazel dan Ajeng merinding setengah mati.
"Apa maksudnya, Hazel?"
Hazel menggeleng melanjutkan pelariannya sambil menggandeng tangan Ajeng kuat.
"Bawa keturunan istimewa itu kepada tuan!"
"Bawa dia!"
"Bawa dia!"
"Bawa keturunan istimewa itu!"
"Bawa kepada tuan!"
"Bawa!"
"Bawa dia!"
Pikiran Hazel dan Ajeng serasa menggila disana. Namun yang hanya bisa dipikirkan oleh keduanya saat ini hanyalah lari dulu.
"Aku tidak tau apapun, namun kampung itu sepertinya benar-benar terkutuk agar bisa ditempati banyak makhluk seperti itu," Pikir Hazel terus berlari.
Di tengah mereka berlari, sesuatu seperti tangan gelap itu menahan tubuh Hazel sehingga membuat tubuh gadis itu terbentur keras ke sisi batang pohon di sana.
Hazel yang terbangun dengan rintihan kesakitan itu mencoba untuk berdiri sebelum akhirnya ditindihi oleh makhluk itu.
Kukunya yang runcing hitam itu mulai menelusuri leher gadis tersebut. Hazel kini hanya bisa bergetar ketakutan, sementara Ajeng dibelakangnya terdiam tidak tau harus melakukan apa.
Makhluk itu memiliki bau yang sangat menyengat. Bau busuk, tidak bisa dipungkiri Hazel mencoba menahan nafas ketika tau ternyata bau busuk tadi berasal dari makhluk ini. Tubuh Hazel bergetar, dia mencoba untuk berdiri namun susah sekali.
Beberapa makhluk yang sama mulai berdatangan, mengelilingi gadis itu, tidak memberi celah pada Ajeng untuk melihat keadaan Hazel sekarang.
Sementara itu, Hazel meronta-ronta mencoba melepaskan diri dari tindihan makhluk tersebut.
"Lepas!" Teriak Hazel.
Kemudian satu tangan dingin makhluk itu menyentuh kening Hazel.
Ajeng yang sedari tadi panik mendengar rintihan suara Hazel, menjadi lebih panik karena gadis itu kini terdiam.
Ajeng berusaha menerobos kedalam kumpulan itu untuk menyelamatkan Hazel, namun ketika dia mencoba masuk, tubuhnya malah terpental, mereka menolak Ajeng.
Gadis itu panik karena Hazel tidak kunjung keluar, apa yang terjadi padanya?
Sementara itu di dalam kumpulan tersebut, Hazel merasakan keningnya lebih dingin, karena disentuh oleh tangan dari makhluk itu. Hal tersebut, membuat gadis itu perlahan terdiam. Kemudian matanya mulai bergenang dengan air dia menghadap ke atas, seperti melihat sesuatu.
Pandangan Hazel menjadi sayu, mata Hazel mulai panas, tanpa waktu yang lama, air mata gadis itu turun.
Sensasi sama yang dirasakan ketika Hazel berada di mobil ayahnya. Sensasi itu kembali dengan hanya sentuhan dari tangan dingin makhluk itu. Lalu sesaat kemudian, isakan kecil mulai terdengar dari bibir Hazel. Gadis itu mencoba menggigit bibirnya menahan isakan itu untuk keluar lagi.
"Hazel.." lirih Ajeng menunggu dari luar, tidak ingin meninggalkan gadis itu sendirian.
Perlahan Hazel mengeluarkan kertas "penghilang" dari saku celananya. Mencoba menempelkan kepada tangannya. Kertas itu adalah kertas sama yang digunakan Reza ketika menyembunyikan diri dari radar ayah Hazel.
Efeknya cukup untuk membuat makhluk-makhluk itu bingung dimana gadis itu sekarang. Tindihan makhluk itu mengendur, gadis itu mencoba merangkak.
Ajeng yang melihat dari luar mencoba untuk mengeluarkan kertas "penghilangnya" berniat untuk menarik Hazel keluar dari kumpulan makhluk itu.
"Ah, Hazel!" Ucap Ajeng saat melihat gadis itu berhasil keluar dengan susah payah dari sana.
Seketika Ajeng terdiam melihat Hazel yang sekarang menuju ke arahnya.
"Kita bergandengan tangan saja, agar bisa melihat satu sama lain," ucap gadis itu sambil menarik lengan Ajeng pergi dari tempat itu.
Hazel kemudian mengucapkan sesuatu di perjalanan mereka kembali,
"Kita harus melaporkan ini kepada tuan Wirya."
Ajeng terdiam sebentar, sebelum akhirnya mengangguk setuju.
"Kamu benar."
Ajeng memperhatikan tangan yang kini menggandengnya itu dengan lekat-lekat. Keningnya sedikit berkerut.
"Sekilas setelah keluar dari kumpulan makhluk itu, mata Hazel bersinar. Apa itu yang maksudnya keturunan istimewa?" Pikir Ajeng kemudian segera menggelengkan kepalanya.
Dia tidak ingin salah paham, maka itu Ajeng akan meluruskannya sendiri dengan bertanya langsung kepada Hazel nanti.
__________________________________
Thanks ^^
-Delzy1
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top