Bersaing!

Hari ini adalah hari ke-15 dari pelatihan sebulan yang dilaksanakan oleh seluruh peserta didik baru.

Kemampuan para siswa di beberapa potensi semakin berkembang secara signifikan. Jadwal awal Minggu ketiga pelatihan ini disambut dengan praktek penggunaan alat-alat perang tanding untuk bela diri.

Benar, Minggu ini akan jadi pelatihan dari pondok asuh Maheswari. Mereka tidak lagi berlatih di pondok, melainkan terjun langsung ke arena bertanding khusus untuk peserta didik baru.

Pertandingan dimulai secara duel, namun ada juga yang berlatih sendiri, sesuai pembagian yang disebutkan oleh Dania.

"Silahkan berlatih dua orang sesuai pembagian tadi, dua hari lagi akan ada uji bakat untuk masuk percepatan rekomendasi pondok asuh Maheswari," ucap Dania lalu membubarkan barisan peserta.

Seluruh murid berhamburan menuju ke arah peralatan yang ada di sebelah kiri arena luas itu.

Hazel mendapatkan busur dan panah. Kemudian gadis itu menoleh ke arah Ajeng, Temannya itu ternyata mendapat pedang. Sehingga dia tidak dapat berduel dengan Hazel.

"Zel..." Lirih Ajeng merasa tidak enak.

"Gapapa, besok kita bisa lebih cepat agar dapat alat yang sama untuk berduel," ucap Hazel tersenyum.

Ajeng mengangguk setuju, kemudian bergabung dengan teman lain yang sama-sama mendapat alat pedang untuk diajak berduel.

"Ada yang perlu dibantu?" Suara itu menarik perhatian Hazel.

Ketika gadis itu menoleh, dia seketika menekuk alisnya dan mulai fokus untuk bersiap memanah.
"Aku akan mencobanya sendiri."

Dania, berdiri di samping Hazel sambil berkacak pinggang.

Jujur saja sebenarnya Hazel tidaklah familiar dengan alat-alat perang tanding seperti ini. Dia hanya bisa meniru gerakan kakak kelas yang dia sukai ketika masih bersekolah di daerah kota.

Mata Hazel mengerjap beberapa kali, dia bingung dan menggigit bibir bawah, sambil berpose seakan siap untuk memanah tepat di target yang tersedia di ujung arena itu.

"Oh, sepertinya kamu memang paham, cobalah, aku akan melihatnya,"

Hal itu membuat Hazel semakin gugup, apakah memanah sesulit ini? Apa gerakannya terlihat kaku? Manakah yang benar? Manakah pula yang salah? Entahlah pikiran Hazel benar-benar kalut dia tidak bisa fokus.

"Hah...." Hazel menghela nafas mencoba merilekskan kerja jantungnya.

Gerakan yang kaku, postur yang tidak benar. Abaikan saja, Hazel hanya ingin bisa memanah, asalkan panah ini tertancap tepat di target maka dia sukses bukan?

Gadis itu memejamkan satu sisi matanya, dia mulai mengangkat busur itu bersamaan dengan panah yang dia tarik di talinya.

Lalu Hazel mencoba melirik ke arah Dania. Namun, bukannya menanggapi malahan gadis itu hanya diam saja melihatnya.

"Ternyata nona ini menepati perkataannya, menyebalkan sekali."

Gadis itu tidak bergeming, Dania tetap tersenyum ramah, senyum yang menjengkelkan di mata Hazel.

Pada akhirnya Hazel memutar bola matanya dan fokus pada latihan memanah pertamanya ini.

"Masa bodoh, aku akan mencobanya sendiri kalau begitu, tunggu saja,"pikir Hazel geram.

Panah itu ditarik sampai sekiranya cukup bagi Hazel. Lalu gadis itu secara cepat melepaskan panah tersebut. Membuat panah itu melesat jauh dan melenceng dari target yang dia tuju.

Hazel yang melihat itu kembali ke posisi semula. Huh? Bagaimana bisa? Padahal menurut sudut pandang dia itu sudah sangatlah tepat terhadap target, namun kenapa? Bahkan panahnya tidak menancap di lingkaran paling pinggir dari target itu.

"Apa yang salah?" Pikirnya mencoba memutar otak.

Sebelum dia sempat menyelesaikan perdebatan di otaknya, Dania yang berdiri di sebelahnya kemudian pergi dan mengambil busur panah yang ada di sisi peralatan itu.

Dengan cepat gerakan gadis tersebut membuat Hazel terpukau, tidak lama Dania menarik panah itu dan...

Swuttt!

Mata Hazel seketika melebar, mencoba untuk memuji-muji ketepatan memanah Dania, tetapi di dalam hati.

Tunggu, jika dipikir dia jadi merasa Dejavu dengan aura dari Ibu Ningrum yang merupakan kepala pondok asuh Maheswari dengan aura yang Dania bawa ketika memanah ini.

Peralatannya memang sedikit berbeda namun targetnya tetap sama, tertitik fokus dan tepat. Murid-murid Maheswari memang mengerikan.

Setelah itu Dania kembali ke posisi biasa dan menoleh ke arah Hazel.

"Memanah adalah sesuatu yang memerlukan kefokusan, sedetik saja pikiranmu kacau, maka panah yang tadinya berpotensi tepat sasaran bisa melenceng jauh dari perkiraan,"ucap gadis itu menatap Hazel sambil membenahi busurnya.

Baiklah kali ini Hazel yang salah, gadis itu mengakuinya dan fokus mendengarkan perkataan Dania. Dia memang terburu-buru dan pikirannya kacau.

"Kalau begitu apa yang harus aku lakukan untuk membenahinya?" Tanya Hazel mencoba memposisikan dirinya kembali seperti postur memanah sebelumnya.

Dania tampak berfikir,
"Apa kamu tidak punya motivasi ketika masuk kesini?"

Hazel mendengus menahan rasa sebalnya, apa yang dikatakan gadis ini? Tentu saja semua murid disini juga punya tekad tertentu untuk berani masuk ke padepokan ini untuk melawan takdir mereka sendiri.

Melihat perubahan ekspresi wajah Hazel Dania sedikit tertawa,
"Aku hanya bercanda."

"Aku tidak punya waktu untuk ini, Dania."

"Aku tau, baiklah aku juga akan serius."

Kemudian atmosfer yang ada disekeliling mereka berubah menjadi lebih intens.

"Kamu harus memiliki suatu objek yang ingin kamu raih, motivasi itu yang membuatmu menjadi lebih fokus."

"Apapun?"

"Apapun!" Seru Dania.

Hazel memposisikan dirinya dengan benahan dan koreksi gerakan dari Dania. Pada akhirnya gerakan gadis itu tidak terlihat kaku lagi. Namun kali ini dia harus memikirkan objek itu. Sesuatu yang bisa dia jadikan target agar dia fokus.

Suasana mulai hening, Hazel memejamkan matanya. Terlihat dia sedang berfikir.

"Jangan dibawa terlalu berat, pikir saja sesuatu yang melintas ketika kamu memikirkan kata target," lirih Dania mencoba tidak mengacaukan konsentrasi gadis dihadapannya itu.

Suasana tetap hening, gadis itu memfokuskan diri, masih memejamkan matanya.

Angin mulai berhembus sepoi-sepoi membuat rambut-rambut Hazel yang di jepit tengah terurai itu sedikit bergoyang.

"Haa...." Hazel menghela nafasnya.

Kelopak mata itu mulai terbuka, menampilkan mata berwarna Hazel yang fokus menatap ke arah target.

Tanpa ada aba-aba, gadis itu melepakan panahnya.

Swutt!

Panah itu pada akhirnya tertancap di lingkaran kedua dari target yang dia tuju. Tidak begitu akurat, namun perbedaan sudah jauh dari sebelum dia fokus terhadap target yang dia panah tadi pikir Dania.

"Yah, memang tidak ada yang bisa langsung menjadi ahli dalam beberapa kali coba saja."

"Maafkan aku," Hazel menunduk.

Dania menggeleng,
"Tidak apa-apa, coba lagi, setelah ini akan aku pasangkan kamu dengan Ajeng untuk berlatih pedang, setelah merasa latihan memanahmu cukup."

Hazel mengangguk dan bersiap dengan posisi memanahnya.

Sementara itu dari kejauhan Reza melihat gadis itu dengan takjub, keringat menetes dari rambut dan lehernya karena pertandingan yang intens.

Lelaki itu melihat pergerakan gadis itu dengan seksama, memanah, mencoba lagi, memanah, mencoba lagi, dan seterusnya.

Hal itu membuatnya terfokus sehingga tidak sadar bahwa Dimas mendekatinya.

"Aku takut kamu akan membawa Hazel kabur dari padepokan ini jika memandangnya sampai seperti itu."

Reza menoleh, keningnya sedikit berkerut, dia menoleh ke arah Dimas yang duduk seketika di sebelahnya. Lalu kembali melihat ke arah Hazel.

Tidak ada respon dari Reza, Dimas membuka obrolan lagi,
"Sudah dengar tentang dua peserta didik yang keluar tengah malam ke arah hutan beberapa hari yang lalu?"

"Ini tentang Hazel bukan?" Jawab Reza cepat.

"Benar," balas Dimas singkat kemudian melihat ke arah Hazel dan Dania yang berlatih.

Reza menghela nafasnya,
"Bagaimana pendapatmu mengenai perkembangan Hazel sejauh ini?"

Kemudian Dimas bergumam tampak sedang memikirkan kata-kata.
"Baik."

"Lalu?"

"Dia adalah murid paling antusias dan tekun sejauh yang aku lihat diantara peserta didik yang lain."

"Syukurlah kalau begitu," ucap Reza menyimpulkan sebuah senyuman.

Dimas terheran dengan sikap Reza, dia menghadap ke arah lelaki itu,
"Aku penasaran mengenai hal ini, apakah kamu keluarganya?"

Reza dengan cepat mendatarkan ekspresi mukanya kembali.
"Bukan."

"Lalu apa hubunganmu dengannya? Teman? Sahabat? Atau-"

"Apa ada manfaat yang kamu dapat jika aku menjawab pertanyaanmu ini?" Ucap Reza ekspresinya dingin kali ini, seperti enggan menjawab pertanyaan lelaki itu.

Dimas terdiam sebentar sebelum membalas ucapan Reza,
"Oh, apakah itu menyinggungmu? Aku hanya penasaran saja,"

Reza terdiam tidak mengucapkan sepatah katapun.

"Kau tau, murid seperti dia memanglah jarang ditemui di generasi peserta didik baru beberapa tahun ini, mereka yang datang biasanya hanya karena amarah saja, namun Hazel punya misi tersendiri, tekadnya kuat, sungguh senang sekali bisa membimbing peserta didik sebaik Hazel. Aku tidak keberatan untuk mengajarinya lagi untuk fokus mengembangkan potensinya."

Kata-kata Dimas awalnya memang tertuju pada perkembangan Hazel yang baik, namun ketika didengar hingga akhir, rasa kesan kalimat itu membuat hati Reza tidak nyaman.

Reza terdiam, lalu berdiri dan membelakangi Dimas untuk membersihkan celana bagian belakangnya dari tanah yang menempel.

Dimas yang melihat hal itu tidak bereskpresi apapun hanya fokus saja memperhatikan gerak-gerik Reza.

Setelah dirasa cukup, Reza berbalik ke arah Dimas dan memandang lelaki itu dengan tatapan dingin,
"Apa kamu ingin berduel denganku?"

Dimas seketika tersenyum dan menanggapi permintaan lelaki itu,
"Ayo!"

Mereka berdua menuju ke arah peralatan dan masing-masing mengambil pedang panjang untuk dijadikan alat perang bertanding.

Lalu dengan aba-aba, duel itupun dimulai, Reza dengan cepat mengayunkan pedangnya ke arah leher Dimas, namun berhasil di tepis oleh pedang Dimas.

"Kau yakin tidak memiliki hubungan apapun dengannya, Reza?" Ucap Dimas disela pertandingan tersebut.

Klak!

Klak!

Pedang kayu itu saling beradu dengan lincah, ekspresi Reza tidak berubah.

"Kau tidak mengerti apapun, sebaiknya jangan ikut campur."

"Oh begitu," jawab Dimas.

Pertandingan itu masih berlangsung suara kayu semakin cepat membuat iramanya kacau.

"Lagipula setelah aku pikir-pikir, masih banyak siswa lain yang harus kau perhatikan, muridmu bukan hanya dia," ucap Reza akhirnya tersenyum namun raut mukanya tidak terlihat bahagia sama sekali.

"Tidak ada salahnya untuk membantu dan memberikan ekstra karena mereka memahami materi lebih baik daripada siapapun bukan?" Balas Dimas.

Reza menurunkan senyumannya, dia mengayunkan pedangnya lebih cepat lagi.

Membuat perduelan itu berlangsung semakin lama.

Lali sehari sebelum test akhir di satu bulan pelatihan peserta didik baru itu pun tiba.
__________________________________
Thanks for reading!
-Delzy1







Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top