Akhirnya, mereka tahu

Reza perlahan menoleh ke arah samping dan duduk kembali di sofa. Dia menghela nafas kasar. Mengacak sedikit rambutnya lalu menghadap ke arah lorong dapur.

"Aku yakin sesuatu telah terjadi kemarin malam, aku harus bertanya kepada paman dan Tante, mereka mungkin ada di dapur." Pikir Reza yakin dan berniat untuk beranjak dari sofa.

Tetapi Reza segera mengurungkan niatnya untuk pergi karena Ayah Hazel dan Tantenya keluar dari ruangan tersebut.

Reza sedikit terkejut dan meneliti kedua raut muka mereka yang begitu lesu.

Saat Reza hendak menyapa, kedua orang tersebut kemudian secara tidak sengaja menatap Reza. Pandangan mereka mengunci.

Canggung sekali rasanya, bukan hanya itu, perlahan nafas Reza semakin memburu. Reza menunduk, meraba dadanya, dia bingung ada apa dengan reaksi tubuhnya. Sebelum mengeluh kesakitan pandangannya kembali lagi ke mata yang kini tajam menusuk ke arah Reza. Membuat suasana ruang tamu menjadi lebih berat dari biasanya.

"Ada apa denganku?" Pikir Reza semakin mengernyitkan dahinya dan sesekali menutup mata karena kesakitan.

Perlahan Reza melihat dari kejauhan, tangan Tante yang bergerak menunjuk ke arahnya. Reza sedikit membelalakkan matanya. Dia ingin sekali berdiri dan menghampiri mereka. Tetapi tubuhnya sungguh sulit untuk digerakkan.

Tangan yang menunjuk Reza itu kemudian warnanya memucat. Kulit Tante perlahan memucat sepeti mayat.

Di jari-jari tangannya kini terbalut perban, setiap jari berbeda balutan. Namun, ada satu jari yang balutannya kini mulai terbuka secara perlahan, itu di jari telunjuk.

Setelah tidak ada sehelai perban yang ada di jari telunjuk itu, perban pun melayang ke udara dan terbakar menjadi abu.

Tante kemudian tersenyum dan disebelah Tante terdapat Ayah Hazel yang dengan sigap menggerakkan bibirnya. Melafalkan sesuatu, yang tidak dimengerti oleh Reza.

Tangan telunjuk Tante mengeluarkan setetes darah dan perlahan jatuh ke lantai.

Tepat setelah tetesan darah itu terjatuh. Seperti ada pukulan fatal yang terpaku fokus pada jantung Reza. Lelaki itu terperanjat, kemudian membelalakkan matanya lebar lalu memukul dadanya bersimpuh kesakitan di lantai.

Sesekali dia batuk, pandangannya mengabur, namun dia masih dapat melihat kedua orang tersebut yang dari jauh menghampirinya. Ayah Hazel kemudian menyejajarkan duduknya dengan Reza dan membisikkan sesuatu yang kemudian membuat jantungnya semakin berdebar kencang, sakit.

Reza mulai merintih kesakitan dan memukul kencang dadanya yang nyeri. Dia tidak tau, bahasa yang diucapkan ayah Hazel. Benar-benar terdengar aneh dan kuno.

Tante Hazel menatap puas sambil terus mengeluarkan darah dari jari telunjuknya itu.

Reza perlahan menutup matanya, seperti membayangkan sesuatu. Mencoba fokus ditengah bisikan ayah Hazel.

Reza sedikit mengernyitkan dahi diawal, dia mencoba mengatur nafas. Perlahan raut wajahnya yang tadi memancarkan keresahan kini sedikit lebih rileks, nafasnya perlahan kembali normal.

Hingga lelaki itu terdiam, tidak ada ekspresi apapun yang kini dapat di gambarkan di wajahnya.

Ayah Hazel yang melihat hal itu, kemudian mulai panik, dia semakin gencar membisikkan sesuatu ke telinga Reza. Mencoba membuatnya kesakitan lagi.

Tetapi, sepertinya usaha mereka mulai tidak bekerja pada Reza. Mata lelaki itu mulai terbuka, Reza menyipitkan matanya dan menfokuskan pandangannya yang kini terkunci pada sesosok Tante yang ada di hadapannya.

Tante memasang wajah datar, senyum kejamnya telah hilang. Namun, darah masih menetes.

Suasana ruang tamu yang sunyi dan atsmosfernya yang berat. Angin tiba-tiba mulai berhembus dengan kencang. Muka risih mulai terpapar di wajah Tante. Reza kembali menatapnya dengan tatapan yang sama. Tatapan yang meremehkan.

Hal itu membuat Tante kesal, beliau makin melukai jari telunjuknya. Bahkan dia mulai membuka satu persatu jari-jemarinya yang terbalut dengan perban. Seperti tadi, perbannya perlahan terbang lalu hancur menjadi abu.

Tante mulai menatap Reza dengan tajam, jari jemarinya kini mengeluarkan darah lebih banyak.

Ayah Hazel dengan cepat membisikkan sesuatu di telinga Reza.

Namun, anehnya lelaki itu tidak bergeming. Bahkan Reza dapat menatap wajah Tante dengan senyuman yang tersungging di wajahnya, licik.

"Kalian kira aku siapa?" Ucap Reza.

Raut wajah Tante perlahan menjadi panik, dia mengeluarkan pisau yang entah dari mana dia dapat dan mulai menguliti jari-jemarinya agar dapat mengeluarkan darah lebih banyak lagi.

Reza semakin tersenyum, dia tertawa pelan, lucu.

"Hanya ini yang diajarkan oleh perkumpulan keramat kalian? Hanya ini yang kalian bisa?" Ucap Reza lalu menghela nafasnya kasar, dia bosan.

Kedua orang yang berusaha menyakitinya perlahan mulai diam dan menghentikan aktivitasnya. Kemudian pandangan Reza mengabur dan semuanya menjadi gelap.

"Rez-Reza!" Suara seseorang.

Suara jentikkan jari kemudian menyadarkan Reza. Lelaki itu sepenuhnya kembali tersadar dan terduduk di sofa itu.

Mata Reza lalu menoleh ke arah Lelaki paruh baya yang menoleh kepadanya dengan raut wajah khawatir. Beliau duduk di sofa berbeda bersebelahan dengan Reza.

"Hey Reza? Kamu kenapa tidak mengabari ke paman kalau mau datang?" Ucap ayah Hazel wajahnya kini kembali ceria dengan senyumannya.

Reza masih terdiam, matanya menelusuri setiap sudut dari ruang tamu ini. Ternyata hari sudah hampir gelap. Semburat jingga kemerahan di ufuk barat menjadi pertanda bahwa Reza telah terduduk lama sekali di sofa tersebut.

"Padahal rasanya cuma sebentar, tadi masih siang bukan?" Pikir Reza.

Tante Hazel duduk di sofa yang ada di depannya, menatap lelaki itu bingung dengan nampan berisi gelas kosong di tangannya.

Tadi itu hanya bayangannya saja kan? Itu semua tidak nyata bukan?

Kemudian dia mengerjap perlahan lalu menoleh ke arah Ayah Hazel. Reza tersenyum kecil.

"Saya sengaja paman, agar menjadi kejutan." Ucap Reza.

Suara anak tangga kini mendecit. Terdengar berat.

Hazel dan Liam telah turun dengan pakaian santainya.

Mereka berdua kemudian berjalan menuju ruang tamu. Liam dengan cepat langsung berlari memeluk Reza yang duduk di sofa.

"Kak Reza, setelah ini main ke kamar ya! Liam punya Lego kendaraan yang tidak bisa Liam selesaikan sendiri." Ucap Liam lalu memposisikan dirinya untuk duduk di sebelah Reza.

Reza kemudian mengusap kepala Liam lembut, tersenyum.
"Aku tidak akan lama disini Liam. Maaf ya, mungkin lain kali?"

Raut wajah Liam sedikit sedih, namun akhirnya Liam mengangguk.
"Baiklah, kak Reza"

"Mau Tante buatkan Teh, Reza?" Tawar Tante Hazel hendak berjalan menuju dapur sambil membawa nampan sehingga terlihat jari jemarinya yang terbalut perban.

Tunggu, sejak kapan jari-jari Tante terluka? Perban? Apakah ini kebetulan?

Bukankah jari-jemari Tante di bayangannya tadi juga terbalut dengan perban?

Apakah kejadian tadi bukan khayalan?

Reza terpaku, ekspresinya suram.
"Tidak perlu repot-repot, Tante."

"Ah jangan begitu, baiklah mari kita pergi ke dapur!" Ucap Tante Hazel.

Pandangan Reza yang tajam kini mengikuti arah perginya Tante Hazel.

Ayah Hazel kemudian beranjak dari sofa dengan bantuan penyangga kaki dan merangkul bahu putrinya lalu berjalan menuju dapur.

"Ayo Reza, Kita sekalian makan malam!" Ucap Ayah Hazel tersenyum menoleh ke arah Reza sambil terus berjalan.

Reza mengangguk dan memberikan ekspresi datar kemudian mengikuti mereka dari belakang.
.
.
.
"Baiklah semua, menu hari ini adalah kare ayam. Tante sudah memilih bagian-bagian ayam yang banyak dagingnya! Semoga rasanya juga lezat ya!"

Mereka  kini mengambil secara bergantian menu yang terdapat di meja dapur lalu segera menikmatinya.

"Hmm...rasanya tidak terlalu buruk." Pikir gadis itu sambil mengunyah dengan kedua alisnya yang naik, takjub.

Sementara, ayah Hazel menikmati hidangannya tanpa menoleh ke arah keluarga yang duduk bersamanya di meja makan tersebut.

Reza melirik ke arah kanan dan kirinya.
"Hanya perasaanku atau memang mereka saling menghindari pandangan dan obrolan di sini?" Pikir lelaki itu.

Sementara Liam lahap dalam menyantap hidangannya. Hal itu membuat noda di bibirnya menumpuk.

"Liam, usap dengan tisu." Ucap Tante lalu menunjuk ke arah pojok bibirnya.

Dengan cepat Liam menggangguk dan mengambil selembar tisu wajah dan membersihkan noda di bibirnya lalu melanjutkan makan. 

Tante tersenyum lalu menoleh ke arah Hazel.
"Hazel, mau tambah lagi?"

Hazel menggelengkan kepalanya dan melirik Tante singkat lalu kembali ke piringnya.
"Ini sudah cukup, Tante."

Dibalas sesingkat itu, Reza menoleh ke arah wajah Tante. Lelaki itu menemukan wajah wanita tersebut yang sedih.  Sebelum akhirnya pandangannya menuju piringnya kembali.

Hazel meletakkan sendok dan garpunya di piring lalu menoleh ke arah ayahnya.
"Ayah, daerah Blitar itu jauh tidak?"

Aktivitas ayah langsung terhenti. Reza kemudian menoleh ke arah Hazel dengan matanya yang membulat, dia terkejut.

Begitu pun sebaliknya dengan Ayah dan Tante Hazel.

Dengan cepat, Ayah Hazel meletakkan sendok dan garpunya. Kemudian menatap putrinya lekat-lekat.

Pria itu sedikit bingung dengan pertanyaan putrinya. Pada saat ini? Blitar? Kenapa?

Hazel kemudian menoleh ke arah mereka dengan pandangan sedikit meremehkan.
"Ya Tuhan, ada apa dengan pandangan kalian? Aku hanya bertanya saja."

Ayah dan Tante Hazel kini saling berhadapan. Raut wajah mereka kini menjadi resah.

"Itu kota yang cukup jauh dari tempat ini, kenapa tiba-tiba Hazel bertanya tentang hal itu?" Tanya Ayah Hazel kembali menoleh ke arah Hazel.

Hazel mengangkat kedua bahunya lalu kembali melanjutkan menyantap hidangannya.

"Aku hanya bertanya saja." Ucap Hazel singkat.

Sementara Reza, kini menghadapnya dengan pandangan yang lama kelamaan sedikit seperti lega.
"Aku tidak mengira kamu akan mengatakannya secara langsung seperti ini zel, kamu benar-benar berani." Pikir lelaki itu lalu melanjutkan menyantap hidangannya.

Ruang makan kini kembali senyap tanpa obrolan kembali, disusul dengan suara alat makan yang beradu.

"Ayah tidak akan mengizinkanmu pergi ke sana, mulai sekarang ayah akan mengantarkanmu pulang dan berangkat sekolah. Akan ayah pastikan Kamu tidak akan memiliki sedikitpun niat untuk pergi ke sana." Ucap ayahnya menatap putrinya tajam.

Hazel terdiam, dia menoleh ke arah ayahnya. Alisnya kemudian berkerut. Apa yang barusan ayah katakan? Meninggalkan rumah ini? Memangnya Hazel harus apa?

"Kenapa ayah tiba-tiba bilang seperti itu?" Tanya Hazel bingung.

"Ayah tidak akan menjelaskan alasannya sekarang. Kamu tidak perlu berbicara lagi dengan pria itu. Kamu pernah bertemu dengannya bukan?" Tanya Ayah Hazel semakin fokus menatap manik mata coklat putrinya.

Suhu udara semakin mendingin. Reza yang disana terdiam, mendengarkan secara seksama sambil terus menyantap hidangannya.

Tante Hazel berkeringat, kemudian beliau dengan cepat mengambil gelas berisi air putih, dan meneguknya setengah.

Beliau menatap keponakannya dengan raut wajah yang resah.

"Apa maksud ayah?" Tanya Hazel semakin bingung.

Dia menatap ayahnya dalam.

"Ayah... bagaimana ayah tau kalau aku telah bertemu "pria" tersebut?" Tanya Hazel.

"Mulai sekarang kamu tidak akan Ayah izinkan untuk keluar, kecuali dalam pengawasan ayah." Ucap ayah ekspresinya kini tidak dapat terbaca.

Untuk apa ayah melakukan semua ini? Hazel merasa dicegah, apa yang telah terjadi? Kenapa Hazel tidak diperbolehkan bertemu dengan beliau lagi?

"Ayah dan Tante akan membawamu ke ruang bawah tanah di rumah ini, setelahnya kamu tidak akan pernah ingat lagi tentang pria tersebut."

Reza kini membulatkan matanya terkejut. Dia menatap pandangan aneh dari ayah dan Tante Hazel. Meletakkan garpu dan sendoknya, tidak selera lagi untuk makan.

"Tidak kusangka beliau akan mengucapkan hal tersebut kepada putri mereka, apa yang dipikirkan oleh mereka berdua?"

Tidak salah lagi, mereka akan melakukan "sesuatu" kepada Hazel. Gigi Reza bergemeretak, lelaki itu sebal.

Dia harus melakukan sesuatu, atau gadis ini juga akan mengalaminya.

Reza meremas Tangannya sendiri lalu mencoba membuat raut wajah yang tidak mencurigakan, walaupun dalam hati dia sudah marah tidak karuan.

"Besok, ayah dan Tante akan membawamu ke bawah. Ayah akan menjemputmu besok, ingatlah untuk keluar gedung tepat setelah bel pulang berbunyi, atau ayah akan pergi sendiri ke dalam untuk mencarimu." Ucap Ayah Hazel menatap gadis tersebut tajam.

Merasa aneh Hazel mengernyitkan dahi.
"Tunggu! Memangnya untuk apa Hazel kesana?" Tanya gadis itu.

Angin berembus kencang, suhu dingin dari sore yang menjelang malam itu makin terasa. Raut wajah Tante begitu khawatir, sementara ayah Hazel kini terlihat raut mukanya seperti merasa bersalah. Hazel bingung, apa yang mereka pikirkan? Apa yang akan mereka lakukan di bawah?

Ayah Hazel menghela nafas perlahan.

"Kamu akan tau, ketika kita pergi ke bawah bersama besok." Ucap Ayah Hazel.
------------------------------------------------------

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top