One

Mungkin sebuah kata yang tepat bagi dirinya adalah bodoh. Ya, bagaimana tidak? Saat ini Sierra, nama gadis itu berada di tempat tinggal sebuah makhluk mitos yang bahkan tak dapat di terima oleh akal manusia yang logis. Sebut saja ia keluar dari kandang singa lalu masuk ke kandang serigala. Gadis itu benar-benar tak sadar sosok yang menolongnya ketika ia hampir di bunuh oleh Ayah asuhnya adalah makhluk yang meneror Desanya selama hampir tiga puluh dekade lamanya. Orang-orang di Desa tempat mereka tinggal menyebut makhluk itu Penguasa kegelapan.

Sierra tidak sendirian. Banyak gadis yang hampir seumuran dengannya tengah ketakutan seraya memeluk kedua kakinya dan menangis. Gadis itu menghela nafasnya pelan. Tidak, gadis itu sama sekali tak ketakutan akan takdir yang akan menghampirinya kelak. Ia sudah cukup menerima perlakuan yang tak baik dari kedua orang tua asuhnya dan juga mengalami siksaan berat dari saudara angkatnya. Hidupnya sudah cukup buruk jadi apa lagi yang harus ia takutkan bahkan ketika kematian menghampirinya sekali pun.

Suara besi yang berat bergeser membuat lamunan Sierra buyar. Tampak seseorang membuka pintu penjara yang di tempati oleh mereka. Tatapan matanya yang tajam membuat hampir semua ketakutan dan memeluk satu sama lain. Hampir semua, namun tidak dengan Sierra. Ia hanya menatap kosong saat pria paruh baya berpakaian zirah itu mendekati dirinya. \

"Bawa dia," ucapnya kemudian seraya jari telunjuknya menunjuk Sierra. "Bersihkan tubuhnya dan biarkan Tuan muda yang akan memutuskan nasibnya."

Sierra hanya diam tak berkata apapun saat beberapa orang layaknya Pengawal membawanya pergi. Sepertinya sampai akhir pun hidupnya akan tetap menyedihkan. Ia tahu dengan pasti apa yang akan terjadi berikutnya, menjadi mangsa bagi Tuan mereka.

***

Sejauh mata memandang hanyalah kegelapan yang dapat di lihat di mata Sierra. Setelah ia di bersihkan dan di berikan pakaian yang masih bersih, Sierra di seret oleh beberapa pengawal yang membawanya keluar dari Penjara. Tak ada penerangan seperti lilin atau obor, bahkan kakinya pun merasakan dinginnya lantai batu seolah menegaskan penguasa seperti apa yang mendiami tempat ini.

Ketika gadis itu tersadar dari lamunannya, ia di lemparkan oleh pengawal yang menyeretnya dan pintu tertutup. Kedua matanya mengerjap beberapa kali, ruangan yang ia masuki berbeda dengan jalan yang ia lewati. Terlihat beberapa lilin menyala menjadikan penerangan di tempat ini.

"Bangun." Entah dari mana sosok itu muncul, seorang pria berdiri di hadapannya dan mengulurkan tangannya mencoba membantu Sierra untuk berdiri. Sierra menatapnya datar, membalas tatapan pria itu.

"Tidak perlu, aku bisa berdiri sendiri," Ucap Sierra menepis tangan pria itu bangkit berdiri. Pria di hadapannya jauh lebih tinggi darinya, tinggi Sierra hanya sebatas dagu pria itu. "Jadi kau yang akan menghabisi nyawaku? Kalau begitu lakukanlah dengan cepat."

Dahi pria itu berkerut mendengar ucapan Sierra. "Kau memintaku untuk membunuhmu?" gumamnya pelan, namun masih dapat di dengar oleh Sierra.

"Memangnya apa lagi yang akan kau lakukan selain menghabisi nyawaku? Kau meneror Desaku jadi pasti yang kau lakukan ketika melihatku di hadapanmu adalah membunuhku. Tak ada alasan lain mengapa aku menyimpulkan hal seperti itu."

Sejenak pria itu terdiam mendengar ucapan Sierra, namun berikutnya yang terjadi adalah sebuah seringai terlukis di wajahnya yang tampan. "Memang benar seharusnya aku membunuhmu tapi aku berubah pikiran. Bagaimana jika aku menyiksamu dengan menghisap darahmu hingga tetes terakhir? Tenang saja aku tak akan membunuhmu, tapi aku akan membuatmu mati secara perlahan-lahan."

Tepat saat pria itu berbicara seperti itu, tiba-tiba saja ia sudah berada di belakang Sierra tanpa sempat gadis itu menyadarinya. "Kau memiliki wangi kayu manis dan aku menyukainya." Ucap pria itu berbisik di telinga Sierra, membuat sebuah sensasi di leher Sierra.

"Ukh..." sebuah rintihan terdengar dari mulut Sierra, gadis itu berusaha menahan rasa sakit saat taring pria itu menyobek permukaan kulit lehernya. Sesuatu yang mengalir di tubuhnya seolah tersedot keluar dari tubuhnya.

Pria itu sendiri tengah asyik menghisap darah Sierra, tak setetes pun yang ia lewatkan dari indera pengecapnya. Bagaikan sebuah heroin baginya, wangi darah Sierra begitu memabukkan. Lembut namun cukup menarik perhatiannya. Ia bahkan tak menyadari rambut keperakannya berangsur-angsur berubah menjadi hitam.

Sierra sendiri sudah mencapai batasnya. Pandangannya menjadi kabur, segalanya terlihat berputar-putar dan perlahan mengelap seiring dengan hilangnya keseimbangan tubuh gadis itu. hampir saja ia menyentuh permukaan lantai jika pria itu tidak menahannya.

'Bodoh. Inilah yang kau lakukan jika kau tidak menuruti perintahku. Langsung bunuh saja gadis itu ...' suara dalam benaknya berteriak, memberontak jika apa yang di lakukan oleh pria itu seharusnya tidak di lakukan.

"Diamlah." Ucap pria itu tegas membuat suara itu diam, tak berani membantahnya. Ia lalu merebahkan tubuh Sierra di atas tempat tidur miliknya.

Pria itu menatap wajah Sierra. Seharusnya apa yang di katakan oleh suara hatinya benar, ia bisa saja membunuh Sierra dalam sekejap jika ia mau melakukannya namun entah kenapa ia tak bisa. Apakah sisi kemanusiaannya sudah kembali? Ia sama sekali tak mengerti.

Tatapannya kemudian teralih kepada bekas gigitan di leher gadis itu. bercak darah masih terlihat bahkan sedikit mengotori kulit Sierra. Pria itu lalu menghela nafasnya pelan, di usapkan ibu jarinya di luka bekas gigitan itu. Secara perlahan luka itu kemudian menutup dan tidak berbekas, seperti tak pernah ada luka di leher gadis itu.

***

Entah sudah berapa lama Sierra tak sadarkan diri, ketika ia terbangun ia sudah berada di ruangan yang bukan loteng berdebu tempatnya tinggal. Ia berada di ruangan yang cukup luas dan megah, layaknya sebuah ruangan untuk bangsawan.

Kedua matanya segera membulat ketika ia mengingat apa yang terjadi kepada dirinya. Ia ingat jika dirinya sudah menjadi mangsa sang penguasa kegelapan. Seharusnya ia sudah mati. Ya, itu yang terjadi seharusnya namun mengapa ia masih berada di tempat ini?

"Aku tak akan membunuhmu semudah itu, Nona." Ucapan dengan suara berat khas seorang pria membuyarkan dirinya dari apa yang tengah di pikirkannya. Tampak di sampingnya sang penguasa kegelapan menatapnya dengan tatapan dingin.

"Kenapa kau tak melakukannya? Aku sudah bilang kepadamu jika kau ingin membunuhku maka lakukan. Aku sudah muak dengan semua ini."

"Kau meminta kematian kepadaku maka aku tak akan melakukannya." Ucap pria itu bangkit berdiri. Baru saja ia hendak melangkahkan kakinya, sebuah tangan menyentuh dirinya. Ia hanya melirik sekilas saat tahu Sierra yang memegang pergelangan tangannya.

"Katakan! Katakan apa alasanmu tak membunuhku hanya karena aku meminta kematian kepadamu."

"Aku tak akan mau membunuh makhluk fana yang bahkan tak ingin hidup. Kau membuang hidupmu yang berharga hanya untuk membayar sebuah kematian kepadaku." Ia menghempaskan tangan Sierra dan berjalan pergi meninggalkan ruangan itu. meninggalkan Sierra yang terdiam tak bisa berkata apapun.

Sekilas, walau hanya sekilas namun pria itu dapat melihat kilasan masa lalu Sierra saat gadis itu menggenggam tangannya. Dalam pandangannya, ia melihat gadis itu mengalami perlakuan buruk oleh keluarganya. Hanya melihat kilasan masa lalu gadis itu membuatnya geram.

"Marcus, apa kau mendengarku?" ucap pria itu pelan.

"Ya, Tuan. Aku mendengarmu, my Lord." Entah dari mana datangnya, hanya dalam sekejap seorang pria berada di hadapannya seraya membungkukkan badannya memberi tanda penghormatan. "Jadi apa yang harus aku lakukan, Tuan?"

"Cari tahu asal usul keluarga gadis itu. Semua yang kau tahu, sekecil apapun laporkan kepadaku." Ucapnya memberikan sebuah titah kepada Marcus, salah satu pelayannya yang di percaya olehnya.

"Dilaksanakan, my Lord." Ucap Marcus sesaat sebelum ia menghilang.

"Kupikir sisi kemanusiaanmu sudah hilang, Alexander." Pria itu menjadi waspada saat mendengar suara merdu dari seorang wanita cantik yang berjalan ke arahnya.

"Elena." Gumam Alexander pelan saat melihat sosok wanita itu. Elena adalah saudarinya sendiri, ia adalah adik dari Alexander walaupun ikatan itu hanya berasal dari Ayahnya. Walaupun mereka bersaudara namun itu hanya sebuah ucapan semata.

"Kenapa kau tak menerima saja sisi iblismu yang kejam itu? kau tahu, aku lebih menyukai sisi iblismu di banding sisi manusiamu yang menjijikkan itu." ucap Elena menyelipkan sebuah seringai dalam ucapannya.

"Dalam mimpimu, Elena." Ucap Alexander berbalik dan meninggalkan Elena di lorong itu.

***

Malam itu angin bertiup cukup kencang seakan bergemuruh takut kepada sesuatu. Kediaman Webster adalah salah satu yang khawatir terhadap fenomena alam di luar sana.

"Sial! Anak keparat itu pergi ke mana sebenarnya?" teriak sang Nyonya di rumah itu menutup gorden dengan kasar.

"Ibu, pakaianku belum di setrika. Tikus busuk Sierra tak menyetrikanya untukku." Dari lantai dua, seorang gadis berusia hampir sama dengan Sierra merengek berharap Ibunya akan menghukum Sierra.

"Bisakah kau sedikit tidak berisik, Ella? Kau bahkan hanya tahu cara berdandan saja. Benar-benar tak berguna." Ucap wanita paruh baya itu lalu duduk di atas kursi. Ia memegang pelipisnya, Sierra anak asuhnya sekaligus putri dari mendiang Kakaknya menghilang. Itu menjadi sebuah masalah besar baginya, jika sampai pengacara yang mengurus ahli waris keluarga Sierra tahu apa yang terjadi kemungkinan besar ia dan keluarganya akan miskin dan menjadi gelandangan.

Selama ini ia menampung Sierra hanya untuk urusan warisan dari orang tua Sierra. Gadis itu tak lebih berharga dari harta benda yang di wariskan kepadanya. Namun sang nyonya Webster terlalu haus akan sesuatu yang bahkan ia tak punya hak untuk memilikinya. Bahkan untuk satu sen pun ia sama sekali tak pantas berharap.

Jadi, yang perlu ia lakukan adalah berdusta. Berbohong jika ia akan merawat Sierra. Itu semua hanyalah kepalsuan semata yang ia lakukan untuk menarik perhatian. Rencananya berhasil selama bertahun-tahun sampai pada hari ini. Akibat suaminya yang pemabuk hendak membunuh Sierra membuat tambang emasnya menghilang.

Tiba-tiba saja pintu terdobrak dengan kencang, membuat angin masuk ke dalam rumah dan tentu saja hal itu menyebabkan api di perapian mati akibat terjangan angin.

Nyonya Webster sedikit mengeluh kesal saat angin masuk ke dalam rumahnya, membuat dirinya kedinginan. Dengan terpaksa ia harus bangkit berdiri untuk menutup pintu yang terbuka. Ia bersumpah akan mematahkan kepala suaminya pemabuk yang tak berguna itu jika pria itu pulang.

Tepat saat ia berada di depan pintu, sang Nyonya Webster diam. Ia bukannya mengalami hiportemia mendadak akibat angin yang terus bertiup kencang. Ia menjadi kaku, melihat sosok hitam dan berjubah menatapnya dengan kedua iris mata berwarna merah.

Hanya dalam sekejap mata, kepala wanita itu sudah terpisah dari tubuhnya menyisakan daging dan tulang yang tanpa nyawa dengan darah segar yang mengalir.

"Darahmu tak cukup lezat untukku, Nyonya," gumamnya mengeluarkan sebuah seringai. "Selamat bertemu kembali dengan suami anda di alam baka, Nyonya Webster."

"Ah, aku terlihat buruk sekali sekarang. Membunuh tiga orang hari ini membuatku tak akan di sukai oleh para gadis." Gumamnya berjalan keluar dari rumah. Tepat saat ia keluar dari rumah terlihat tubuh seorang gadis dengan kondisi yang mengenaskan berada di halaman rumah keluarga Webster.

"Nona Ella, senang bisa membuatmu mati dalam keadaan damai." Pria yang tak lain Marcus mengedipkan sebelah matanya tepat saat ia melewati mayat itu dan menghilang. "Karena keinginan my Lord adalah mutlak untuk di laksanakan."

***

"Annastasia Sierra Brown, putri dari Rachael Brown dan Richard Brown. Lahir tahun 19 Maret 1883 dan sekarang berusia 18 tahun. Saat ini ia berada dalam asuhan bibinya Viona Webster dan Darren Webster. namun kata asuh tak pantas sepertinya karena Sierra menerima perlakuan tak baik dari keluarga Webster." ucap Marcus mengucapkan apa saja yang di ketahui olehnya di hadapan Tuannya, Alexander.

"Pemicunya?" Alexander berdiri membelakangi Marcus. Pria itu lebih memilih menatap pemandangan di luar jendela di bandingkan bertatap muka dengan pelayannya.

"Harta warisan keluarga Brown. Nona Sierra adalah ahli waris sah keluarga Brown di karenakan kedua orang tuanya meninggal akibat pembunuhan yang di lakukan oleh keluarga Webster. Mereka merencanakan semuanya dengan rapi dan membuatnya menjadi sebuah kecelakaan."

"Ck..." Alexander berdecak. Manusia memang makhluk lemah yang tak ada puasnya, Mereka mengharap apapun yang bukan miliknya dengan melakukan segala cara untuk mendapatkannya. "Marcus, malam ini juga habisi keluarga itu. Aku sudah membunuh suaminya terlebih dahulu saat pria tua itu hendak membunuh gadis itu."

"Apa anda yakin, my Lord?" Marcus mencoba memastikan perintah Tuannya.

"Apa ada sedikit lelucon dari pengucapan perintahku, Marcus?" lirikan mata Alexander yang memiliki iris berwarna merah mengarah langsung kepada Marcus, membuat pria itu menundukkan kepalanya tak berani menatap Tuannya.

"Dilaksanakan, my Lord." Ucap Marcus menyanggupi perintah Tuannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top