1. Langit Karenina
Tidak ada yang lebih menyenangkan bagi Karenina selain pulang ke apartemen mungilnya di bilangan Casablanca, Jakarta Selatan. Dia sudah tidak sabar sampai di dalam kamarnya. Melepaskan semua atribut yang melekat rapi dari ujung kakinya hingga ubun-ubunnya. Menggerai rambut panjangnya yang sembilan jam terakhir belakangan harus dia cepol rapi. Membersihkan segala make up di wajahnya hingga kulit wajahnya bisa bernapas normal. Melepas softlens yang dia gunakan, dan menggantinya dengan kacamata super tebal berbentuk pantat kaca yang dimiliki oleh Harry Potter.
Karenina juga sudah tidak sabar untuk mengganti setelan kerjanya berupa blus biru berbahan sifon yang dipadu dengan rok berbentuk mermaid sepanjang lututnya, dengan kaos kebesaran dan celana pendek yang membuatnya lebih leluasa. Dia juga sudah menanti-nantikan untuk melempar jauh-jauh shit stiletto yang dia yakini, diciptakan oleh iblis yang membisikkan hal-hal tidak masuk akal kepada dunia.
"Lo yakin nggak mau gabung bareng anak-anak?" pertanyaan Raka kembali terdengar. Suara merdunya kembali berusaha untuk membujuk dan merayu Karenina entah untuk yang keberapa ribu kali.
"Gue ada acara. Sorry," jawab Karenina tidak lupa dengan mengulas senyum menyesal yang sudah dia latih dengan sempurna.
Pria bernama Raka terlihat kecewa. Karenina lalu mengulurkan tangannya. Telapaknya mengusap lengan Raka yang padat akan otot yang terbentuk karena olahraga yang pria itu ikuti. "Mungkin lain kali, ya?"
Mata Raka mengikuti pergerakan tangan Karenina. Pun ketika Karenina menarik lagi tangannya dan membawa jemarinya untuk menyelipkan untaian rambutnya ke belakang telinganya.
"Oke. Lain kali?"
"Yup." Jawab Karenina santai. Entah kapan lain kali itu terjadi. Semoga nggak dalam waktu dekat. Doanya dalam hati.
"Gue bakalan cari tempat lain kalau emang Guns nggak cocok buat lo. Mungkin kita bisa nongkrong di Pelham atau S'bastian. Lo bakalan suka di sana," ujar Raka menggebu-gebu.
Sejujurnya, Karenina sama sekali nggak tahu tempat yang dimaksud dengan Guns, Pelham, ataupun S'bastian. Tetapi instingnya memberi tahu bahwa tempat-tempat itu adalah tempat ajep-ajep penuh dengan musik memekakan telinga, lampu yang membuat pusing tujuh keliling, dan alkohol yang harganya lebih manusiawi daripada air mineral.
"Next time, Ka."
Raka mengangguk-angguk antusias. "Lo tahu kalau anak-anak bakal excited kalau tahu lo gabung. Tapi berhubung hari ini lo harus nemenin Nenek lo ke dokter gigi, gue rasa memang nggak bisa untuk saat ini."
Karenina tertawa. Dalam hati berharap bahwa stok kebohongannya akan tersisa banyak di kesempatan-kesempatan yang akan datang.
"Jadi..."
Karenina berhenti di tempatnya. Bersamaan dengan Raka yang harus berjalan ke mobilnya, begitu pula dengan Karenina. Please Tuhan, buat pria ini berhenti untuk membujuknya dan biarkan dia segera berlalu.
"See you, Karen." Ujar Raka kalah. Dia melambai dengan tubuh yang berjalan menjauh. Masih mengamati tepat Karenina berdiri dan sebisa mungki, selama mungkin, memaku sosok Karenina yang masih mencoba mengulas senyumnya yang sempurna.
Ketika Raka sudah benar-benar tidak terlihat, barulah Karenina mempercepat langkahnya. Dia bahkan hampir berlari ke Innova miliknya. Melepas shit stiletto dan menggantinya dengan flat shoes yang lebih manusiawi untuk digunakan berkendara. Please, semoga masih sempat. Semoga masih sempat. Rapalnya di dalam hati.
Tetapi begitu Karenina berada di atas aspal yang menghubungkan ruas-ruas jalan, dia harus mengeluarkan umpatannya karena menjadi salah satu dari banyaknya kendaraan yang memenuhi jalanan.
Friday night. Selalu menjadi hari yang selalu membuatnya telat untuk sampai di surga kecilnya.
Karenina lalu menyalakan musik di dalam mobilnya. Setidaknya musik-musik yang tersimpan dalam playlistnya sedikit mengurangi rasa jenuh yang dia rasakan. Dan selanjutnya...
Calling Langit....
"Lo ada kencan hari ini, nggak?" tanya Karenina langsung begitu suara serak Langit terdengar.
"Kenapa?"
Karenina mengernyit. Mendengar suara bising yang menjadi latar di belakang suara Langit di ujung telepon sana. Alamat, Langit memang sedang kencan dengan sederetan wanita pemujanya. Pupus sudah harapannya.
"Eng- Nggak. Nggak apa-apa. Hehehe..."
"Kenapa?" tanya Langit lagi kini terdengar menuntut. "Kamu baru balik?"
Karenina menghela napas panjang. Dia tidak pernah berbohong kepada Langit. Meski, jika Karenina berbohong pun, Langit pasti akan langsung tahu.
"Iya. Gue baru bisa lolos jam segini dan sekarang kejebak macet." Akunya dongkol. Belum lagi karena kelakuan Raka yang menungguinya sehingga dia tidak leluasa dalam pekerjaannya di jam-jam terakhir tadi. Pria itu ngotot untuk membujuk Karenina untuk ikut ke club bernama Guns itu. Mendengar namanya saja, Karenina sudah panas dingin karena khawatir bahwa club itu bisa jadi adalah salah satu tempat berbahaya di mana perdangan senjata api biasa dilakukan.
"Udah makan?" tanya Langit yang seolah paham dengan dilema Karenina.
"Udah. Tapi...."
"Nanti aku suruh Manda mampir ke tempat kamu. Bunda masak banyak hari ini."
Karenina merengut. "Aku nggak minta Manda jadi repot."
"Bunda nyuruh kamu mampir kan sebelum balik apartement?"
Karenina mengangguk. Meski tahu bahwa Langit nggak bisa melihatnya. "Nggak usah mampir. Langsung balik. Istirahat. Nonton Nicklodeon."
Karenina terkikik. "Yaps. And act like a child, right?"
"Sejak kapan kamu dewasa?"
Karenina mengulas senyum lebar. Tahu bahwasanya di balik sana Langit juga sedang tersenyum lebar. Nicklodeon adalah salah satu saluran televisi favorit mereka. Semua jenis kartun adalah salah satu kesukaan mereka yang membuat mereka masih bersahabat karib bahkan sampai sekarang.
"Lo nggak tahu aja kalau-" ucapan Karenina berhenti. Dia baru saja akan bercerita jika dirinya baru saja akan diajak ke kelab malam. Jika saja Langit tahu, dia pasti akan mencari sosok Raka dan menyuruh pria itu enyah jauh-jauh dari Karenina.
"Apa?"
"Eh nggak. Gue baru inget kalau lo lagi kencan di luar. Gue tutup ya. Jangan pulang dini hari. Kalau mau pulang pagi atau besok siang sekalian. Terus jangan lupa pake kondom. Gue nggak mau keponakan gue lahir sebelum lo nikah." Kelakar Karenina yang seperti biasa hanya ditanggapi gumaman oleh Langit. Setelahnya, Langit memutuskan sambungan. Membiarkan Karenina kembali bergelut dengan padatnya lalu lintas dan meyakini bahwa dirinya baru akan sampai di apartement miliknya hampir tengah malam.
Friday night sialan.
***
Karenina mendengar suara kunci yang diputar di pintu apartemennya. Disusul oleh langkah-langkah ringan yang familiar di telinganya. Dia mengerjap. Meraih ponsel di nakas samping tempat tidurnya dan melihat angka tiga dua puluh lima tercetak di wallpapernya.
"Langit?" gumam Karenina yang dibalas dengan gumaman pelan. Setelah mengonfirmasi bahwa memang pria itulah yang memasuki tempatnya, Karenina kembali bergelung di bawah selimutnya. Suara pintu kamar mandi yang terbuka dan tertutup membuatnya kembali mengantuk. Bahkan suara Langit yang membersihkan dirinya di sana tidak mengganggu Karenina.
Seterbiasa itulah telinga Karenina atas semua kegaduhan dini hari hasil perbuatan Langit.
Lima belas menit kemudian, sisi tempat tidur Karenina ditekan oleh tubuh lain. Lengan kokoh Langit, dan tubuhnya yang masih terasa sejuk tanpa kaos meraih tubuh hangat Karenina untuk pria itu itu peluk dan jadikan bantal guling favoritnya. Langit lalu menghidu aroma lembut Karenina. Menempelkan hidungnya di ceruk leher gadis itu dan mulai bernapas dengan pelan hingga mereka tertidur lebih dalam.
***
Test Drive!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top