Lima
Risa tak memperhatikan ketika Maia sedang memberikan laporan. Pikirannya ada di tempat lain, Aksara Tunggoro.
''Bu Risa? Are you okey?'' suara Maia membuyarkan lamunannya.
''Yup! Oh di mana laporannya?'' Risa membetulkan letak duduknya.
''Itu saya sudah taruh di atas meja. Masih ada lagi, Bu?''
''Besok aja. Saya mau pulang.''
''Bu Risa, sakit?''
''Saya nggak apa-apa kok.'' Risa menggeleng. Dia mengemasi barang-barangnya.
#####
Risa mengemudikan mobilnya pelan. Dia ingin mampir ke butik langganannya. Dengan shopping mungkin bisa menghilangkan rasa bosannya. Tapi, di tengah perjalanan tiba-tiba mobilnya berhenti mendadak.
Risa mengamati sekeliling, dan tak melihat ada bengkel terdekat. Sementara dia tidak punya nomor mekanik yang bisa dia hubungi. Risa kemudian teringat sekolahan tempat Aksa mengajar ada di kawasan itu. Dengan menebalkan wajah dan keterpaksaan, dia memutuskan untuk menelepon suaminya itu.
''Ada apa?'' suara Aksa terdengar.
''Eheemm... Kamu ada di mana?'' Risa berdehem. Merasa lega Aksa mau mengangkat panggilannya.
''Di tempat kerja. Kenapa?''
''Emm... Sebenarnya....'' Risa merasa terlalu berat untuk minta tolong pada Aksa.
''Sebenarnya apa? Cepetan. Aku sibuk!''
Risa meremas setir mobilnya ketika Aksa membentaknya. ''Mobilku?''
''Kenapa dengan mobil mahal kamu?''
''Mobilku mogok. Bi-bisa aku minta tolong?'' Risa tergagap. Berat rasanya membuka mulut.
''Oohh, mau minta tolong ya? Ha..ha.. Kasian, sudah nggak punya duit ya buat panggil mekanik?'' Aksa tertawa mengejek.
''Kamu bisa bantu nggak?''
''Nggak! Itu bukan urusanku.'' Aksa memutuskan sambungan teleponnya.
Risa mengembuskan napas berat. Dia merasa geram pada Aksa, tapi dia juga tersadar selama ini dia selalu mengabaikan kebaikan Aksa. Dan sekarang dia mendapatkan balasannya.
#####
Untuk yang kesekian kalinya Aksa melihat jam di dinding. Sudah hampir pukul 7 malam, dan Risa masih belum juga pulang. Dia mulai merasa cemas. Merasa menyesal karena bertindak tak memperdulikan Risa sore tadi. Aksa sadar, selama ini Risa tidak pernah meminta pertolongan darinya. Kalau terjadi apa-apa pada istrinya, Aksa merasa dia yang harus disalahkan karena tak bertanggung jawab pada Risa.
Kecemasan Aksa hilang saat mobil Risa memasuki garasi rumah yang dihadiahkan oleh Yanuar Wibisono pada mereka berdua. Aksa segera keluar, mereka bertemu di ambang pintu.
''Risa... Aku minta maaf.''
''Menyingkir.''
''Risa?'' Aksa sedikit terhuyung ke belakang ketika Risa mendorongnya. Dia merasa kasihan melihat Risa yang terlihat penat. ''Sa, kamu harus tau....''
''Tau apa?'' Risa menghentikan langkahnya di ujung tangga.
''Kamu harus tau bagaimana rasanya diabaikan.'' Aksa berterus terang. Dia tahu seharusnya tak berbuat seperti itu.
''Mau balas dendam!'' Risa berkacak pinggang. ''Aku nyesel banget udah minta tolong sama kamu. Ternyata kamu emang nggak bisa diandalkan!'' Risa meninggalkan Aksa. Langkah kakinya berderap di anak tangga. Dia sungguh menyesal, padahal dia sudah menebalkan wajahnya. Dan perasaan yang mulai berkembang dalam hatinya serta merta hilang.
Aksa menghela napas berat. Satu lagi masalah yang telah memperburuk hubungan mereka. Dia juga merasa sangat menyesal. Risa memang keras kepala. Seharusnya dia menolong Risa... Itulah yang seharusnya.
#####
Risa menatap wajahnya di cermin. Merasa frustrasi melihat matanya yang bengkak. Semalam dia menangis. Entah kenapa perasaan sedihnya tak bisa dibendung. Dia merasa bodoh karena telah berpikir Aksa pasti akan menolongnya.
Sebetulnya Risa merasa malas untuk pergi ke kantor. Tapi kalau tetap di rumah pun buat apa? Dia tak ingin melihat muka Aksa.
Risa menuruni anak tangga. Mencari bayangan Aksa, dan lega ketika tak menemukannya. Risa tahu, Aksa selalu berangkat lebih pagi darinya.
''Pagi.''
Risa hampir saja menjerit jika tak segera menutup mulutnya, dia terkejut melihat Aksa ke luar dari dapur. Dia sengaja tak menjawab, mengabaikan Aksa dan berlalu menuju rak sepatu.
''Kamu nggak sarapan dulu? Aku udah nyiapin salad buah,'' bujuk Aksa sambil mengekori Risa.
Risa tak mempedulikan Aksa. Dia terus saja melangkah pergi.
''Risa....'' sekali lagi Aksa memanggilnya, tapi Risa tetap menulikan telinganya. Aksa tak tahu harus berbuat apa lagi. Semalam dia mengetuk kamar Risa, dengan tujuan membujuk istrinya itu, tapi yang dia dapat hanya lemparan bantal tepat di wajahnya.
Aksa sudah merendahkan semua egonya sebagai lelaki, tapi Risa masih saja dengan perangainya yang keras kepala.
Tiba-tiba telepon rumah berbunyi. Aksa membiarkan saja Risa pergi tanpa sarapan terlebih dahulu.
''Selamat pagi?''
''Selamat pagi, Aksa? Ini Ibu.''
''Ibu... Ada apa, Bu?'' Aksa mulai cemas. Tidak pernah ibunya itu menghubunginya sepagi itu.
''Maaf, Ibu ngasih kabar mendadak. Ibu cuma mau bilang kalau nanti malam Ibu nginep di rumah kamu yah?''
''Ibu mau nginep di sini?''
''Iya, kenapa? Nggak boleh?''
''Tentu aja boleh pake banget. Nanti saya jemput di terminal ya, Bu?'' di pikiran Aksa sudah terbayang wajah Risa kalau tahu ibunya akan datang menginap.
''Nggak usah, nanti katanya Landung yang mau jemput Ibu.''
''Baiklah. Ibu hati-hati ya di jalan.''
Setelah percakapan dengan ibunya selesai, Aksa merasa perlu memberi tahu Risa secepatnya. Tapi berkali-kali dia mencoba menghubungi Risa, tetap saja istrinya itu tak mau mengangkat walau terdengar nada aktif.
#####
''Bu Risa....''
''Ada apa Maia, saya sudah bilang nggak mau diganggu.'' Risa memandang Maia yang seperti biasa memperlihatkan muka tegangnya
''Tapi... Yang datang itu suami Ibu.''
''Siapa!'' Risa yang sedari tadi sibuk membaca laporannya langsung menutupnya.
''Suami Ibu. Katanya penting.''
Risa tertegun. Mimpi apa semalam sampai Aksa datang ke kantornya. ''Suruh dia masuk.''
Ketika Aksa masuk, Risa kaget dengan penampilan lelaki itu. Seperti biasa Aksa lebih suka memakai celana jeans dan kaus saja. Risa merasa malu.
''Risa. Kenapa kamu nggak angkat telepon dariku?''
''Aku sibuk. Nggak ada waktu buat melayani kamu berdebat.''
''Aku tau kamu nggak suka aku datang ke kantor kamu kan? Sebenarnya aku cuma mau ngasih tau, ibuku mau tinggal di rumah kamu beberapa hari.''
Risa memandang Aksa dengan tidak suka. Bukan masalah tentang ibu mertuanya yang akan datang menginap. Tapi, dia terusik ketika Aksa menyebut 'rumah kamu' daripada menyebutnya dengan 'rumah kita'. Karena rumah itu dihadiahkan oleh ayahnya pada mereka berdua.
''Kamu dengar nggak?'' tanya Aksa yang melihat Risa hanya melamun.
''Aku nggak tuli!''
''Kamu nggak ada masalah kan? Tapi, mungkin kita harus tidur sekamar. Bagaimana?''
''Apa? Sekamar!'' Risa berteriak. Spontan dia berdiri dari duduknya dan mulai panik. Tapi kalau ibu mertuanya sampai tahu dia dan Aksa tidur terpisah ada rasa tak enak. Dan mungkin saja pada akhirnya ayahnya juga akan tahu.
''Kapan Ibu datang?''
''Ntar malem.''
''Apa! Kenapa mendadak gini?''
Risa mondar-mandir di ruangannya, sementara Aksa hanya bisa menatapnya pasrah.
''Ambil kunci kamarku ini. Kamu pindahin semua barang kamu untuk sementara. Tapi dengan satu syarat, jangan sentuh barang-barangku. Deal!!''
Aksa mengangguk, walau sebenarnya dia merasa ragu. Setelah Aksa pergi, Risa termenung. Sekamar dengan Aksa? Apa yang harus dia lakukan untuk menjaga debaran jantungnya.
##########090516##########
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top