Dua Belas
Jam sudah menunjukan pukul tujuh pagi. Risa bergegas menuruni anak tangga dan menuju dapur, tapi langkahnya terhenti di depan kamar Aksa yang masih sepi.
Risa melangkah ke dapur, masih ada waktu untuk sarapan. Dia paling tak suka kalau terjebak macet, apalagi pada hari Senin seperti ini.
''Rajin banget jam segini sudah di dapur.''
Teguran dari belakangnya membuat Risa menoleh. Dia yang tadi sedang mengambil roti tertegun memandang ke arah Aksa. Suaminya pagi itu berpakaian sangat formal. Berkemeja biru muda dan berjas hitam, rambutnya juga terlihat lebih rapi.
''Memangnya nggak boleh!'' Risa meletakkan bungkusan roti tawar di atas meja. Kemudian dia menuang susu coklat ke dalam gelas di hadapan Aksa.
''Ya boleh banget lah! Sekalian buatin sarapan juga ya....'' Aksa mengeluarkan senyuman andalannya.
''Mau sarapan apa?''
''Nasi goreng,'' jawab Aksa sambil menarik kursi. Hatinya sudah bersorak riang, karena biasanya dia hanya sarapan seorang diri.
''Nasi goreng? Mana sempat. Toast bread aja ya....''
Aksa mengangguk, toast bread pun tak masalah, selagi itu buatan istrinya. Risa kemudian mengolesi selai coklat pada roti dan diberikan pada Aksa.
''Tumben kamu pake baju formal banget. Mau kemana? Memangnya nggak ngajar?'' tanya Risa, dia mengambil tempat duduk di depan Aksa.
''Kerja....'' jawab Aksa singkat.
Risa tertawa kecil, Aksa diam saja walaupun dia merasa jengah dengan tawa berbaur ejekan itu. Dia sudah paham dengan perangai Risa yang memang senang merendahkan pekerjaannya.
''Aku ditawarin kerja,'' ucap Aksa pelan.
''Ditawarin kerja?'' Risa berhenti mengunyah. Dia teringat dengan surat yang diberikan Inara pada Aksa kemarin.
''Kerja apa?''
''Kerja biasa aja.'' Aksa malas bercerita. Dia sangat yakin, kalau dia memberi tahu pun, Risa pasti akan merendahkannya. Dia pun punya ego sebagai seorang laki-laki dan suami. Walaupun pekerjaannya tak sehebat istrinya, tapi dia ingin Risa adalah orang pertama yang mendukungnya.
Risa tertawa lagi. Senyuman istrinya itu memang menyakitkan. Aksa merasa heran dengan dirinya sendiri, kenapa dia bisa menyayangi Risa, perempuan yang suka merendahkan orang lain. Istrinya itu tak tahu betapa susahnya mencari pekerjaan.
''Di sekolah Sava aku cuma guru magang. Kebetulan di tempat Inara kerja ada lowongan, aku masuk sana.''
''Ooh... Jadi Inara bantuin kamu nyari kerja?'' Risa merasa cemburu. Lagi-lagi Inara. Kalau masalah pekerjaan, dia pun bisa membantu Aksa.
''Makasih sarapannya ya? Aku pergi dulu, takut Inara nunggu lama.'' Aksa berdiri. Sejenak dia menatap Risa. Melihat istrinya yang seperti tak peduli, dia akhirnya berlalu.
''Aksa!!'' panggil Risa. Aksa menoleh. ''Good luck,'' ucapnya. Walaupun sebenarnya Risa tak rela membiarkan Aksa pergi, tapi terpaksa juga dia menelan rasa kecewanya.
''Makasih.'' Aksa tersenyum dan melangkah pergi. Dalam hati dia merasa senang, setidaknya ada kata semangat yang dia dapat dari istrinya.
Risa kehilangan selera untuk melanjutkan sarapannya, semuanya karena Inara. Risa merasa jengkel dengan perempuan itu. Kenapa Aksa tak menikah saja dengan Inara? Kenapa Aksa setuju saja menikah dengannya? Kalau bukan karena uang, mungkin Aksa tak mau menikah dengannya.
Risa tak bisa lupa, percakapan yang diam-diam dia dengar antara ayahnya dan Aksa seminggu sebelum mereka menikah. Ada kaitannya dengan sejumlah uang yang menurutnya tak sedikit. Risa sendiri tak tahu ada rahasia apa di antara mereka berdua.
Jika mengingat itu semua, rasa bencinya pada Aksa mulai datang lagi. Tapi jika melihat sikap dan cara Aksa memperlakukannya, rasa sayang itu kembali muncul. Dia masih tak dapat mengartikan Aksara Tunggoro di hatinya. Tetapi, jika dia tak merasakan apa pun pada Aksa, kenapa dia merasa cemburu pada Inara. Perasaan yang tak pernah ada ketika dia bersama Rayan dulu.
Risa segera tersadar, jika yang baru saja dia pikirkan membuatnya terlambat untuk pergi ke kantor. Dia segera merapikan meja makan. Dan ketika melewati ruang tamu, dia melihat sesuatu di atas meja. Risa mendekat dan melihat ada sebuah file berwarna hijau.
Risa mengambil file tersebut lalu dibukanya. Sebuah CV milik Aksa. Keningnya berkerut, tak percaya dengan apa yang dia baca. Aksa ternyata alumni dari Nanyang Technological University jurusan Accuonting & Finance.
#####
''Aku lihat hari ini kamu kebanyakan melamun. Ada masalah?'' Fista menyentuh bahu Risa yang sedari tadi melamun. Walaupun meeting telah usai, Risa masih terdiam di kursinya dengan tatapan kosong.
''Kamu nanya apa tadi?'' Risa memandang Fista. Kemudian matanya mengamati sekeliling, dia baru menyadari ternyata di ruangan itu hanya tinggal mereka berdua.
''Ngelamunin Aksa ya? Yang lain udah pada pergi, kamu nggak balik ke ruangan kamu?''
''Siapa yang ngelamunin Aksa. Nggak lah!!'' Risa mencoba mengelak, walaupun sebenarnya apa yang dikatakan Fista seratus persen benar.
''Aku heran sama kamu ini... Sudah tinggal serumah berapa bulan tapi masih cuek gitu.''
''Males banget sih bahas soal Aksa terus!'' gerutu Risa.
''Males apa malu....'' Fista sengaja menggoda. Wajah Risa yang sudah merona merah jelas sekali karena godaannya tadi. ''Nggak usahlah terlalu jual mahal. Aksa itu ganteng, aku yakin banyak yang suka sama dia di luar sana. Kalau Aksa ngelirik cewek lain, baru tau rasa kamu,'' sambung Fista lagi, senyumnya bertambah lebar ketika melihat wajah Risa yang semakin cemberut. Biarkan Risa marah, biarkan saja Risa sadar, Fista sudah tak peduli.
''Permisi, Bu Risa....'' tiba-tiba muncul Maia, sekretarisnya di ambang pintu. ''Bapak Wahyu sudah datang. Ibu mau ketemu sekarang atau nanti saja,'' beritahu maia.
''Sudah datang? Ooh okey. Suruh beliau nunggu di ruangan saya saja.''
''Baik, Bu.'' Maia berlalu pergi
''Buat apa kamu panggil Pak Wahyu?'' tanya Fista penasaran.
''Ada deh....'' Risa tersenyum penuh arti. Dia sudah punya rencana, dan tak ingin Aksa berhubungan apapun dengan Inara.
#####
''Nggak ada yang kosong?'' Risa merasa kecewa dengan kabar yang baru saja didengarnya.
Risa mulai berpikir keras. Dengan cara apapun, dia ingin Aksa bekerja di perusahaannya. Dia tak ingin kalah bersaing dan posisinya tergantikan oleh Inara.
Sebetulnya dengan kedudukan yang dia punya, bisa saja dia memecat salah seorang karyawannya dan nantinya digantikan dengan Aksa.
Risa menatap wajah lelaki berkumis di depannya. Karyawan yang berusia lebih dari 40 tahun itu masih setia sejak ayahnya masih memimpin perusahaan tersebut.
''Apa masih ada lagi, Bu?''
Risa mengeleng. Mungkin lebih baik dia bertanya dan minta tolong saja pada kakak iparnya, Egan.
########## 03062016##########
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top