Dua

You have not to choose the choise,
Life is not choise, but story!

Aksa termenung. Dia memandang beberapa muridnya yang sedang bermain basket.

''Aksa!!''

Seseorang menyapanya dari jauh. Aksa hanya mengangkat tangan dan sedikit memberikan senyuman. Dia sama sekali sedang tak bersemangat.

Pikiran Aksa kembali melayang jauh, mengingat kejadian beberapa hari yang lalu. Dia berpikir, kalau dia lebih bersabar pada Risa, istrinya itu akan lebih toleransi padanya. Toleransi dari Hong Kong! Risa memang sudah keterlaluan. Kalau bukan karena tingkat kesabarannya yang tinggi, ingin rasanya dia menampar muka istrinya.

Risa membuang makanan yang telah dimasaknya ke dalam tempat sampah. Tak bisakah Risa sedikit saja menghargainya. Padahal seharusnya tugas Risa yang menghidangkan makanan. Dia tak pernah menuntut Risa menjadi istri yang terbaik. Dia sudah sadar diri, dari hari pertama mereka bertemu, Risa sudah tak suka padanya.

Dan yang lebih keterlaluan, Risa memecat pekerja rumah tangga yang dia pekerjakan hanya gara-gara mencampur bajunya dan baju milik Risa saat mencuci.

Aksa mengingat ucapan permohonan Yanuar Wibisono untuk menikahi anaknya, Orisa Sativa. Menyesalkah dia sekarang? Semuanya sudah terjadi. Mungkin ada hikmah di balik semuanya.

                                           #####

''Apa kalian sudah selesai belajarnya?''

''Papa. Kenapa, Pa?'' jawab Cassava, puteri ke tiga Yanuar Wibisono.

''Papa ada perlu sebentar sama 'pak Aksa.''

Aksa yang disebut namanya menoleh. Merasa ada yang aneh. Sangat jarang dia bertemu dengan Yanuar Wibisono ketika datang untuk mengajar pelajaran tambahan buat Sava.

Setelah merapikan beberapa bukunya, Sava pergi meninggalkan perpustakaan. Dia juga merasa heran. Apakah guru idolanya itu akan dipecat? Rasa penasarannya membuat dia tetap berdiri di balik pintu setelah menutupnya.

''Langsung saja 'nak Aksa. Sebenarnya Bapak mau minta tolong.''

''Bapak minta tolong pada saya? Tapi apa yang bisa saya bantu pak Yanuar.''

''Jadi begini,'' Yanuar Wibisono menggeser tubuhnya. ''Apa 'nak Aksa bisa menikahi anak saya, Orisa?''

Aksa tercengang. Tubuhnya bagai disiram air panas lalu dimasukkan ke dalam kulkas, entah apa rasanya.

''Jangan salah paham. Risa baik-baik saja. Dia bukan sedang hamil lalu ditinggal pergi sama pacarnya.'' Yanuar memandang wajah Aksa yang sudah memucat.

''Bapak jangan bercanda.''

''Apa wajah saya terlihat sedang bercanda?''

''Tapi anda belum mengenal saya,'' ucap Aksa masih tak percaya.

Risa. Perempuan itu, Aksa hanya mengenal namanya. Dia lebih akrab dengan Zea Mays, anak pertama Yanuar Wibisono. Selama hampir tiga bulan memberikan les tambahan pada Cassava, setiap kali mereka bertemu, Risa sama sekali tak memandangnya.

''Saya tau yang terbaik buat anak-anak saya. Dan feeling saya, kamu adalah laki-laki yang cocok buat Risa,'' ucap Yanuar, masih berusaha meyakinkan Aksa.

''Tapi yang terbaik buat Bapak, belum tentu yang terbaik juga buat anak Bapak.''

                                         #####

''Maaf Bu Risa, ada tamu yang ingin bertemu,'' ucap Maia, sekretaris Risa yang tampak sedikit gugup.

Maia yang masih berdiri di ambang pintu ditatapnya tajam. Rasanya dia sudah berpesan untuk tak mengganggunya.

''Bukannya saya sudah bilang nggak mau diganggu.'' Risa menutup laporan yang ada di depannya. Hari ini suasana hatinya sedang tak begitu baik.

''Tapi yang datang ini Bapak Rayan.''

Mendengar nama Rayan disebut, darahnya langsung mendidih. Masih berani laki-laki itu datang ke kantornya.

''Baik. Suruh aja dia masuk.''

Belum ada satu menit, Rayan sudah muncul di hadapannya. Seperti biasa, Rayan selalu terlihat gagah dan rapi dengan setelan jas yang membalut tubuhnya. Jika dibandingkan dengan Aksa, mereka bagai langit dan bumi.

Risa membayangkan penampilan Aksa yang lebih sering memakai t-shirt dan jeans lusuh. Aksa lebih santai, sementara Rayan selalu tampil kasual.

''Hai, Sa. Aku pikir kamu udah enggak mau ketemu lagi.''

''Mau apa? Aku sibuk!''

''Oh ya? Biasanya, sesibuk apapun kamu masih punya banyak waktu buatku.''

''Itu dulu. Tapi sekarang udah nggak lagi. Kamu tau kenapa? Karena aku sekarang sudah jadi seorang istri.''

''Aku tau kamu nggak bahagia. Kamu nggak mencintai suamimu itu 'kan? Risa, kita bisa mulai lagi dari awal.''

''Kata siapa aku nggak bahagia? Dan mimpi aja sana kalau kita bisa balikan.'' Risa berusaha tersenyum ceria.

''Dengan laki-laki itu? Oh sudahlah Risa, dia sama sekali bukan seleramu.'' Rayan tertawa, sementara Risa kini menahan geram.

''Well... Biarpun Aksa hanya seorang guru, tapi dia laki-laki yang setia. Lebih baik kamu pergi sekarang.

Rayan tersenyum kecut. Kenapa Risa semudah itu melupakannya. Sedangkan selama ini, Risa yang begitu perhatian padanya. Apakah sudah tak ada cinta lagi buatnya? Dia berpikir apapun yang dia lakukan, Risa pasti akan memaafkannya.

Rayan pergi dengan menghempas pintu sekuat tenaga, menimbulkan bunyi dentuman pada ruang kerja Risa yang tak begitu besar.

Risa menarik napas. Matanya terasa panas. Semuanya sudah berakhir! Tak terasa air matanya mulai mengalir. Mungkin Rayan memang bukan jodohnya, dan berharap menemukan laki-laki yang lebih baik. Tapi sayangnya, dia harus menikah dengan Aksa karena ancaman ayahnya.

Nasibnya terasa makin sial karena beberapa temannya menertawakan dia di belakangnya. Berapa banyak lagi senyum palsu yang harus dia perlihatkan pada semua orang, terutama keluarganya? Bahagia? Mustahil dia akan bahagia dengan orang yang tak dia inginkan.

Ketukan di pintu membuyarkan lamunan Risa. Segera saja dia menyeka air matanya.

''Sori ganggu... Tadi aku lihat Rayan datang, mau apa lagi dia?'' tanya Fista di ambang pintu dan malangkah masuk.

''Semuanya sudah berakhir.''

''Itu harus! Sekarang masa depanmu adalah Aksa.'' Fista tersenyum. Dia selalu mendoakan kebahagiaan sepupunya itu. Dengan laki-laki manapun, asalkan orangnya bisa menjadi suami yang baik bagi Risa.

''Masa depan? Yang seperti apa? Aku tau kamu ingin aku bahagia. Tapi aku bukan kamu yang sangat mudah buat jatuh cinta.''

Fista hanya mengangguk dan mengelus pelan lengan kiri Risa, kemudian melangkah pergi. Risa merasa sedikit bersalah, mungkin Fista pergi karena tersinggung dengan ucapannya. Dia sadar, siapapun boleh bahagia dengan jodoh masing-masing, tapi tak ada yang bisa memaksanya untuk bahagia bersama Aksa. Setidaknya bukan sekarang.

                                             #####

Risa melepaskan penat di atas sofa. Dia memandang ruang tamu yang nampak sunyi. Risa tersentak dengan bunyi ponsel yang ada di pangkuannya.

''Halo, Pa?''

''Risa, gimana kabar kalian? Weekend ini datanglah bareng Aksa. Ada acara makan malam keluarga seperti biasa. Jangan nggak datang ya!''

''Okey... Nanti Risa kasih tau Aksa.''

Ketika obrolan sudah terputus, Risa melihat Aksa sedang memakirkan motornya di garasi.

''Sabtu besok, Papa ngundang kita ke rumahnya,'' ucap Risa ketika Aksa melintas di depannya.

''Buat apa?''

''Ada acara makan malam keluarga. Biasanya tiap hari Sabtu malam kami akan berkumpul. Aaah, tapi buat apa aku cerita ginian sama kamu, palingan kamu juga nggak ngerti. Yang jelas kamu jangan main futsal atau keluyuran. Kamu punya baju nggak?''

''Baju apa? Maksudmu harus pake jas atau apalah gitu?

''Of course! Emangnya kamu mau pake sarung!'' bentak Risa kesal.

''Nggak punya,'' jawab Aksa santai.

''Kamu jangan buat malu ya. Besok kita pergi beli!''

''Nggak usah repot-repot. Pake sarung aja kayaknya bagus juga.''

''Aksara! Jangan coba-coba ya!'' teriak Risa lagi.

Aksa pura-pura menutup telinganya dan berlalu pergi begitu saja sambil meraih apel yang ada di atas meja.

                                 #####300416#####

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top