heaven's: the fallen era
Gerbang yang semula Ryo ingat pernah terlihat gagah dengan cahaya menyilaukan mata untuk melindungi Surga dari mereka, para jiwa fana yang kotor, kini terlihat lapuk dan berkorosi. Cahaya-cahaya menyilaukan itu redup, gerbang pun tidak terkunci dengan baik.
Penampakan gerbang surga yang asing membuat Ryo merasakan sakit di balik dada. Sejak kapan kerusakan ini terjadi pada gerbang?
"Apa yang terjadi pada gerbang Surga?" gumam Vincent.
Rahang Gabriel mengeras, kedua tangannya mengepal lemah. Walau demikian, tatapan sang pemberi pesan tidak luput dari gerbang megah di hadapan. "Neraka menyerang."
"Untuk apa Neraka menyerang Surga?" tanya Ryo.
Gabriel melirik Ryo sekejap, kemudian kembali menatap gerbang masuk Surga dengan nanar. "Menurutmu, apakah dengan melimpahnya jiwa-jiwa kotor, Neraka memiliki wilayah yang cukup untuk menampung mereka?"
"Tidak," Vincent menggelengkan kepala pelan, "ini bukan ulah Neraka."
"Lantas, siapa yang menginginkan Surga runtuh?" elak Gabriel. "Hanya para setan dan iblis yang tamak yang menginginkan perluasan wilayah dengan mengorbankan Surga sebagai tempat tinggal para jiwa suci."
"Kubilang, tidak," Vincent menegaskan, "ini bukan ulah Neraka. Sejak sebelum kalian membuang Ryo---dan Neraka membuangku---Surga sudah mempunyai keterbatasan kekuatan. Apabila Neraka menginginkan wilayahmu, mereka sudah mengambilnya beribu-ribu tahun yang lalu."
"Lalu, apa yang bisa menjelaskan keruntuhan Surga?" tanya Gabriel seraya mendengkus kesal.
Tanpa menunggu jawaban Vincent, Gabriel melangkah dua kali ke depan, merentangkan tangannya sembari merapalkan mantra yang kedengaran asing di telinga sang iblis dan sang malaikat jatuh.
Ketika mantra itu selesai dirapalkan, gerbang Surga di hadapan mereka terbuka, menghasilkan suara berdecit nyaring yang memekakan telinga. Sebelum mereka melanjutkan perjalanan, Gabriel berbalik untuk merentangkan tangan dan menghentikan Vincent dari mendekati tanah Surga.
"Apa ...?" tanya Vincent sedikit ragu.
"Kamu masih memiliki darah neraka. Darah laknat yang mengalir di balik dagingmu tidak bisa menapakkan kaki di tanah Surga. Tunggulah di sini, hanya ... Ryo, yang boleh masuk."
"Memangnya aku akan membiarkanmu membawa dia masuk sendirian?" Ketika Vincent melontarkan pertanyaan itu, langit-langit Akhirat terlihat bergemuruh untuk beberapa saat.
Gabriel berdecak. "Kami tidak akan menindas malaikat malangmu ini, Iblis. Kaupikir kami sama seperti bangsamu?"
"Tidak," Vincent tertawa kecil, "kalian lebih buruk dari bangsaku."
"Sudahlah. Tidakkah kalian malu, berseteru di hadapan gerbang Surga?" Ryo menengahi.
Malaikat jatuh itu melangkah mendekati Vincent, melewati Gabriel yang tengah menyilangkan tangan di depan dada seraya memutar bola mata, kemudian berbisik lirik kepada sang iblis.
Pada bisikan Ryo, Vincent menganggukkan kepala tanda setuju. "Masuklah ke dalam. Aku akan menunggu di sini."
"Apa yang kalian bicarakan sampai aku tidak diperkenankan untuk mendengar?" Gabriel bertanya setelah Ryo kembali berdiri di samping sang pembawa pesan. Sementara itu, Vincent berjalan menjauh, terduduk di ujung gerbang Surga, di samping engsel-engselnya yang sudah kelihatan berkarat.
Ryo mengedikkan bahu. "Tidak ada. Jadi, bisakah kita masuk sekarang?"
"Belum," Gabriel meraih kedua pundak Ryo untuk membuat mereka berdiri secara berhadapan, "kalau kamu masuk sekarang, Surga akan menolakmu. Biarkan aku memberikanmu izin sementara, fallen angel."
Tidak ada penolakan apa pun yang diberikan oleh Ryo bahkan dalam bentuk gestur tubuh. Malaikat jatuh itu hanya mengangguk, lalu memejamkan mata dan membiarkan Gabriel merapalkan mantra.
Gabriel melekatkan jari telunjuk dan tengahnya di tangan kanan, sementara jari-jari lain mengatup. Dia menarik napas dalam, menutup mata untuk menarik konsentrasi yang lebih tinggi.
"Elohim zerynthia; through the void, a path we weave, to reclaim what once did leave."
Jari-jari yang melekat satu sama lain itu kini menyentuh dahi Ryo. Pada dahi sang malaikat jatuh, terbentuk simbol yang menyerupai bulu rontok. Untuk beberapa saat, simbol tersebut menyebabkan rasa menyengat pada kulit Ryo; bersinar tidak lebih lama dari lima detik, lalu menghilang seolah tidak pernah muncul.
Ryo membuka mata, mendapati Gabriel sudah melangkah masuk terlebih dahulu tanpa memberikan aba-aba. Dengan terburu-buru, Ryo berjalan cepat guna menyamai langkah Gabriel.
Beberapa langkah lagi, Ryo akan merasakan bagaimana rasanya kembali setelah beribu-ribu tahun ditendang dari rumah.
***
Keasingan kini merambat di segala penjuru Surga.
Dahulu, ketika para malaikat dan jiwa-jiwa suci masuk ke dalam Surga, mereka akan disambut oleh patung-patung yang memancurkan air suci melalui ujung jemari mereka yang direntangkan ke atas, membasahi para malaikat dan jiwa-jiwa suci dengan kebahagiaan.
Akan tetapi, patung-patung itu kini berlumut; beberapa di antaranya memiliki tangan-tangan retak, bahkan patah. Air pun sepertinya sudah tidak sudi untuk keluar dari ujung jemari para patung.
Ryo tidak mengenali tanah yang hampir gersang yang kini ia pijak. Jejak samar rumput-rumput hijau masih tertinggal, tetapi hanya di beberapa titik saja sang malaikat jatuh mampu menyadari kehijauan tersebut.
Seharusnya, jalur-jalur Surga dikelilingi oleh taman bermain untuk para jiwa cilik, air mancur megah untuk para hewan, dan kuil-kuil mewah untuk para jiwa suci bersemayam; bertapa; bertegur sapa. Namun, taman-taman bermain itu tidak lagi hidup; air mancur itu tak lagi mengalir; bahkan kuil-kuil di sekitar mereka telah runtuh dan retak.
Ada beberapa anak-anak yang bermain di taman sebelah timur, terduduk di ayunan yang kelihatannya di ujung tanduk; hampir roboh. Telinga-telinga Ryo dapat mendengar decitan berkarat dari ayunan, menurunkan kebahagiaan para anak.
Sementara itu, air mancur megah yang ada di sebelah barat tidak lagi memancarkan air. Para hewan kini memakainya untuk tertidur.
Di setiap sisi jalan, kuil-kuil yang dahulu ramai oleh jiwa-jiwa yang beragam, kini sepi dan terkesan depresi.
"Hei, hei!" Sebuah bisikan terdengar dari belakang, membuat Ryo berhenti berjalan, tidak menghiraukan Gabriel yang tidak menyadari berhentinya langkah Ryo.
Ryo berbalik, mendapati seorang pria berjubah kelabu menggenggam pisau lipat di tangan kirinya. Pria itu memiliki tatapan tidak fokus; mabuk entah karena apa. Pada pipi sebelah kanannya, terdapat luka memanjang dari bibir ke telinga.
Kedua alis Ryo saling bertemu. "Apa ...."
Pria itu berada 20 kaki jauhnya dari Ryo. Kaki-kaki pria tersebut melangkah maju dengan kaku; mendekati Ryo yang terkesiap dengan penampakan jiwa tak biasa dalam Surga.
"Kamu," pria itu menodong pisau yang ia genggam ke arah Ryo dengan kasar, "merebut putriku. Kembalikan putriku, sialan!"
"Tuan, apa yang sedang Anda lakukan di Surga?" tanya Ryo.
"Surga?" beo pria itu. Jeda di antara mereka membuat langkah si pria terlihat lebih cepat. "Surga bagi pria laknat yang telah menodai putriku, sepertimu?"
"Apa---"
"Faelothar!" Seseorang berseru. Ledakan cahaya muncul tepat di pertengahan jarak antara si pria dan Ryo, melempar jiwa asing itu jauh ke belakang, membuatnya mendarat tepat di sisi patung terakhir di jalur gerbang.
Suara kepakan sayap yang menggema menusuk gendang telinga Ryo. Matanya yang tadi terpejam kini terbuka secara perlahan, mendapati sosok malaikat dengan sayap menyerupai angsa.
Malaikat itu berdiri tegak, menjulang tinggi, menyerupai pohon muda yang setengah menua. Dia berbalik, tersenyum manis kepada Ryo. Surai putihnya berkibar entah karena angin apa, tetapi wajah ramah itu setidaknya membuat Ryo jauh lebih tenang.
"Uriel," sapa Ryo seraya mengangguk.
Uriel membalas anggukan Ryo. "Ha---"
"Ryo," sela sang malaikat jatuh. "Nama mortalku, Ryo. Kupikir, akan lebih baik jika kita mengesampingkan nama akhiratku."
Air wajah Uriel berubah muram. Senyum manisnya kini terbalik, tatapannya yang tadi fokus berubah sendu. Tanpa mengatakan sepatah kata pun, Uriel berlutut di hadapan Ryo, setengah menahan tangis.
"Hei---" Ryo mengambil satu langkah mundur; terkejut dengan gestur yang dilakukan Uriel, sang penabur kedamaian; The Archangel of Salvation.
"Semuanya sirna ... Ryo. Semua yang telah kita perjuangkan sejak Almighty menghilang; lenyap begitu saja di tangan para iblis," seru Uriel. "Setelah 278 tahun pengasinganmu, Surga tidak lagi terasa sama."
"Hei, Uriel," Ryo mendekati sang malaikat kedamaian lalu berlutut pula di hadapannya, "bukankah ini terlalu cepat untuk tertunduk? Seingatku, kamu adalah malaikat paling ceria; malaikat yang dapat melihat celah di segala situasi.
"Apa yang terjadi kepada Uriel yang kukenal?"
Uriel menggelengkan kepalanya. "Aku---"
"Uriel!" seru sebuah suara. Gabriel mendarat tepat di samping mereka dengan ekspresi kasar yang jarang terpatri pada wajahnya. Sayap lebarnya itu terlipat, sementara tangan kirinya menarik Uriel agar malaikat tersebut beranjak.
Gabriel berdecak sinis. "Kamu seharusnya sudah berada di Altar. Pergilah, tak sepantasnya anggota dari Archangel berkeliaran sementara yang lain menunggu untuk membuka diskusi."
Pada genggaman tangan Gabriel, Uriel menebasnya kasar. Tanpa menoleh maupun melirik sang pembawa pesan, Uriel berkata, "Aku berkeliaran karena jiwa-jiwa bernoda ini harus dijauhkan dari Altar. Pikirmu, aku berkeliaran karena apa?"
Sebelum Gabriel sempat meneriaki Uriel dengan komentar menusuknya, sayap-sayap Uriel terbuka, kemudian ia terbang menjauh, menuju altar para malaikat yang berada di ujung Surga, tertutup oleh istana milik Raja dari Semua Raja; pengganti sementara sang Almighty.
Ryo mengembuskan napas seraya berdiri dari posisi berlututnya. Dia melirik Gabriel yang sedang mengulum lidah sendiri, terlihat masam seolah mengunyah lemon yang para manusia tanam di dunia bawah sana.
"Aku juga ingin menanyakan hal yang sama kepadamu, Gabriel," ucap Ryo. "Apa yang terjadi kepada Surga? Semua perkataanmu sejak kita sampai di sini tidak ada yang jelas. Aku masih tidak menangkap garis besar permasalahan yang kalian hadapi."
"Tidak bisakah kaulihat?" Gabriel berjalan maju dengan tangan-tangan yang terkepal di samping tubuhnya. "Surga sudah berada di ujung keruntuhan; jiwa-jiwa kelabu kini dengan mudahnya menerobos gerbang kami."
"Iya," Ryo berusaha untuk menyamai langkah Gabriel yang cepat dan lebar, "tapi, karena apa?"
"Neraka, tentu saja."
"Aku tidak mengerti."
"Tentu saja kau tidak mengerti," Gabriel memutar bola matanya, "kamu sekarang sudah menjadi bagian dari mereka."
Dahi Ryo mengerut. "Aku bukan bagian dari mana pun. Hentikan komentar-komentar sinismu apabila kalian memang memerlukan bantuanku."
Gabriel membuka mulut, tetapi kembali mengatupnya secepat mungkin.
"Yang aku tidak mengerti adalah," Ryo melanjutkan percakapan mereka yang terpotong, "kamu bilang, jiwa-jiwa kelabu, tetapi kamu menyalahkan Neraka. Bukankah jiwa-jiwa kelabu tidak berasal dari sana?"
Sang pembawa pesan menghentikan langkahnya, begitu juga dengan Ryo yang menghentikan langkah miliknya dengan napas memburu. Gabriel menatap Ryo kebingungan, kemudian beralih ke ujung kakinya yang berpijak pada tanah gersang.
"Tidak," Gabriel menggelengkan kepalanya lemah, "mereka tidak berasal dari Neraka."
Sementara Gabriel terlihat sedang memikirkan sesuatu yang kelihatannya tidak pernah terbersit dalam benak, Ryo kembali menyapu sekitar mereka dengan pandangannya.
Matanya dapat melihat beberapa tumbuhan milik Surga yang layu, bahkan pohon-pohon yang ia ingat pernah tumbuh kokoh kini menghilang entah ke mana.
Sementara itu, di beberapa titik, dekat dengan puing-puing kuil dan semak-semak kering, Ryo mendapati banyak bercak-bercak merah yang menyerupai darah.
Surga tidak seharusnya sekotor ini.
"Kita harus cepat," ucap Gabriel seraya menarik lengan Ryo dengan kasar. Sang malaikat jatuh awalnya bersikeras agar Gabriel melepaskan cengkeraman tangan tersebut, tetapi urung ketika ia menyadari ekspresi baru yang terlukis di wajah Gabriel.
Tak pernah seumur hidupnya Ryo melihat Gabriel seperti ini.
Panik.
Bingung.
Takut.
***
1696 kata.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top