#9

"Ve?"

Aku terbangun dan seketika menarik ujung selimut untuk menutupi bagian atas tubuhku setelah mendengar seseorang memanggil namaku. Suara halus itu terdengar sopan, namun pemiliknya sudah berada di samping tempat tidur saat aku membuka mata. Dia, dengan lancangnya mengusik tidur lelapku pagi ini. Bahkan tanpa mengetuk pintu atau sepatah kata salam sebelum masuk ke dalam kamarku.

"Ada apa? Kenapa masuk kamar orang seenaknya?" cecarku sewot. Aku tidak terlalu peduli bagaimana berantakannya penampilanku sekarang. Tampang kusut sehabis bangun tidur sangat wajar, kan?

Tapi, laki-laki itu malah menyunggingkan senyum tipis di bibirnya. Kurasa ia harus bercukur secepatnya karena bulu-bulu kasar yang tumbuh di sekitar dagunya sangat mengganggu pemandangan.

"Kamu sudah lupa tinggal di mana?" tegurnya dengan nada kalem. "Kamu tinggal di rumahku dan kamu adalah istriku. Kamu benar-benar lupa?" Senyum menyebalkan kembali mengembang di atas dagu yang sangat mengganggu pemandangan itu.

Oh.

Aku langsung tertohok mendengar sindiran pedas yang tepat mengena di jantungku. Oke, dia benar kali ini. Tapi sungguh, tidurku terlalu nyenyak dan nyaris menghapus sebagian memori dari dalam kepalaku, termasuk file tentang Reynand Harris. Mantan seorang pemain sepak bola yang sempat tergabung dalam Timnas Indonesia dan harus pensiun dini karena pernah mengalami cedera kaki. Oh ya, sekarang dia membuka sebuah usaha restoran Korea. Laki-laki yang sudah berhasil menjebakku dalam pernikahan paksa!

"Mau apa ke sini?" tanyaku mengalihkan tema. Aku tidak akan menang berdebat soal tempat tinggal dan status karena semua yang ada di sini adalah miliknya. Diriku juga. Tapi, sayangnya aku tidak suka mengakuinya. Aku membenci laki-laki itu.

"Kamu mau bangun jam berapa? Ini sudah siang, Ve." Reynand mengambil tempat duduk di tepian ranjang tanpa rasa canggung sama sekali. Ya, karena dia berkuasa di tempat ini tentunya. Malah aku yang beringsut merapat ke sandaran tempat tidur. Ia melempar senyum menyebalkan kembali. Berlagak sok manis. Mungkin saja ia sudah terbiasa melakukan hal itu untuk menarik perhatian para gadis penggila bola. Apa ia pikir bisa menarik perhatianku hanya dengan melempar sebuah senyuman saja?

"Aku masih capek dan ingin tidur sebentar lagi... "

"Aku lapar." Reynand memotong dengan cepat. Seperti sengaja ingin menggangguku.

Aku terdiam. Sebenarnya aku juga lapar, tapi tidak selapar itu. Tidur bisa membuatku melupakan rasa lapar yang menggerogoti lambungku. Aku bisa menahan lapar beberapa jam lagi.

"Mau cari sarapan?" tawar Reynand membuyarkan lamunan di dalam kepalaku. "Kita baru saja datang kemarin dan aku nggak bisa memasak sarapan karena kulkas kosong," ujarnya seraya mengangkat pantat dari tepian ranjang.

"Lalu?" Aku mendelik ke arahnya karena belum berhasil mencerna maksud perkataan Reynand.

"Kita harus membeli kebutuhan sehari-hari, Ve."

Bagiku, salah satu hal paling menyenangkan di dunia ini adalah berbelanja. Karena berbelanja terbukti bisa menurunkan tingkat stres dan aku adalah salah satu buktinya. Berbelanja sangat ampuh untuk memperbaiki suasana hati yang buruk. Tapi, Reynand baru saja mengatakan kita, kan?

"Kenapa bukan kamu saja yang berbelanja? Atau aku? Aku bisa pergi ke supermarket sendiri," ucapku memberi opsi. Karena aku tidak akan menyukai kegiatan berbelanja jika bersama Reynand. Sungguh, itu bukan ide bagus. Bagiku dia adalah orang asing meski dalam buku nikah kami jelas-jelas tercatat kalau Reynand adalah suamiku. Dan menghabiskan waktu bersama orang asing yang sama sekali belum kukenal akan membuat suasana hatiku terjun bebas. Aku tidak menyukainya. Terlebih lagi sikapnya yang sok dekat dan sok keren itu.

"Kita berbelanja untuk kebutuhan rumah tangga kita, kan? Jadi, lebih baik kita berdua yang melakukannya," tegasnya. "Kalau begitu kamu harus cepat mandi dan ganti pakaian. Aku tunggu di depan."

Aku melongo menatap laki-laki itu yang sudah memutar tubuhnya bahkan sebelum aku sempat mengeluarkan satu huruf dari mulutku. Apa yang baru saja dia lakukan? Menyuruhku agar segera mandi? Mas Aksa saja tidak pernah memaksaku meninggalkan tempat tidur meski matahari sudah bersinar terik. Tapi dia?

"Jangan lama-lama."

Aku mendengus sebal mendengar pesan singkat yang dilontarkan laki-laki itu sesaat sebelum menutup pintu kamar. Menyebalkan! Kenapa orang selalu menyuruh jangan lama-lama padahal melakukan sesuatupun belum? Lagipula supermarket belum buka jam segini! Ini masih pagi.

Setengah jam kemudian aku baru keluar dari kamar karena banyak yang harus kulakukan sebelum pergi berbelanja. Aku harus mandi, keramas, memilih pakaian--kebetulan aku belum mengeluarkan pakaian-pakaianku dari dalam koper, jadi perlu waktu yang sedikit lebih panjang untuk melakukan hal ini-- berdandan minimalis karena ini hanya untuk berbelanja di supermarket, dan menyiapkan dompet untuk dana cadangan. Bisa saja ada sesuatu yang menarik perhatianku saat berbelanja nanti, kan? Segalanya bisa terjadi di luar sana. Siapa tahu ada barang semisal pakaian, tas, sepatu atau yang lain menarik perhatianku, bukan?

"Sudah siap?" tegur Reynand begitu aku muncul dengan menenteng sebuah clutch hitam. Laki-laki itu sedang duduk santai di salah satu kursi yang berada di teras.

"Ya. Tapi, supermarket belum buka jam segini," keluhku bernada protes. Aku tidak suka menjadi pengunjung pertama sesaat setelah pintu supermarket dibuka.

"Aku sudah bilang tadi kalau aku lapar, kan?"

Aku merengut mendengar kalimat Reynand. Kenapa ia tidak bilang kalau kami akan pergi mencari sarapan terlebih dulu lalu berbelanja?

"Kamu mau sarapan apa?" tegur Reynand memecah kebisuanku.

Bukankah dia yang kelaparan? Kenapa bertanya padaku?

"Terserah." Aku malas berpikir tentang makanan apa yang kuperkenankan mengisi lambungku pagi ini.

"Bagaimana kalau nasi pecel di depan gang sana... "

"Terserah kamu," potongku cepat. Aku seorang omnivora sejati. Makanan apapun akan kulahap tanpa pikir panjang. Karena pada dasarnya aku bukan orang yang pilih-pilih makanan, kecuali makanan pedas.

"Oke. Yuk." Reynand memberi kode agar aku segera bergegas masuk ke dalam mobilnya. "Pasang sabuk pengamannya," suruh laki-laki itu mengingatkan sesaat setelah aku berhasil meletakkan pantat di jok penumpang samping kemudi. Padahal tanpa diingatkan pun aku tidak pernah lupa untuk memasang sabuk pengaman saat berkendara. Ini adalah salah satu sifat yang diwariskan Mas Aksa padaku.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top