#8

Bianca benar. Aku memang tidak punya pilihan. Karena kenyataannya perjodohan itu tetap berjalan sesuai rencana awal kedua belah pihak. Tanpa persetujuanku pun resepsi pernikahan tetap diselenggarakan dua minggu kemudian. Mereka yang mengurus semuanya sedang aku sama sekali tidak melakukan apa-apa. Bukankah boneka hanya bisa diam saja meski diperlakukan sesuka hati? Toh, dari awal mereka yang menginginkan pernikahan ini, bukan aku. Dan bagaimana akhir pernikahan ini hanya Tuhan yang tahu.

"Kita sudah sampai."

Suara itu begitu asing di telingaku. Begitu juga dengan pemiliknya. Tapi, ia sudah berhasil membangunkanku dari lamunan panjang tentang kilas balik peristiwa yang terjadi dua minggu ke belakang.

Aku bergegas mengumpulkan segenap kesadaran sejurus kemudian. Mobil yang kami tumpangi telah berhenti tepat di depan sebuah rumah mungil berlantai dua yang dikelilingi pagar pembatas berwarna putih.

"Ini rumah baru kita, Ve," beritahu Reynand.

"Oh."

"Kamu masih sakit?" cecar laki-laki itu usai melihat reaksiku yang datar.

Sakit? batinku bingung. Aku hampir lupa apa yang telah kulakukan dua hari yang lalu saat resepsi pernikahan kami diselenggarakan. Aku pura-pura pingsan! Dan aku melakukan hal konyol itu hanya untuk mengerjai mereka semua. Mungkin karena kejadian itulah Reynand mengira aku masih sakit. Bodoh.

"Nggak," jawabku tegas.

"Mau turun sekarang?"

Aku membuka pintu mobil tanpa menghiraukan pertanyaan Reynand.

Konon rumah mungil yang akan kami tinggali itu adalah milik Reynand pribadi. Hasil kerja kerasnya selama menjadi pemain sepak bola. Lumayan juga.

"Aku nggak tahu kamu suka atau nggak tinggal di rumah sekecil ini," oceh Reynand ketika kami berjalan memasuki ruang tamu. Tempat itu tidak terlalu lebar dan dihuni satu set sofa berwarna cokelat tua. "Kelak kita bisa menabung dan membeli rumah baru kalau kamu nggak suka tinggal di sini." Laki-laki itu mengoceh lagi.

Kita? Menabung? batinku seraya menoleh ke arah Reynand. Ide buruk. Aku lebih suka meminta uang secara langsung pada Mas Aksa ketimbang menabung. Lagipula tidak ada yang tahu sampai kapan pernikahan ini akan bertahan, kan?

"Di mana kamarnya?" tanyaku beralih topik. "Aku capek."

"Kamu mau kita tinggal di kamar atas atau bawah?"

"Kita?" ulangku dengan nada sinis. "Sorry, tapi aku nggak bisa berbagi kamar denganmu," ungkapku terang-terangan.

"Kenapa? Kita sudah menikah, Ve." Aku bisa melihat kerutan tajam tercetak di kening laki-laki itu.

"Bukan aku yang menginginkan pernikahan ini, Rey. Tapi kedua orang tua kita, paham?"

Reynand terperangah mendengar ucapanku. Mungkin aku adalah wanita pertama yang menolak laki-laki sekaliber Reynand. Mantan pemain Timnas yang sempurna menurut versi Bianca. Dengan segenap kelebihan yang ia miliki, Reynand pasti sudah terbiasa mendapat perhatian lebih dari para gadis. Terutama penggemarnya.

"Oke, aku akan menempati kamar bawah kalau begitu," putusku sejurus kemudian. Aku tidak bisa menunggu laki-laki itu berpikir lebih lama lagi. Beberapa hari terakhir ini aku kurang tidur dan istirahat. Jadi, kupikir aku akan membayar lunas hutangku hari ini. Aku bisa tidur sepuasnya sampai esok hari.

"Aku nggak menyangka ternyata kamu orang yang keras kepala... "

Suara Reynand berhasil membuatku urung untuk melangkah menuju ke salah satu pintu yang kuyakini sebagai kamar tidur.

"Kenapa?" Aku tersenyum tipis setengah mengejek. "Kamu mulai menyesal sudah menikah denganku? Kita bisa membatalkan pernikahan kita sekarang juga... "

"Nggak," tukas laki-laki itu tegas. Bahkan sedetik yang lalu aku nyaris bersorak karena mengira ia akan menyetujui usulku untuk membatalkan pernikahan kami. Nyatanya perkiraanku salah besar. Zonk.

"Kenapa?" gumamku.

"Karena Mamaku menyukaimu," tandasnya seketika membuat kepalaku seperti berputar. "Kamu tahu, selama ini Mama nggak pernah menyetujui hubunganku dengan siapapun."

Aku menatapnya dengan bingung. Sebenarnya apa yang ingin diceritakan laki-laki itu padaku?

"Kalau begitu artinya kamu juga terpaksa menikah denganku, kan?" tanyaku setelah mencoba mencerna kalimat Reynand.

"Nggak juga," sahut laki-laki dengan tingkat kepercayaan setengah. "Aku menyukai pilihan Mama. Apa yang dipilihkan Mama pasti terbaik buatku."

Oh, ya, Tuhan...

Aku nyaris meledakkan tawa mendengar kalimat Reynand barusan. Jadi, kesimpulannya mantan pemain Timnas Indonesia yang konon terkenal di seluruh negeri ini--yang selain tampan, gagah, bertubuh tinggi besar, keturunan Turki entah generasi ke berapa, memiliki usaha restoran Korea--nyatanya hanya seorang anak Mama? Sekali lagi, anak mama! Aku menikah dengan anak mama. Menggelikan!

Aku merasakan sebuah firasat buruk akan menimpaku sebentar lagi. Ya, Reynand adalah seseorang yang berpotensi untuk menciptakan luka baru di dalam hatiku. Ia adalah laki-laki ke-enam yang akan menambah daftar panjang pertemuanku dengan orang-orang yang salah.

"Bagaimana jika kenyataannya pilihan Mamamu salah? Apa kamu menyesal?" pancingku dengan memicingkan kedua mata saat menatap laki-laki itu. "Siapa yang akan kamu salahkan? Mamamu atau aku?"

"Bukan aku yang harus menjawab pertanyaanmu itu. Tapi, kamu sendiri."

"Maksudnya?" Sumpah, laki-laki ini sangat menyebalkan. Dia berhasil membuatku bingung. Lagi.

"Kamu yang bisa menjawab pertanyaan itu, Ve. Kamu mau menjadikan dirimu pilihan yang benar atau salah. Semua tergantung padamu," ujarnya terdengar santai, tenang, dan tanpa beban. Padahal aku tadi bermaksud ingin menyudutkannya, tapi aku sendiri yang malah terpojok.

Aku menghela napas panjang. Kurasa aku tidak akan pernah menjawab pertanyaan gila itu.

"Aku mau istirahat," ucapku memutus perdebatan kecil kami. Aku mengambil alih koper milikku yang sejak tadi dipegang Reynand dan bergegas melangkah menuju ke ruangan yang kuyakini sebagai kamar tidur.

Menyebalkan!

Aku menghempaskan koper berisi pakaian-pakaianku begitu saja ke lantai usai membuka pintu kamar sebagai pelampiasan rasa kesal pada laki-laki itu. Lihat saja, dia tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa. Aku tidak akan pernah membiarkan hatiku tersakiti lagi untuk ke sekian kalinya.


***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top