#7
"Tante Ve!"
Teriakan kompak keluar dari mulut Hansel dan Farrel--putra kembar Bianca--begitu melihat aku turun dari mobil. Bahkan keduanya langsung berlarian menghambur ke arahku, hanya untuk berebut mencium tanganku. Ya, ampun, mereka sangat manis saat melakukannya, membuatku nyaris melupakan segenap kenakalan kedua bocah itu.
"Mama ada?" tanyaku setelah mereka selesai menyalami dan mencium tanganku.
"Ada, Tante." Hansel menyahut dengan tegas.
"Oke. Ini ada hadiah buat kalian. Hansel satu dan Farrel satu." Aku memberikan mereka masing-masing sebuah kotak berbalut kertas kado yang berisi robot-robotan. Mereka kembar dan jika ingin memberikan hadiah harus adil. Maksudnya benda dengan warna dan bentuk yang sama untuk mereka. Atau akan terjadi perang dunia di rumah Bianca.
"Terima kasih, Tante!" teriak keduanya girang. Hansel dan Farrel langsung berlarian ke teras setelah mengucapkan terima kasih.
"Hai," sambut Bianca hangat. Wanita itu sudah berdiri di depan pintu sesaat setelah kedua putra kembarnya meneriakkan namaku dengan segenap kekuatan yang mereka miliki. Dan tentu saja hal itu sampai ke telinga Bianca dan aku tidak perlu repot-repot memanggilnya. "tumben ke sini."
"Nggak boleh?" sahutku sewot. Aku sudah sampai di depannya dan tak sabar ingin menumpahkan seluruh beban yang mendera pikiranku.
"Bukannya nggak boleh, tapi mencurigakan," deliknya. "Baru gajian?" Wanita itu melirik Hansel dan Farrel yang duduk bersila di lantai teras, sibuk membuka kado yang kuberikan.
Aku menggeleng pelan. "Nggak. Tadi kebetulan lewat toko mainan sepulang dari kantor."
"Tapi, setiap kamu datang ke sini selalu membelikan mainan untuk mereka, Ve. Bukannya aku nggak suka, tapi kamu sudah mengeluarkan banyak uang hanya untuk membeli hadiah-hadiah itu," ujar Bianca seolah keberatan dengan apa yang kulakukan untuk kedua putra kembarnya.
"Sudahlah, Bi." Aku mengibaskan tangan kanan persis di depan wajah wanita itu, bermaksud untuk menyuruhnya diam. Dia bisa menceramahiku habis-habisan jika tidak dihentikan secepatnya. "Boleh aku masuk? Aku haus."
Bianca mengangguk pelan.
"Kopi susu?" tawar Bianca setelah aku berhasil menjatuhkan tubuh di atas sofa ruang tamu rumahnya.
"Boleh."
"Tunggu sebentar."
Bianca masuk dan beberapa menit kemudian muncul kembali dengan membawa sebuah cangkir di tangannya.
"Sekarang bilang ada apa," serbu wanita itu usai meletakkan cangkir untukku di atas meja dan duduk di sebelahku dengan santai. Meski hanya mengenakan selembar daster pink bermotif bunga-bunga, ia masih tetap cantik seperti biasa.
Aku menarik napas dalam-dalam. Apa kedatanganku benar-benar mencurigakan dimatanya?
"Aku sudah bilang kan, kalau aku dijodohkan," ucapku mengawali obrolan.
"Lalu?" sahutnya cepat seolah tidak sabar menunggu pemaparanku selanjutnya.
"Aku menolak, Bi. Coba kamu bayangkan, bagaimana aku bisa menjalani pernikahan tanpa cinta, hah?" Aku sedikit memutar badan hingga menghadap Bianca. Dengan posisi seperti ini aku bisa menunjukkan pada sahabatku itu jika masalah yang sedang kuhadapi sekarang sangat serius. Dan aku butuh pertolongannya. Setidaknya saran.
"Memangnya calon suami kamu sudah tua? Nggak, maksudku sudah berumur?"
Aku menggeleng kuat-kuat. Apa ia sedang berpikir jika aku duplikat Siti Nurbaya di zaman ini?
"Terus?" pancing Bianca dengan kening berkerut. Sepasang matanya mengisyaratkan sebuah ketertarikan pada kisahku.
"Umurnya 33 tahun."
"Lalu? Kalian sudah bertemu? Bagaimana tampangnya?" cecar wanita beranak dua itu.
"Lumayan. Dia mantan pemain Timnas."
"Oh ya? Siapa? Suamiku kan penggemar sepak bola."
"Reynand."
"Reynand?! Maksud kamu Reynand Harris pemilik nomor punggung 8 Timnas?"
Aku mendelik menatap Bianca. Wanita itu terlihat begitu antusias saat menyebut nama Reynand sekaligus menebak nomor punggungnya saat bergabung dengan Timnas. Bahkan aku sendiri belum tahu nama belakang Reynand.
"Mungkin," sahutku kemudian dengan mengedikkan kedua bahu. Aku tidak yakin jika Harris adalah nama belakang Reynand, tapi bisa saja Bianca benar.
"Ya, ampun, Ve!" Bianca menepuk pundakku cukup keras. "Benar kamu dijodohkan sama dia? Kamu nggak bohong kan?"
"Kapan aku pernah bohong sama kamu?"
"Nggak. Tapi ekspresi wajah kamu sama sekali nggak melukiskan kalau kamu sedang dijodohkan dengan bintang lapangan sekelas Reynand," ujarnya bermaksud menyindir.
"Mantan bintang lapangan," ralatku cepat.
"Iya, maksudku itu," sambar wanita itu seolah tidak mau disalahkan. "Bukannya dia tampan dan gagah, Ve?" Bianca menyunggingkan sebuah senyum misterius. Dan aku bersyukur suami Bianca sedang tidak mendengar percakapan kami.
"Bukannya suami kamu yang gila bola?" delikku melenceng dari topik pembicaraan. Aku heran kenapa Bianca bisa tahu bagaimana penampilan fisik Reynand, padahal suaminya yang penggemar sepak bola.
"Ketularan, Ve. Kamu seperti nggak tahu saja," selorohnya sewot. "Lalu apa masalahnya sampai kamu nggak mau dijodohin sama Reynand? Dia sempurna buat kamu, kan?"
Kembali ke topik semula.
"Apa penampilan fisik seseorang bisa menjamin kita akan bahagia kalau menikah dengannya?"
Bianca menatapku lurus. Sorot matanya seolah ingin menembus masuk ke dalam hati dan pikiranku. Mencari sesuatu yang selama ini tidak pernah terkatakan oleh bibirku.
"Tapi dia setuju ingin menikah denganmu, kan?" tanya Bianca sejurus kemudian.
"Ya."
"Lalu?" Kening Bianca berkerut sangat dalam. "Aku sama sekali nggak paham kenapa kamu nggak setuju dengan perjodohan itu, padahal calon suami kamu sempurna secara fisik. Kamu nggak tahu, di luar sana ribuan gadis-gadis bahkan mengantri meminta foto bareng sama Reynand, tapi kamu malah menolak menikah dengannya."
Aku melenguh pelan. Untuk sesaat aku mengabaikan Bianca dan menyesap kopi susu buatannya. Tenggorokanku perlu dibasahi agar percakapan ini bisa terus mengalir dengan lancar.
"Semalam kami bertengkar, Bi," ungkapku sesaat setelah meletakkan kembali cangkir kopi susu di atas meja. "Mami bahkan menampar Mas Aksa gara-gara aku." Mataku beralih menatap selembar karpet Persia yang tergelar di bawah kedua kakiku. Bayangan peristiwa itu kembali terlintas lagi di benakku.
"Ya, ampun, Ve," desis wanita itu menyayangkan apa yang telah terjadi semalam.
"Aku hanya takut terluka lagi, Bi," ucapku lirih setelah mengambil napas panjang. "Kamu tahu kan, laki-laki yang datang dalam hidupku semuanya brengsek. Mereka cuma singgah lalu pergi dengan meninggalkan luka. Aku sudah nggak punya hati untuk dilukai, Bi."
Wanita itu langsung menarikku dalam pelukannya. Bahkan sebelum mengeluarkan kata-kata, Bianca tahu bagaimana cara memperlakukanku. Dia adalah satu-satunya orang yang paling memahami perasaanku.
"Nggak semua laki-laki brengsek, Ve," tandas Bianca beberapa menit kemudian. Tangannya menepuk-nepuk pundakku secara teratur. "Di dunia ini pasti masih ada laki-laki baik yang tersisa buat kamu. Mungkin kamu belum menemukannya."
Aku tahu, batinku. Itu hanya kesialanku, bertemu dengan orang-orang yang salah. Dan aku tidak mau tertimpa kesialan yang sama.
"Lalu aku harus bagaimana?" Aku melepaskan pelukan Bianca lalu menatap wanita itu dalam-dalam.
"Kupikir kamu harus menerima perjodohan itu... "
"Apa karena dia Reynand, kamu menyuruhku menerima perjodohan itu?" tukasku cepat.
"Bukan." Bianca menggeleng cepat. "Kamu nggak mau Mami dan Mas Aksa bertengkar lagi, kan?"
Aku bergeming, namun dalam hati membenarkan ucapan Bianca.
"Aku pikir kamu nggak punya pilihan, Ve," ucap Bianca lagi sebelum aku sempat mengeluarkan pendapat.
"Apa? Jangan menakutiku, Bi." Aku mencekal lengan Bianca tanpa sadar.
"Aku nggak bermaksud menakutimu, Ve. Aku hanya melihat permasalahanmu dari sudut pandangku sendiri."
"Tapi aku nggak mau mengambil resiko, Bi... "
"Itu hanya sebuah ketakutan yang belum terjadi, Ve."
Aku menyandarkan punggung dan kepala ke sandaran sofa lalu menarik napas panjang. Kepalaku mulai berdenyut lagi. Secara halus Bianca mendukung Mas Aksa dan Mami.
"Kamu bisa memulai hidup yang baru bersama Reynand, Ve. Harus ada seseorang yang mengontrol kebiasaan buruk kamu... "
"Maksudmu?" Aku memelototkan kedua mata pada sahabatku itu. "Soal pemborosan lagi?" tebakku dengan nada kesal.
"Iya," jawabnya sembari terkekeh.
Oh, Tuhan...
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top