#5

"Jadi ini yang namanya Ve?"

Wanita itu, yang usianya sebaya Mami, namanya Tante Riska. Dia adalah mama Reynand, calon ibu mertuaku, dengan catatan jika pernikahan benar-benar terjadi diantara aku dan putranya. Tante Riska menempelkan pipinya padaku tanpa ragu, juga memeluk tubuhku seolah kami sangat akrab bahkan sebelum bertemu.

"Kamu cantik, Ve. Jauh lebih cantik dari fotonya," kekeh Tante Riska masih menggenggam kedua tanganku. Kedua matanya berbinar terang saat mengamati setiap lekuk di wajahku. Bahkan ia juga sempat melirik ke dada dan bagian tubuhku yang lain. Ya, Tuhan! Wanita di hadapanku ini sungguh keterlaluan.

Apa-apaan ini, batinku sembari melempar tatapan pada Mami. Jadi, Mami sudah merencanakan semuanya ini dari awal dan menyusunnya dengan sangat rapi? Bahkan ia juga memperlihatkan fotoku pada Tante Riska. Tanpa memberitahu atau meminta persetujuanku pula. Ini sama sekali tidak adil!

"Oh, ya. Kenalkan, ini Reynand putra Tante sama Om," ucap Tante Riska seolah baru saja sadar jika kedatangan keluarganya malam ini adalah untuk mempertemukanku dengan Reynand. Wanita itu melepaskan tanganku lalu menarik lengan seorang laki-laki di sampingnya.

Seorang laki-laki berpostur tinggi dan bertubuh atletis mengulurkan jabat tangannya kepadaku yang Tante Riska perkenalkan sebagai Reynand, putranya. Ya, Reynand yang konon adalah mantan pemain Timnas dan sekarang membuka usaha sendiri, restoran Korea tepatnya. Aku tidak peduli soal itu!

Tidak ada yang salah dengan fisik Reynand. Ia sempurna sebagai laki-laki. Tubuh atletis pasti banyak disukai kaum Hawa. Tampang yang lumayan. Hidung cukup mancung, sepasang mata tajam yang dipayungi alis tebal, bibir ideal--tidak terlalu tipis dan tidak terlalu tebal-- dan bulu-bulu kasar yang tumbuh di sekitar janggutnya. Mungkin nenek moyangnya berasal dari Timur Tengah atau sekitarnya. Entahlah.

"Reynand," ucap laki-laki itu saat jabat tangan kami bertemu. Tapi, aku segera menarik kembali tanganku tanpa menyebutkan nama. Toh, Tante Riska sudah menyebut namaku tadi. Aku tidak perlu mengulanginya lagi, kan? Aku sedang malas untuk berbasa-basi sekarang.

Kami beralih ke ruang tamu setelah perkenalan singkat itu dilakukan. Aku duduk diapit Mami dan Mas Aksa. Begitu juga dengan Reynand yang diapit kedua orang tuanya. Sementara Mbak Shella terpaksa absen dari acara ini karena sedang tidak enak badan. Ia harus banyak istirahat demi calon keponakanku yang masih ada dalam kandungannya.

"Sepertinya kalian akan menjadi pasangan yang serasi, ya kan, Pa?" Tante Riska menoleh ke arah suaminya. Wanita itu tanpa malu meminta persetujuan suaminya usai menutup pemaparan panjang mengenai Reynand. Tentu saja tentang semua kebaikan dan hal-hal positif yang dibawa Reynand ke dunia ini. Tentang kakek buyut Reynand yang masih keturunan Turki, masa kecilnya yang lucu imut dan menggemaskan, sepak bola yang ia geluti sampai akhirnya mengalami cedera dan berujung pada bisnis restoran Koreanya. Aku baru tahu jika Tante Riska seorang yang pandai bicara, terutama dalam hal pamer soal putra mahkotanya. Mungkin semua ibu di dunia ini juga sangat bangga dengan putra-putri mereka sehingga tanpa sadar terlalu berlebihan menyanjung buah hati mereka. Lalu apa yang dikatakan Mami pada mereka? Jangan-jangan Mami juga menceritakan hal-hal yang bersifat lebay tentang diriku pada mereka demi memuluskan rencana perjodohan ini.

"Ya, Mama benar. Tapi kan semuanya tergantung pada Reynand, Ma. Kita sebagai orang tua hanya bisa merestui. Benar kan?" Suami Tante Riska terkekeh seraya menatap ke arah Mami dan Mas Aksa.

Laki-laki bernama Reynand itu hanya mengulum senyum tipis di bibirnya. Entahlah, sayangnya aku bukan orang yang pandai membaca bahasa tubuh seseorang. Tapi jauh di lubuk hatiku yang paling dalam, aku berdoa agar perjodohan ini batal. Semoga Reynand tidak menyetujui rencana konyol kedua orang tuanya. Melihat dari tampangnya, harusnya Reynand bukanlah orang yang bodoh. Dan orang yang bisa berpikir mestinya menolak perjodohan yang sudah tidak relevan lagi dengan zaman semodern sekarang. Bagaimana bisa dua orang yang baru sekali bertemu menikah? Sementara diluar sana banyak yang menjalin hubungan bertahun-tahun akhirnya kandas tanpa pernah menyentuh bangku pelaminan. Apa ia ingin menambah tingkat perceraian di negeri ini?

"Benar, Pa," sahut Tante Riska dengan sepasang mata berbinar. "Kenapa nggak tanya langsung sama Reynand saja?" usul wanita itu nyaris membuatku menjerit histeris.

"Mas." Suaraku tersendat di tenggorokan. Aku hanya bisa menatap Mas Aksa dengan tatapan memohon. Tapi, laki-laki itu malah mencekal pergelangan tanganku seolah takut aku akan kabur dari tempat dudukku. 

"Bagaimana Rey?" Tante Riska bertanya pada Reynand yang sedari tadi diam. "kamu mau menikah dengan Ve?"

Ya, ampun. Tiba-tiba saja jantungku berdegup kencang. Apa yang akan dikatakan Reynand?

"Rey mau, Ma."

Dan duniaku serasa runtuh seketika begitu jawaban Reynand meluncur dengan penuh percaya diri. Bagaimana bisa ia setuju untuk menikah denganku sementara kami baru pertama kali bertemu? Bahkan kami belum sempat berbicara satu sama lain tadi. Apa ia percaya jika aku adalah tulang rusuknya yang hilang? Sumpah, aku ingin pingsan saat ini juga!

"Rey ini sudah nggak mau lagi pacaran, Mbak April," ucap Tante Riska pada Mami setelah merasa puas mendengar jawaban putranya. "Umurnya sudah 33 tahun, sudah ketuaan untuk pacaran," imbuhnya dengan terkekeh.

"Iya, Mbak Ris. Ve juga sudah lebih dari cukup umur untuk menikah," sambung Mama.

"Lebih enak pacaran setelah menikah, Rey." Mas Aksa menimpal seraya melempar tatapan menggoda ke arah Reynand.

Lalu bagaimana denganku? Kenapa mereka tidak menanyakan kesediaanku? Ini sama sekali tidak adil! Bukankah aku adalah pemeran utama dalam perjodohan ini? Pendapatku sangat penting, kan? Tapi, sayangnya kehadiranku sama sekali tidak dihargai! Aku seperti boneka dan bisa dimainkan sesuka hati mereka. Termasuk Mas Aksa. Mami juga.

Mas Aksa lebih mempererat cekalan tangannya ketika aku berusaha memberontak dan menghunjamnya dengan pelototan penuh amarah. Laki-laki itu sudah mengantisipasi segala kemungkinan buruk yang mungkin bisa terjadi. Salah satunya adalah aku bangkit dari tempat dudukku dan melarikan diri sebagai pemberontak sejati. 

"Kalau begitu saya akan mencari hari baik... "

Hari baik? Sintingkah mereka? Ini adalah pertemuan pertama kami dan Papa Reynand sudah membicarakan hari baik. Apa ini tidak terlalu cepat? Lalu bagaimana dengan perasaanku? Kenapa aku merasa sama sekali tidak dihargai disini?

Agh. Kepalaku mendadak berdenyut keras ketika mendengar gelak tawa mereka yang menggema begitu keras di segenap penjuru ruang tamu rumahku. Obrolan demi demi obrolan yang terus berlanjut hanya mampir di lubang telingaku lalu keluar lagi tanpa diproses otakku. Aku merasa menjadi orang paling bodoh di dunia ini. Sungguh!

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top