#38

Bagus! Sekarang kami berdua benar-benar terjebak di dalam kamar atas prakarsa Mami.

Aku melipat kedua lengan di depan dada dan menyandarkan punggung ke daun pintu yang tertutup rapat, mengawasi gerak gerik Reynand yang tengah sibuk mengamati isi kamarku. Koleksi boneka yang berjajar rapi di dalam rak adalah hal pertama yang mengundang perhatian laki-laki itu. Ia bahkan sempat menoleh ke arahku hanya untuk memamerkan kernyit di dahinya. Dari tatapan matanya aku bisa menangkap sebaris pertanyaan, Semua boneka ini bernama Keroppi kan, Ve?

"Kenapa kamu ke sini? Aku nggak menyuruhmu untuk datang, kan?" tegurku untuk mengundang perhatian Reynand sebelum ia terlanjur sibuk mengamati koleksi sepatu dan tas milikku yang tertata rapi di dalam lemari kaca di sebelah rak boneka. Semenjak menikah dengan Reynand, Mas Aksa mengosongkan apartemenku dan mengangkut semua barang-barangku ke rumah. Rencananya apartemen itu akan dijual meski aku sempat mengajukan keberatan. Tapi, aku memang sama sekali tidak punya hak atas apartemen itu. Jadi, percuma mengajukan protes pada Mas Aksa. Ia tetap akan menjual properti itu.

"Memang, kamu nggak menyuruhku datang. Tapi, aku ingin datang ke sini. Aku masih menantu Mami, Ve. Kamu belum lupa, kan?" Reynand memutar punggung dan berdiri menatapku.

"Kamu sudah lupa apa yang kamu lakukan padaku semalam?" sindirku sengaja ingin mengungkit peristiwa semalam. Semoga saja ia tidak lupa kalau ia menyuruhku pergi dari hadapannya tadi malam.

"Jadi, kamu marah karena kejadian semalam?" Reynand mengulum senyum tipis. "Karena itu juga kamu sengaja nggak makan sarapanmu?"

Aku mendengus sebal. Sebenarnya siapa yang berhak untuk marah? Kenapa ia bersikap seolah-olah aku yang marah duluan?

"Aku sudah minta maaf kan semalam? Lagipula kemarin malam kamu juga pulang terlambat tanpa kabar. Dan aku nggak protes, kan?" delikku tajam. "Tapi kamu sendiri marah saat aku pulang terlambat. Ini nggak adil buatku, Rey."

"Aku ingin memberitahumu kalau aku akan pulang terlambat, Ve. Tapi nggak jadi. Karena aku tahu kamu nggak suka sepak bola, makanya aku sengaja nggak ngasih kabar. Kamu juga nggak telepon, kan?" balasnya seolah tidak mau mengaku salah.

"Kalau begitu, harusnya kamu juga nggak menelepon kalau aku belum pulang, dong."

"Aku menelepon karena mencemaskanmu, Ve. Apalagi saat kamu nggak mengangkat panggilanku, aku hampir mati karena cemas, tahu nggak?" Intonasi suara Reynand meningkat di ujung kalimatnya.

"Aku bukan anak kecil yang mesti dicemaskan sebegitunya, Rey."

"Aku tahu." Reynand menukas kalimatku dengan cepat. "Harusnya aku nggak secemas itu. Tapi sayangnya aku nggak bisa. Aku sayang kamu, Ve."

"Kalau kamu sayang padaku, kenapa kamu mengusirku semalam? Bukannya aku sudah minta maaf?"

"Aku nggak mengusirmu. Aku cuma menyuruhmu pergi dari kamarku karena aku mau istirahat. Jelas?"

Aku tersenyum pahit. Oh, jadi ia lebih keras kepala ketimbang aku? Dan juga tidak mau dipersalahkan.

"Oke. Kalau begitu anggap saja kita impas dan masalah kemarin selesai. Bisa kita pulang ke rumah sekarang?" Aku memutuskan mengakhiri perdebatan ini sebelum Mami atau Mas Aksa mendengar suara kami.

"Bukannya kita akan menginap di sini? Lagipula di luar sedang hujan, Ve. Kamu nggak dengar?" Reynand mengukir senyum menyebalkan di bibirnya.

Ya, ampun. Reynand benar. Kenapa aku bisa tidak menyadarinya?

"Tapi kita nggak bisa...."

"Kenapa nggak bisa?" tukas Reynand cepat. Padahal aku belum menuntaskan kalimatku.

"Kalau begitu aku akan pulang sendiri," putusku tanpa menimbang terlebih dulu.

"Pulang saja sendiri kalau kamu ingin Mami curiga."

Sial. Aku bergeming mendengar ucapan Reynand. Aku sudah terlanjur memutar tubuh, tapi tanganku tak mampu untuk membuka pintu.

Sungguh, bukan seperti ini yang kuinginkan. Meski aku menyukai Reynand--mungkin dalam porsi sedikit--tapi aku tidak menginginkan jalan cerita seperti ini.

"Aku sudah bilang akan menunggumu."

Suara Reynand terdengar mengusik kebisuanku. Laki-laki itu menyentuh pundakku dan memaksaku memutar badan sehingga kami berhadapan.

"Aku nggak akan memaksa kalau kamu nggak suka, Ve," tandas Reynand sejurus kemudian. "Kalau aku mau, aku sudah melakukannya sejak kita menikah. Tapi aku lebih memilih menunggu sampai kamu siap."

Aku merundukkan pandangan ketika Reynand menatap wajahku tanpa berkedip. Kami begitu dekat, hanya terpisahkan jarak satu jengkal saja. Dan seperti kata Bianca, laki-laki itu bisa bertransformasi menjadi singa dan siap menerkamku kapan saja.

"Sekarang katakan, sampai kapan aku harus menunggu?" Laki-laki itu menyentuh daguku. "Tatap aku, Ve."

Aku tidak mau! Menatap mata Reynand bisa membuatku jatuh terhipnotis dalam pesona ketampanannya. Aku tidak mau terlihat segampang itu takluk di hadapannya! Aku bahkan belum lupa kalimat yang pernah kudengungkan di telinganya. Bukan aku yang menginginkan pernikahan ini, Rey.

"Kamu nggak percaya sama aku?" Reynand mengunci pergerakan bola mataku dengan tatapan matanya. Laki-laki itu membuatku tersudut dan tidak ada jalan bagiku untuk menghindar.

"Bukan begitu, Rey...."

"Lalu?"

Oh, Tuhan. Jangan menatapku seperti itu, Rey!

"Aku...." Bibirku terasa kelu. Rasanya aku tidak punya pilihan kata untuk disusun menjadi sebuah kalimat padu di dalam kepalaku.

"Aku tahu kamu pernah terluka," sahut Reynand membuatku tersentak. Sebelumnya aku tidak pernah bercerita apapun tentang masa laluku pada laki-laki itu. Mungkin seseorang sudah memberitahunya. Bukankah ia dekat dengan Mas Aksa? "Semua orang juga pernah terluka, Ve. Tapi aku datang untuk mengobati luka hatimu. Boleh, kan?"

Aku menatap sepasang mata Reynand dalam-dalam. Aku tahu benar tatapan matanya tulus dan ada seberkas cinta yang ia tawarkan di sana. Dan mustahil bagiku mengelak dari jatuh cinta padanya.

"Aku suka kamu, Ve," lanjut Reynand di tengah keheningan yang tercipta diantara kami. Hanya suara rintik hujan yang terdengar mengalun di luar sana. "Meski kamu keras kepala dan sering bicara nyinyir, tapi aku tetap suka padamu. Dan aku senang saat tahu kamu cemas banget waktu aku sakit. Kupikir kamu nggak pernah peduli dan menganggap aku nggak pernah ada. Tapi sekarang aku yakin, aku punya tempat di hati kamu." Ia tersenyum manis dan luluhlah segenap ego yang bersarang di dalam kepalaku.

"Kenapa kamu seyakin itu?" Aku mengulas senyum. Reynand punya tingkat kepercayaan diri yang sangat tinggi.

Tapi, laki-laki itu malah mengembangkan tawa renyah dan menyentil ujung hidungku.

"Kamu harus banyak-banyak tersenyum seperti ini, Ve. Agar orang tahu kalau kamu punya sepasang lesung pipi yang cantik," ucapnya seraya mengerling manja.

Aku mencibir mendengar rayuan gombalnya.

"Nggak lucu," cetusku.

"Tapi aku senang bisa membuatmu tersenyum seperti ini. Selama ini aku nggak pernah melihat kamu tersenyum...."

"Siapa bilang aku nggak pernah tersenyum? Bianca sering melihatku tersenyum, kok," sahutku sengit.

"Tapi aku bukan Bianca, Ve."

"Aku tahu. Kalau kamu Bianca aku nggak akan menikah denganmu, Rey."

Reynand meledakkan tawa keras. "Aku paling suka kalau berdebat denganmu seperti ini," tandasnya membuatku mengerutkan kening.

"Mana ada orang yang suka berdebat, Rey? Menguras energi, tahu nggak?"

"Ya, memang. Tapi kamu tambah cantik kalau sedang bawel."

"Rey!" Tanganku mengayun ke dada Reynand, tapi sebelum rencanaku tercapai, laki-laki itu sudah mencekal lenganku. Ya, ampun! Kenapa dadaku tiba-tiba berdegup kencang?

"Kamu belum menjawab pertanyaanku, Ve."

"Pertanyaan yang mana?" tanyaku bingung. Aku mencoba mengingat, tapi tak berhasil menemukan apa-apa.

"Sampai kapan aku harus menunggu?" Reynand mengulangi kembali pertanyaannya. "Aku ingin jawaban, bukan perdebatan." Raut wajah laki-laki itu berubah sangat serius.

Apa pertanyaan ini harus kujawab sekarang? batinku gamang. Apa ada pilihan jawaban? Sementara Reynand terus menatapku dan penantiannya menciptakan secercah perasaan bersalah dalam hatiku.

Aku menyukaimu, Rey. Tapi, entah kenapa bibirku terlalu sulit untuk mengatakannya....

***




Buat yang penasaran sama kisah Rey-Ve, bisa beli ebook novel ini di Playstore.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top