#37
"Habis makan kamu harus segera pulang, Ve. Kasihan Reynand sendirian di rumah," ucap Mami yang sesekali melirik ke arahku dan piring di depannya.
Obrolan di meja makan memang sudah berganti topik, tapi suasananya masih tetap sama seperti beberapa waktu lalu. Membuatku merasa risih dan ingin segera hengkang dari kursi. Padahal aku baru saja menyuap, tapi Mami sudah ingin mengusirku dari rumah. Sebenarnya aku anak Mami atau bukan?
"Ya, Mi," sahutku tanpa menatap ke arah Mami. Rasanya isi piringku lebih menarik untuk ditekuri ketimbang memperpanjang obrolan soal laki-laki itu. Eh, tapi sejak tadi aku belum menjenguk ponsel. Apa kabar ponselku? Apa Reynand sudah membalas pesanku? Pasti tidak!
"Oh, Rey!"
Teriakan Mas Aksa spontan membuatku harus mengalihkan tatapan dari atas piring yang berisi campuran berbagai macam sayur.
Ajaib! Mulutku ternganga dan seluruh persendianku menjadi kaku saat tatap mataku menubruk sosok Reynand yang tampak sedang berjalan santai ke arah meja makan dengan memamerkan senyum manis seolah baru saja jatuh dari plafon. Langkahnya terasa ringan dengan tangan kanan masuk ke dalam saku celana.
"Panjang umur kamu, Rey. Kami baru saja membicarakan kamu," sambut Mami dengan senyum semringah saat Reynand mendekat, menyalami, dan mencium punggung tangannya.
"Oh, ya?" Reynand melebarkan senyum bangga dengan menatap semua orang, kecuali AKU!
"Duduk, Rey," suruh Mas Aksa tanpa basa-basi. Tentu saja Mas Aksa tampak senang karena bertemu dengan makhluk yang notabene satu spesies dengan dirinya. Karena sebagian besar penghuni rumah ini berjenis kelamin wanita.
Reynand langsung menggeser kursi kosong di dekatku tanpa sungkan.
"Ambilkan piring untuk suamimu, Ve," perintah Mami ketika aku belum sepenuhnya bisa menerima kenyataan jika Reynand sudah duduk di sebelahku.
"Tolong, Sayang."
Ya, ampun! Ya, ampun! Apa itu tadi? Laki-laki menyebalkan itu memanggilku sayang? Apa saat dalam perjalanan ke sini tadi ia mengalami kecelakaan? Kepalanya terbentur sesuatu misalnya, sampai-sampai menyebabkan Reynand gegar otak berat dan membuatnya jadi aneh seperti itu? Tapi, ia tampak baik-baik saja. Bahkan tak ada segores luka kecil di tubuhnya.
Aku mencebik kesal, tapi apa boleh buat. Aku tidak punya pilihan lain kecuali harus mengangkat pantat dari kursi dan menunda makan malamku sejenak guna mengambilkan piring kosong untuk laki-laki menyebalkan yang sudah berani memanggilku dengan sebutan 'sayang' itu. Mungkin ia sudah lupa kalau semalam ia sudah mengusirku dari depan pintu kamarnya. Bahkan permintaan maafku diabaikan olehnya begitu saja!
"Ambil piring kok lama banget, Ve?" tegur Mami ketika aku kembali dan meletakkan sebuah piring kosong di depan Reynand. "Ambilkan nasinya sekalian, dong," perintah Mami kemudian. Melengkapi kekesalanku.
Reynand melempar senyum tipis ke arahku. Ya, dan aku melihat kepalanya mulai membengkak!
Aku menghela napas dalam-dalam dan melaksanakan perintah Mami. Sabar, Ve.
"Tadi Mami menyuruh Ve supaya pulang setelah makan. Tapi, nggak tahunya kamu menyusul," ungkap Mami saat aku sibuk menyenduk nasi ke atas piring Reynand. "Mami kasihan kalau kamu sendirian di rumah."
Aku melirik sebal ke arah Mami. Kenapa ia merasa kasihan pada Reynand dan bukan padaku? Sejak kapan ia lebih mencemaskan menantu daripada anaknya sendiri?
"Sendirian beberapa jam kan nggak apa-apa, Mi. Memangnya Rey anak kecil?" celutukku ketus.
"Hush. Kamu ini sama suami sendiri kok tega," gerutu Mami dengan menatap sewot ke arahku.
"Nggak kok, Mi." Reynand menyahut dengan cepat. Dan ia sudah berhasil menarik perhatianku. "Ve khawatir banget waktu aku sakit, Mi."
Kedua mataku langsung melebar mendengar pengakuan Reynand. Aku tidak secemas itu, Rey! Tapi, sayangnya teriakan itu hanya bergema dalam hati. Bibirku tetap dalam mode silent.
"Oh, ya?" Sepasang mata Mami tampak berbinar ketika menatapku. "Memangnya kamu sakit apa, Rey? Kok Mami nggak dikabari?" Mami kembali menatap Reynand.
"Cuma masuk angin. Dua hari juga sembuh, Mi."
"Oh, syukurlah kalau begitu."
Drama antara mertua dan menantu. Menyebalkan!
"Kalian menginap saja di sini," ucap Mami tiba-tiba. "Sejak menikah kalian kan belum pernah tidur di sini."
Ugh. Aku hampir memuntahkan makanan yang sedang kukunyah mendengar saran Mami. Menginap? batinku. Itu ide terburuk yang pernah kudengar selain perjodohanku dengan Reynand!
"Boleh." Reynand menyahut dengan cepat dan aku terpaksa harus menendang kakinya. "Kita menginap di sini saja, Sayang," cengirnya seraya menatapku. Laki-laki itu mengerling.
Sial. Sekali lagi ia membodohiku dengan panggilan 'sayang'. Ia mau bersandiwara di depan keluargaku? Curang!
"Sepertinya itu ide buruk," timpalku dengan mengulas senyum pahit. "Kamu nggak bawa baju ganti kan, Rey? Nggak mungkin kamu mau tidur pakai celana jeans itu, kan?" sindirku sembari melirik laki-laki di sebelahku.
"Nggak masalah. Rey bisa pakai baju Mas. Nanti biar Shella yang ambilkan," sahut Mas Aksa menawarkan jasa sambil melirik Mbak Shella yang sejak tadi membisu di sebelahnya.
Aku melotot ke arah Mas Aksa. Yang benar saja. Tiba-tiba aku merasa seluruh dunia ingin menyudutkanku.
"Makasih, Mas."
Aku kembali menyuap meski selera makanku sudah lenyap. Berdebatpun tidak ada gunanya. Aku adalah pihak tak berdaya di ruang makan ini.
"Bagaimana restoranmu, Rey? Ramai?" Mas Aksa mencari topik lain untuk dibahas.
"Lumayan. Mas Aksa kapan mau ke sana?"
"Kapan-kapan saja, Rey. Kalau ada waktu."
"Mami juga sekalian diajak, Mas," tukas Reynand.
"Boleh."
Apa kita bisa membahas soal lain? batinku kesal. Aku meneguk air minumku sampai tak bersisa usai menandaskan isi piringku. Aku butuh energi lebih untuk berdebat dengan laki-laki menyebalkan itu setelah makan malam ini selesai.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top