#33

"Thanks."

Aku menegakkan kepala dan sendok di dalam genggamanku terangkat pelan. Kedua mata Reynand terlihat tulus saat mengatakan kata itu.

"Untuk?"

"Untuk mencemaskan aku kemarin." Reynand menyandarkan punggungnya dan terlihat enggan untuk menyentuh omurice buatannya sendiri.

"Aku nggak secemas itu, Rey. Nggak usah berterima kasih," tandasku datar. Aku kembali menyuap demi mengatasi rasa gugup yang mulai merebak di wajahku.

"Benarkah?" Laki-laki itu mengembangkan senyum tipis. "Tapi Bik Ma bilang kamu meneleponnya tiap jam sekali dan semalam... "

"Semalam aku ketiduran," potongku cepat sebelum Reynand menyebutkan jadwal kegiatan konyol yang kulakukan kemarin. "Aku cuma berjaga di sana kalau-kalau kamu terbangun dan butuh sesuatu. Naik turun tangga nggak bagus buat orang sakit, kan?"

"Apa harga dirimu terlalu tinggi sampai-sampai kamu nggak mau bilang kalau kamu memang mencemaskan keadaanku?" Reynand menjauhkan punggungnya dari sandaran kursi. Laki-laki itu memicingkan mata saat mencermati setiap pergerakan bola mataku yang bergerak gelisah.

"Kurasa omurice ini kebanyakan garam," gumamku asal. Menanggapi pertanyaan Reynand sama saja dengan bunuh diri. Bagaimana tidak, dulu aku yang selalu menggembar-gemborkan ketidaksukaanku pada pernikahan kami. Aku selalu mengatakan pada dunia kalau bukan aku yang menginginkan pernikahan ini, tapi keluarga besar kami. Dan sekarang, apa aku harus membunuh tunas-tunas cinta yang mulai tumbuh di dalam taman hatiku. Ini sulit, guys.

Reynand mengerutkan kening mendengar ucapanku. "Masa sih?"

Aku hanya mengedikkan bahu dan terus menyuap.

"Nggak kok, Ve. Ini enak," ucap Reynand usai berhasil mencicipi omurice buatannya yang memang enak. Bumbunya pas dan tidak ada yang kurang atau lebih. Mulutku saja yang lebay.

"Mungkin garamnya nggak tercampur rata," timpalku tanpa menatap ekspresi laki-laki itu. Semoga ia tidak merasa sedang kukerjai. Tapi, laki-laki itu berhasil membuatku melongo dalam sekejap. Tanpa aba-aba terlebih dulu, piring kami sudah tertukar hanya dalam hitungan detik.

"Kamu makan punyaku saja. Itu enak, kok. Nggak ada garam yang nggak tercampur rata," ucapnya dengan nada kalem. Tapi, bagiku itu sebuah sindiran pedas. Aku lupa kalau laki-laki bodoh itu tidak sebodoh yang kukira.

Aku melenguh kesal. Padahal aku hampir menandaskan isi piringku tadi dan sekarang harus dihadapkan seporsi omurice yang nyaris utuh. Reynand hanya mencicipi satu suap saja. Senjata makan tuan. Lagi! Sial!

"Tadi bangun jam berapa?" tanyaku hati-hati. Beberapa menit terjebak dalam kebisuan di meja makan seperti ini membuat pikiranku kembali me-review kejadian semalam. Setidaknya aku harus mencari tahu apa saja yang ia lakukan tadi malam. Pasalnya aku sama sekali tidak berhasil mengingat apapun karena terlalu pulas tidur. Harusnya kalau ia menciumku, ada sensasi rasa yang tertinggal di bibirku bukan?

"Jam 5. Kenapa?" sahut Reynand tampak santai. Ia menyuap sisa omurice milikku ke dalam mulutnya.

"Kenapa nggak membangunkan aku?" cecarku.

Kepala Reynand menggeleng cepat. "Kamu kelihatan cantik saat tidur, Ve. Jadi, aku nggak tega membangunkanmu," ucapnya.

Oh, manis sekali. Tapi, perutku mendadak mual mendengar kata-kata gombal semacam itu.

"Tapi kamu nggak menciumku saat tidur, kan?" Aku memelototkan mata dan memasang tampang galak padanya. Sungguh, pertanyaan ini terus berputar di dalam kepalaku semenjak membuka mata tadi pagi.

"Apa?" Wajah Reynand langsung berubah dari terlihat datar-datar saja menjadi kemerahan dan lumayan terkejut. Kedua matanya sempat membulat dalam beberapa hitungan. "Mencium kamu? Ada-ada saja." Ia mengurai senyum kaku.

"Benarkah?" delikku masih belum percaya. Ekspresi wajah Reynand terlihat meragukan dan memang tidak ada bukti kalau ia tidak menciumku saat tidur.

"Kenapa tiba-tiba kamu membahas soal itu?" Reynand meletakkan sendoknya terlebih dulu karena omurice di dalam piringnya sudah tandas lalu meneguk air putih di dalam gelas. Padahal setiap pagi ia selalu menyuguhiku susu untuk tulang, tapi dia sendiri malah minum air putih. Ini sama sekali tidak adil bukan?

"Karena nggak ada yang menjamin kamu nggak melakukan sesuatu padaku saat aku tidur, Rey."

"Memangnya aneh kalau aku melakukan sesuatu padamu bahkan saat tidur sekalipun? Aku laki-laki dan kamu adalah istriku, jadi aku berhak atas dirimu, kan?"

Tepat! Reynand sudah mendorongku masuk dalam perangkap yang sudah kugali sendiri.

"Tapi, aku nggak suka kamu menciumku diam-diam seperti itu, Rey!"

Ups! Bibirku keceplosan.

Reynand terperangah mendengar kalimatku. "Me.. mencium kamu diam-diam?" ulangnya dengan terputus-putus.

Ah, Ya Tuhan... Haruskah aku membahas hal memalukan itu?

"Ya. Dua kali, Rey. Kamu menciumku saat aku tidur. Kamu sudah lupa?" Aku merasakan hangat menjalari kedua pipiku.

"Jadi kamu tahu kalau... " Reynand sengaja tak menyambung kalimatnya. "Tapi kenapa kamu pura-pura tidur kalau tahu aku menciummu? Berarti kamu suka kucium seperti itu?" Laki-laki itu mendekatkan wajahnya padaku dan memamerkan senyum jail. Membuatku kehilangan selera makan. Degup jantungku juga meningkat secara signifikan.

"Suka apanya?" debatku dengan susah payah menahan malu. "Kalau aku bangun saat kamu menciumku, memangnya kamu nggak malu?"

"Kalau kamu ingin tahu aku malu atau nggak, kenapa kamu nggak membuka mata waktu itu?" Laki-laki itu menatapku tanpa berkedip. Membuatku terpaksa harus menatap ke arah lain karena jarak yang terlalu dekat seperti ini membuatku gerah. Sepertinya aku perlu mandi lagi setelah ini.

"Ayolah, Rey. Kamu tahu kan, siapa yang menjadi pecundang di saat-saat seperti itu?" Aku menyunggingkan senyum mengejek. "Tentu saja bukan aku pecundangnya, kan?"

"Bukannya kamu senang menjadikan aku sebagai pecundang? Lalu kenapa kamu nggak melakukannya saat itu?"

Aku memutar bola mata. Peperangan dimulai, batinku.

"Atau jangan-jangan kamu memang menikmatinya?" sentak Reynand sebelum aku berhasil membuka mulut.

"Apa?" Aku nyaris melompat dari kursiku karena kaget. Bagaimana aku bisa menikmati ciuman... Ah, ya. Mungkin aku tidak bisa melupakan betapa lembutnya bibir Reynand, tapi sudahlah. Lupakan bagian itu.

"Wajahmu merah, Ve." Laki-laki itu tertawa cukup keras. Ia merasa di atas angin sekarang.

Aku meneguk susu cokelatku yang sudah berubah menjadi dingin dan memutuskan untuk segera hengkang dari tempat dudukku. Siapa juga yang mau dipecundangi Reynand?

"Aku harus pergi sekarang," ucapku setelah gelasku kosong. Aku bisa terlambat jika terus melayaninya berdebat.

"Sorry."

Aku urung mengangkat pantat dari atas kursi mendengar satu kata yang dilempar Reynand barusan. Maaf? Untuk apa?

"Kalau kamu nggak suka aku menciummu seperti waktu itu, aku janji nggak akan mengulanginya lagi," janji Reynand menjawab pertanyaan yang tersirat di keningku.

"Nggak akan ada yang percaya pada janji seperti itu, Rey," ucapku. Tiba-tiba saja ucapan Reynand mengingatkanku pada Galih. Janji seorang laki-laki tidak pernah bisa dipegang. Mereka mudah berjanji, tapi juga mudah mengingkari. "Aku harus pergi sekarang atau Om Dirga akan marah karena aku terlambat."

Aku tergesa pergi meninggalkan ruang makan dengan hati campur aduk. Di satu pihak, aku merasa jatuh hati pada laki-laki itu. Tapi, di pihak lain masih tersimpan secuil ketakutan dalam hatiku.

Help me, Bi.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top