#32

Aku menaikkan kaki dan menekuk lutut di atas sofa panjang yang menghuni salah satu sudut kamar Reynand sebagai upaya antisipasi terhadap hawa dingin meski di bawah kakiku selembar karpet tebal tergelar. Kedua kaki telanjangku tidak suka kedinginan dan lebih nyaman berada di atas sofa empuk milik Reynand.

Sofa itu berada persis di seberang tempat tidur Reynand, jadi dari sini aku bisa menatap wajah yang tertidur dengan pulas itu tanpa terhalang oleh apapun. Saat Reynand membuka mata nanti, hal yang pertama kali akan dilihatnya adalah aku yang sedang duduk bersandar dengan kedua kaki naik ke atas sofa. Laki-laki itu bisa saja mendebatku habis-habisan saat tahu aku sudah bertingkah tidak sopan di atas sofa empuk miliknya. Tapi, aku tak peduli. Aku terlanjur nyaman dengan posisi ini.

Ah, tapi kenapa seharian ini aku bisa bertingkah konyol? Siang tadi aku menelepon Bik Ma berkali-kali hanya untuk mengetahui perkembangan kondisi Reynand, sekadar mengecek jadwal makan bubur dan minum obat laki-laki itu. Padahal ia hanya masuk angin dan beberapa menit yang lalu aku sudah memastikan jika suhu tubuh Reynand normal. Seperti yang orang lain lakukan, aku juga menggunakan telapak tangan sebagai termometer manual meski hasilnya tidak akurat sama sekali. Aku hanya membandingkan suhu tubuhku sendiri dan Reynand. Andai saja Reynand sedang terjaga, aku bersumpah tidak akan melakukan hal itu padanya tadi.

Dan satu hal penting yang baru saja melintas di dalam kepalaku adalah sepertinya karma benar-benar sudah menimpaku. Mungkin saja ini bukan karma, tapi bagaimana mungkin aku bisa mengakui jika aku mulai menyukai laki-laki itu? Yeah, ini memang terdengar konyol, tapi setengah hatiku membenarkan kalau aku memang menyukai Reynand meski separuh hatiku yang lain menentang dengan keras.

Setelah penolakan besar-besaran yang pernah kulakukan atas perjodohan kami, juga perdebatan sengit antara aku dan Mas Aksa, bahkan aku masih ingat betul bagian peristiwa dimana Mami menampar pipi Mas Aksa. Lalu sekarang aku benar-benar terjebak dalam pesona laki-laki menyebalkan itu setelah semua yang terjadi. Ini sialan, kan? Di mana aku harus meletakkan wajahku saat bertemu Mami atau Mas Aksa nanti?

Tebakan Bianca benar. Wanita itu pasti akan menodongku traktiran di Solaria jika tahu aku benar-benar sudah jatuh cinta pada Reynand persis seperti yang pernah ia ucapkan beberapa waktu lalu saat kami berbelanja di mal. Dan kemeja flanel itu... Uh, aku masih belum punya nyali untuk memberikan benda itu pada Reynand. Oke, mungkin aku harus mencari momen yang tepat untuk memberikan kemeja itu pada Reynand. Aku bisa mencari tahu kapan hari ulang tahunnya nanti.

Nyatanya konyol dan bodoh sama sekali tidak ada bedanya. Dan kebodohan yang sedang kuratapi mengundang rasa kantuk datang menghampiri kedua mataku. Peri mimpi sepertinya sedang menguraikan seulas senyum manis seraya mengulurkan sepasang tangannya padaku. Dan aku tidak akan membiarkannya lebih lama menunggu.

Mimpiku indah malam ini. Ada taburan bunga warna-warni, kupu-kupu beterbangan ke sana kemari, dan Reynand. Tapi, kenapa ada laki-laki itu dalam mimpiku? Siapa yang menyuruhnya untuk datang? Sebelum ini aku sama sekali tidak pernah mengizinkan siapapun mengusik mimpi indahku. Bahkan Reynand sekalipun.

Aku terjaga ketika mimpi indahku telah berakhir. Tidurku juga sudah berdurasi sepanjang malam. Tapi, ketika membuka mata, aku mendapati pemandangan aneh terbentang di hadapanku. Selembar poster klub Timnas menumbuk pandanganku. Lalu apa ini?

Ya, Tuhan!

Sayangnya jeritanku tersendat di tenggorokan. Aku baru sadar jika saat ini aku sedang berada di atas tempat tidur Reynand dengan sehelai selimut merah Manchester United menutupi tubuhku. Bagaimana aku bisa tidur dengan pulas dengan selimut menyebalkan itu? Dan ke mana Reynand? Harusnya ia ada di sebelahku, tapi hanya bantal kosong yang kutemui di sana.

Aku menepuk jidatku sendiri. Meski hal itu tidak bisa mengenyahkan kebodohan dari kepalaku, tetap saja si bodoh ini harus dihukum atas kelalaiannya. Kenapa semalam aku bisa ketiduran? Pasti Reynand memergokiku tidur di atas sofa dan laki-laki itu mengambil inisiatif untuk mengangkat tubuhku ke ranjang. Dan ini bukan yang pertama kalinya untukku. Ia juga pernah melakukan hal yang sama beberapa waktu yang lalu saat listrik padam. Tapi, Reynand tidak melakukan apa-apa padaku, kan? Harusnya begitu karena piyama tidur masih membungkus tubuhku dengan rapi sama seperti sebelum aku jatuh terlelap semalam.

Dengan tergesa aku segera melompat dari atas tempat tidur dan bergegas menapaki tangga turun. Aku mendapati pemandangan punggung Reynand begitu tiba di depan pintu dapur. Laki-laki itu terlihat sibuk di depan kompor dengan selembar celemek membalut tubuhnya, dan aroma telur goreng menguar ke sekeliling dapur. Aku sangat yakin jika ini bukan de javu dan aku sudah terbiasa menyaksikan pemandangan yang sama setiap pagi. Tapi, apa yang sedang dilakukan laki-laki menyebalkan itu di sana sekarang? Bermain dengan alat penggorengan pula. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa pada dirinya. Padahal kemarin ia terkapar di atas tempat tidur selama sehari penuh dan membuatku harus kehilangan fokus saat bekerja. Lalu bagaimana ia bisa pulih secepat ini?

"Sudah bangun, Ve?" tegur Reynand saat membalik tubuh dan mendapatiku sedang berdiri kaku di depan dapur seperti orang linglung. Suaranya normal. Begitu juga raut wajahnya terlihat seperti baik-baik saja. "Kamu mau sarapan sekarang?" tawarnya kemudian.

Ah, kenapa suaraku rasanya sulit untuk keluar? Padahal aku sudah berhasil mengumpulkam segenap kesadaran yang sempat dibawa pergi oleh peri mimpi. Reynand bersikap biasa-biasa saja seolah hari kemarin dan semalam di-skip dari ingatannya, tapi kenapa aku yang malah gugup, ya?

"Aku mau mandi dulu," ucapku agak terbata sambil menunjuk ke arah kamar. Tanpa menunggu jawaban, aku bergegas mengambil langkah-langkah lebar meninggalkan tempatku berdiri. Aku perlu mencuci otakku dengan deterjen secepatnya sebelum pikiran bodohku berkembang ke mana-mana!

Dasar Reynand!

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top