#27

"Yang benar, Ve? Kamu nggak salah orang, kan?" Sepasang mata Bianca melotot usai mendengar penuturanku tentang peristiwa kemarin. Saat aku ditodong di perempatan lampu merah sepulang kerja.

"Nggak, Bi. Meski dia sudah banyak berubah, tapi aku tahu itu Galih. Sayangnya dia buru-buru pergi sebelum kami sempat bicara," imbuhku lagi dengan nada menyesal.

"Tapi, kenapa Galih bisa seperti itu? Apa dia bangkrut? Atau jangan-jangan wanita selingkuhannya itu merampas semua yang dimiliki Galih lalu pergi?" Bianca menerawangkan matanya ke atas dan mulai menebak-nebak. Hanya Tuhan yang tahu jika tebakan Bianca benar atau salah. "Menurutmu?"

Aku hanya menggeleng. Aku tidak berani menebak-nebak seperti yang dilakukan Bianca.

Pesanan kami datang dan memaksa kami menghentikan pembicaraan. Gurami goreng untuk Bianca dan ayam goreng untukku.

"Mungkin itu karma buat Galih, Ve." Bianca menyambung lagi setelah pelayan pergi. Wanita itu meneguk jus alpukat sebelum mencicipi gurami goreng favoritnya. "Dia sudah menyakiti kamu dan sekarang dia harus menerima akibatnya. Itu ganjaran yang setimpal buatnya. Tuhan maha adil," ocehnya kemudian. Tapi, entah kenapa aku tidak begitu suka mendengar ucapan Bianca.

"Aku merasa kasihan padanya, Bi," tandasku lirih. Aku bahkan tidak berminat untuk menyentuh makananku seperti yang dilakukan Bianca.

"Kasihan? Pada Galih?" Bianca mendelik horor ke arahku. "Ayolah, Ve. Jangan bercanda. Galih sudah mencampakkanmu demi wanita lain dan sekarang kamu mengasihaninya? Apa kamu lupa bagaimana kondisimu pasca putus dari Galih? Aku yang kerepotan karena harus membujukmu makan dan menasihatimu tentang hikmah dibalik musibah. Kamu belum lupa itu, kan? Kamu tahu, harusnya kamu tertawa penuh kemenangan demi melihat kejatuhan Galih seperti itu, Ve. Bukan malah mengasihaninya."

"Tapi, hati nuraniku nggak bisa membencinya, Bi." Aku menatap mata Bianca serius.

"Jangan bilang kalau kamu masih mencintainya, Ve."

Aku terdiam. Bianca pasti akan memarahiku habis-habisan kalau aku membenarkan ucapannya. Tapi, aku bukan seorang pembohong yang baik di depannya. Bianca tahu seluk beluk kekuatan dan kelemahanku.

"Aku nggak bilang kalau aku masih mencintainya." Bagaimanapun juga aku harus menyangkal demi keselamatan diriku.

"Tapi, matamu mengatakan hal sebaliknya, Ve." Bianca menghentikan gerakan tangannya yang hendak menyuap. "Astaga, Ve! Kamu bodoh atau apa, sih?" cecarnya gemas. Wanita itu mendengus pelan dan mulai menyuap. Bianca tadi bilang ia lapar setengah mati karena melewatkan sarapan. Pagi-pagi sebelum berangkat ke kantor ia harus mengantar si kembar ke rumah neneknya.

"Kamu tahu," ucapku kemudian. Dengan nada pelan. "satu-satunya orang yang pernah sangat kucintai adalah Galih, Bi. Aku sempat bermimpi untuk menikah dengannya. Apa aku salah kalau masih menyimpan perasaan untuknya?"

Bianca terbatuk kecil mendengar ucapanku. Padahal suaraku berada di level paling bawah.

"Kamu nggak salah, Ve," ucap Bianca usai meneguk jus alpukat di depannya. "tapi bodoh. Kamu tahu?" sindirnya dengan ketus.

Dikatakan bodoh seribu kalipun aku tidak akan tersinggung jika itu keluar dari bibir Bianca.

"Bagaimana jika kemunculan Galih adalah pertanda dari Tuhan kalau kami berjodoh?" Aku menyambung kebodohanku lagi di depan wanita itu.

"Stop!" desis Bianca terlihat geram. "Jangan bicara jodoh kalau itu tentang Galih, Ve. Kamu sudah lupa kalau kamu sudah menikah? Galih itu bukan orang baik-baik, Ve. Sadarlah. Kalau dia orang baik-baik, logikanya dia nggak bakalan berselingkuh, kan? Dan kedua, sebangkrut apapun dirinya nggak mungkin dia akan melakukan tindak kriminal di jalanan seperti itu. Kamu bisa berpikir atau nggak, sih?"

Aku terdiam. Kalimat-kalimat Bianca seakan memukul hati sanubariku. Wanita itu memang benar dilihat dari sudut pandang manapun. Tapi, bagaimana dengan perasaanku yang masih tersisa untuk Galih. Bukankah laki-laki itu yang sudah membawa senyumku pergi? Jadi, dialah yang seharusnya membawa senyum itu kembali ke wajahku.

"Bagaimana kabar Reynand? Apa dia masih melakukan pendekatan sama kamu?"

Aku pura-pura mengaduk isi gelasku saat Bianca bertanya. Tentu saja ia bermaksud mengalihkan pikiranku dari Galih karena aku bisa memikirkan laki-laki itu sampai hari berakhir.

"Ya, seperti biasa. Kami lebih sering berdebat ketimbang bicara baik-baik. Dia selalu memancing duluan, Bi," tuturku dengan menunjukkan wajah sebal. Karena saat mengingat Reynand tensiku mulai merangkak naik.

"Oh, ya? Itu lucu, Ve. Bukannya alur drama Korea juga seperti itu, berantem dulu baru cinlok?" Wanita itu menyunggingkan senyum tipis di bibirnya.

"Itu sama sekali nggak lucu, Bi. Itu menyebalkan malah," sahutku sewot. Bianca tidak pernah tahu apa saja yang aku dan Reynand perdebatkan, jadi bisa sembarangan berkomentar seperti itu.

"Sebal apa sebal?" tanya Bianca seraya terkekeh pelan. Ia mengerling menggoda.

Aku mencibir pada wanita itu sebelum mulai menguliti ayam goreng di hadapanku. Setidaknya aku harus mengisi perut sebagai tambahan tenaga jika ingin tetap fokus pada pekerjaan usai makan siang. Lagipula sayang kalau sudah pesan makanan, tapi tidak dimakan.

"Mulai sekarang kamu harus fokus pada Reynand, Ve."

Aku mengangkat dagu dan menatap seraut wajah di hadapanku. Bianca terlihat sibuk menekuri isi piringnya ketika aku menatap ke arahnya.

"Kamu harus bahagia, Ve. Tapi, bukan dengan Galih, paham?" Bianca menyambung kalimatnya kembali. "Hei, jangan menatapku seperti itu. Habiskan makananmu, Ve. Kamu perlu banyak energi untuk berdebat dengan Reynand setiba di rumah nanti, kan?"

Aku mengerjapkan mata dan mengerucutkan bibir mendengar sindiran Bianca. Ia sama menyebalkannya dengan Reynand.

"Jangan coba-coba mencari keberadaan Galih. Kamu mengerti?" pesan wanita itu usai makan siang dan kami hendak berpisah di depan restoran. Wajahnya mengatakan kalau ia serius dengan ancamannya.

Lama-lama wanita itu bisa membaca pikiranku. Awalnya aku memang berniat untuk mencari Galih di perempatan lampu merah di mana kami bertemu kemarin, tapi agaknya aku harus membatalkan rencana atau Bianca akan membunuhku.

"Nggak, Bi."

"Oke, salam manis buat Reynand, ya." Bianca mendaratkan ciumannya ke atas pipi kiri dan kananku sebelum melangkah ke arah mobilnya. Aku melambaikan tangan seraya mengukir seulas senyum di bibirku untuknya. Sahabat terbaikku.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top