#26
Pertanyaan itu kembali bergaung di dalam telingaku. Benarkah itu Galih? Tentu saja. Hatiku menjerit membenarkan. Meski fisiknya bertransformasi sedemikian rupa, laki-laki itu masih bisa dikenali sebagai pemilik identitas Galih Pradana. Kecuali jika ia operasi plastik, sudah pasti aku tak akan bisa mengenali wajahnya.
Tatapan mata laki-laki itu juga masih sama seperti dulu. Sudah ribuan kali aku menyelami kedalaman telaga milik Galih saat berbincang dengannya dan aku mendapati jiwaku tenggelam di sana. Bagaimana aku bisa melupakan salah satu bagian favoritku dari dirinya?
Rasanya takdir sudah menjungkirbalikkan dunia kami. Galih yang kukenal dulu adalah seseorang yang berpenampilan rapi dan memiliki beberapa buah gerai ponsel di mal-mal. Ia terlihat keren, cerdas, dan punya sejuta ide kreatif. Tapi, lihatlah ia sekarang. Galih bahkan sama sekali tak berbeda dengan preman jalanan.
Sebenarnya apa yang terjadi dengannya? Kenapa ia bisa seberantakan itu sekarang? Lalu ke mana wanita yang berhasil mengalihkan perhatian Galih dariku? Dan sejak kapan ia berkeliaran di perempatan lampu merah sebagai penjahat? Oh, Tuhanku. Ini benar-benar menyedihkan.
Kenapa dadaku nyeri saat mengingat laki-laki itu? Bahkan aku tak menemukan secuil kebencianpun di dalam hatiku untuknya. Padahal jelas-jelas Galih yang sudah berperan menggores hatiku sedemikian parah, tapi kenapa aku merasa iba usai melihat kondisinya sekarang? Apa ia sedang menjalani karma? Lalu apa yang kurasakan saat ini? Mungkinkah sekarang aku sedang mengais sisa-sisa cinta yang terpendam jauh di dalam hatiku untuk Galih? Apa benar aku serapuh itu hingga melupakan bagaimana kondisiku pasca ditinggalkan Galih?
Apa aku masih mencintainya?
Sebuah tanda tanya besar menggantung bebas di dalam kepalaku yang mulai berdenyut hebat. Sungguh, aku tidak tahu ke mana harus mencari jawaban atas pertanyaan yang kuajukan pada diri sendiri. Tidak juga pada tetes-tetes hujan di luar sana sekalipun. Dan sialnya aku sudah kehabisan stok obat sakit kepala untuk meredakan denyutan itu.
Aku sangat yakin kalau aku mencintai Galih, tapi itu dulu. Saat kami masih berbagi tawa bersama. Pantas saja jika aku mirip zombie saat Galih benar-benar menghilang bersama wanita itu. Aku terlalu banyak memberikannya cinta sehingga saat ia pergi, aku seperti kehilangan seluruh hidupku. Dan setelah semua yang terjadi, di saat aku berhasil mengatasi galaunya patah hati, dan aku sudah memulai hidup baru meski belum sepenuhnya bisa kulakukan, laki-laki itu muncul kembali. Sepertinya takdir sengaja ingin menyeretnya ke hadapanku untuk menguji perasaanku. Mungkin saja Tuhan ingin menunjukkan padaku jika karma yang sesungguhnya telah berlaku pada laki-laki itu. Atau justru kehadirannya untuk menyatukan kami?
Tapi, kamu sudah terikat dengan Rey, Ve.
Ah, iya. Aku hampir lupa jika aku sudah menikah dengan Reynand. Laki-laki itu--meski aku belum sepenuhnya mengenal Reynand dengan baik--selalu menunjukkan perhatian lebih padaku. Aku bisa melihat perjuangannya untuk mendapatkan cintaku. Bahkan aku juga sedang mencoba untuk menyukainya beberapa hari belakangan atas dukungan Bianca. Lalu aku harus melangkah ke arah siapa? Galih atau Reynand?
"Ve!"
Aku terkejut dan seketika tersadar dari lamunan panjang dengan backsound rintik-rintik hujan di luar sana. Reynand memanggil disertai ketukan pintu yang terdengar beberapa kali.
"Kamu sudah tidur?"
Laki-laki itu bersuara kembali selang beberapa detik kemudian. Padahal aku sedang ingin sendiri dan tidak ingin bertemu siapapun saat ini. Tapi, Reynand bukanlah seseorang yang suka diabaikan. Ia akan terus berteriak dan mengetuk pintu sampai aku keluar untuk menemuinya.
"Veradita Amara!"
Aku mendengus kesal. Aku tidak punya pilihan selain bangun dari atas tempat tidur dan membuka pintu. Laki-laki itu memicu semangatku untuk berdebat.
"Mas Aksa yang mengajarimu untuk memanggilku seperti itu?" hardikku usai berhasil menguak pintu. Reynand menurunkan kembali kepalan tangannya yang sudah terangkat untuk mengetuk.
Laki-laki itu mengembangkan senyum tipis. "Sorry, aku tadi pergi ke stadion, jadi pulangnya agak malam. Aku diminta membantu melatih anak-anak U-16. Oh, ya, aku tadi sudah menelepon kamu, tapi nggak diangkat. Aku sempat khawatir sama kamu, Ve," celoteh Reynand cukup panjang. Tapi, aku sangat paham dengan maksud kalimatnya.
Oh. Bahkan ponselku masih tersimpan dengan baik di dalam tas dan belum kujenguk untuk melihat notifikasi yang masuk. Satu-satunya hal yang berkeliaran di dalam kepalaku hanya tentang Galih sesaat yang lalu. Tapi, terpaksa buyar begitu Reynand memanggil.
"Kamu sudah makan? Aku lapar, Ve," ucap Reynand tanpa menunggu respon dariku.
Kepalaku menggeleng lemah. "Aku nggak lapar. Kamu makan saja," tandasku datar. Aku sudah terbiasa dengan melewatkan makan malam saat kepalaku penuh dengan persoalan. Itu juga yang membuat Bianca menjulukiku zombie.
"Kenapa? Kamu sudah makan malam?" desak laki-laki itu terdengar berisik. Lama-lama kelakuan Reynand dan Mas Aksa mirip.
"Belum."
"Kok nggak lapar?" Reynand mencecar lagi.
Memikirkan Galih sudah membuatku kenyang, batinku.
"Yuk, makan. Tadi aku menyuruh Bik Ma untuk memasak makanan kesukaanku. Kamu tahu apa?" Laki-laki itu menyipitkan kedua mata dan mendekatkan wajahnya padaku. "Sayur asem, Ve."
Astaga!
"Lucu sekali," ledekku tanpa basa basi. "Kupikir makanan kesukaanmu bibimbap, ramyeon, atau... "
"Kenapa? Memangnya ada peraturan yang mengharuskan pemilik restoran Korea harus suka makanan Korea?"
Aku tersenyum pahit. Reynand jelas-jelas sudah menyulut api peperangan.
"Harusnya begitu." Aku mengedikkan bahu. "Lalu kenapa kamu nggak membuka warteg daripada restoran Korea kalau suka sayur asem? Kamu bisa makan sayur asem setiap hari, kan?" Aku meledeknya habis-habisan kali ini.
Reynand tertawa kecil mendengar ucapanku. Ia tampak senang hati melayani berdebat denganku.
"Terkadang dalam berbisnis kita harus melihat pasar, Ve. Bukan menuruti keinginan kita sendiri."
"Tapi warteg juga banyak peminatnya, kok. Malah menjangkau semua lapisan masyarakat. Harganya juga terjangkau. Presiden, menteri, pejabat, semuanya pernah makan di warteg. Kamu nggak pernah melihat beritanya?"
Kali ini Reynand benar-benar meledakkan deraian tawa yang lumayan keras. Dan sial! Aku harus mengalihkan tatapan mataku dari wajah tampan itu. Ya, Tuhan...
"Kenapa kita nggak pindah ke meja makan dan meneruskan berdebat di sana? Yuk," ajak Reynand seraya menarik tanganku menuju meja makan. Padahal aku sudah menegaskan jika aku sedang tidak lapar.
Aku mengikuti langkah Reynand dengan terpaksa. Tapi, kami tidak benar-benar melanjutkan perdebatan di meja makan setelahnya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top