#25
Ya, ampun! Kenapa tidak ada yang memberitahuku jika sekarang sudah pukul 18.00? Bahkan Pak Abdul--sang office boy yang biasa membelikanku makan siang saat aku malas keluar--juga tidak mengingatkan jika jam kerja sudah berakhir. Harusnya sejam yang lalu aku hengkang dari kursiku, tapi pekerjaan demi pekerjaan berhasil menahanku lebih lama di sini. Aku tidak suka lembur dan Om Dirga--kerabat jauh Mami sekaligus Bos di gedung ini--juga tidak akan mengizinkanku lembur sebanyak apapun pekerjaan di kantor.
Aku hanya bisa menggerutu sendirian dan mulai membereskan meja kerja dengan gerakan super cepat. Penghuni kantor sudah menyusut saat aku keluar dari ruanganku. Hanya tersisa seorang petugas kebersihan yang tampak sedang sibuk melaksanakan tugasnya. Dan aku bersyukur langit tidak mencurahkan hujan selagi aku menatap ke atas begitu sampai di depan gedung kantor. Hanya pemandangan temaram yang kudapati di sekeliling.
Jalanan tidak terlalu padat saat petang seperti ini, tapi aku lebih suka menyetir dengan kecepatan normal diantara pengguna jalan yang lain. Aku bukan pembalap wanita dan Mas Aksa tidak akan pernah mengizinkanku untuk mengendarai mobil dengan kecepatan diatas rata-rata. Laki-laki itu bisa menyita mobil kesayanganku jika aku ketahuan ngebut di jalanan.
Ah, tapi aku sama sekali tidak suka terjebak lampu merah.
Aku menghentikan mobil yang kukendarai saat tiba di perempatan lampu merah yang sedikit lengang. Rumah masih berjarak sekitar 20 menit lagi. Hanya ada beberapa mobil dan kendaraan roda dua yang ikut berhenti di sana menunggu lampu lalu lintas berganti warna. Jika pada jam-jam sibuk, perempatan itu selalu padat kendaraan. Tapi, sayangnya sekarang bukan jam sibuk dan hanya ada beberapa pengguna jalan yang terpaksa berhenti sebagai kewajiban taat pada peraturan lalu lintas, termasuk aku.
Tok, tok.
Perhatianku teralihkan dari lampu lalu lintas yang menyala merah ke arah sumber suara. Sebuah ketukan tak terduga mendarat di atas kaca jendela mobil persis di samping tubuhku.
Seorang laki-laki berperawakan kurus, berjaket denim lusuh, bertopi hitam, dan membawa sebuah gitar tua tampak sedang berdiri di samping mobilku. Wajahnya tak begitu kentara karena minimnya pencahayaan di tempat itu.
Pengamen? batinku seraya bergegas mengambil selembar uang dari dalam dompet. Aku tidak tahu kenapa laki-laki itu masih berkeliaran di jam-jam seperti ini padahal matahari sudah menghilang dari tatapan. Apa ia menanggung hidup orang tua dan saudara-saudaranya sehingga harus bekerja di saat orang-orang bergegas kembali ke rumah? Di luar sana begitu banyak orang yang harus bekerja keras demi sesuap nasi, sementara aku tinggal menadahkan tangan pada Mas Aksa hanya demi sepasang sepatu impor yang diproduksi dalam jumlah terbatas.
Aku terpaksa membuka kaca mobil hanya untuk bisa memberikan laki-laki itu selembar uang yang mungkin sangat berharga untuknya. Kemunculannya yang tiba-tiba, sempat mengetuk hati sanubariku dengan keras.
Tubuhku tersentak ketika tiba-tiba laki-laki itu menarik tanganku dengan paksa. Sumpah, aku tidak pernah menduga hal ini akan terjadi. Sama sekali tidak pernah terlintas di pikiranku hal negatif tentang laki-laki misterius itu.
"Serahkan dompet atau kami nggak akan segan-segan melukai tubuhmu, Nona," desis laki-laki itu yang sudah mengeluarkan sebilah pisau lipat dari saku jaket denim lusuh yang membungkus tubuhnya. Sementara tangannya yang lain masih mencekal lenganku dengan erat.
Seluruh tubuhku gemetar dan rasa takut menjalar dengan cepat menyergap hatiku. Seolah laki-laki itu menjelma menjadi malaikat maut dalam sekejap mata dan siap mencabik tubuhku dengan sebilah pisau yang digenggamnya. Aku sudah terlalu sering mendengar berita perampokan, pembunuhan, bahkan mutilasi sekalipun. Tapi, aku sama sekali tidak pernah membayangkan hal ini menimpaku.
"Cepat!" Laki-laki itu menghardik dengan suara keras. Ia mengacungkan pisaunya lebih dekat lagi ke leherku. Jika aku bergerak sedikit saja sudah pasti ujung benda itu akan menggores kulitku.
Di saat nyawaku terancam seperti ini dan ketakutan sudah merambah ke seluruh bagian persendian tubuhku, tidak ada yang dapat kuperbuat selain melaksanakan apa yang diperintahkan penjahat berkedok pengamen itu. Tangan kiriku yang bergetar berusaha menjangkau dompet yang tadi kuletakkan begitu saja di atas jok samping kemudi.
"Cepat, Hen!"
Samar-samar aku menangkap suara seseorang berteriak di belakang punggung laki-laki itu. Ah, nyatanya ia tidak sendiri. Tapi, berdua atau sendiri sekalipun tidak ada bedanya. Toh, aku tidak punya keberanian dan kekuatan untuk melawan.
"Iya, Bos." Laki-laki itu menyahut dan menyempatkan diri melirik ke belakang, dimana teman yang ia panggil sebagai Bos itu berada. "Cewek cantik, Bos. Apa nggak sebaiknya kita... "
Kalimat laki-laki itu menggantung di udara. Sepertinya ada pikiran jahat lain yang melintas cepat di dalam kepalanya dan perlu ia rundingkan dengan Bosnya. Menyebabkan rasa takut semakin bertubi-tubi menyerang dadaku.
"Lama banget, Hen." Seraut wajah lain tiba-tiba menyembul dari balik tubuh laki-laki berbalut jaket denim lusuh itu dengan maksud mengintip keberadaanku.
Aku terperangah melihat kemunculan si teman laki-laki itu. Tapi, keterkejutanku bukan karena ia muncul dengan gerakan tiba-tiba. Raut itu...
"Vera???"
Sepasang mata laki-laki itu membulat dan bibirnya mendesis menyebut namaku. Dan satu-satunya orang di dunia ini yang memanggilku dengan sebutan Vera hanyalah Galih. Ya, laki-laki itu adalah Galih! Tidak salah lagi. Hanya saja ia sedikit berbeda dari yang kulihat beberapa tahun silam. Kulit wajahnya lebih gelap, bulu-bulu kasar tumbuh di area sekitar bibir dan dagunya, dan rambutnya gondrong. Benar-benar transformasi yang membuatku nyaris tak mengenalinya.
"Ayo pergi, Hen."
"Ga... " Bibirku urung memanggil nama laki-laki itu dan tanganku hanya menggapai angin ketika tiba-tiba Galih mendorong tubuh temannya agar segera beranjak pergi dari samping mobil. Mereka terlihat berlari menjauh dan aku hanya bisa mengintip keduanya lewat kaca spion.
Benarkah dia Galih? Kenapa terlalu sulit mempercayai kenyataan yang terpampang di hadapanku meski hanya berdurasi beberapa menit? Bahkan itu kurang dari 5 menit!
Ya, Tuhan...
Suara klakson yang menjerit berkali-kali menyadarkanku dari tertegun. Lampu lalu lintas di depan sana sudah berganti warna dan aku masih bergeming di tempat. Bahkan aku belum sempat mengumpulkan kesadaran!
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top