#20
"Kapan terakhir kamu olahraga?" tegur Reynand dengan sebelah tangan mengulurkan sebuah botol air mineral ke hadapanku.
Aku tidak langsung menyahut. Bagiku, mengobati rasa haus yang menggerogoti kerongkonganku jauh lebih penting ketimbang sekadar menjawab pertanyaan Reynand.
"Waktu kuliah mungkin," sahutku kemudian dengan asal. Usai meneguk air mineral yang diberikan Reynand beberapa detik yang lalu. Seingatku, ada acara jalan santai memperingati ulang tahun kampus saat itu. Sebenarnya aku tidak tertarik untuk bergabung dengan acara semacam itu, tapi Bianca yang memaksaku untuk ikut. Jalan santai termasuk olahraga atau bukan, ya?
Reynand hanya mengulas senyum tipis lalu mengambil tempat duduk di sebelahku. Ia ikut menyelonjorkan kedua kakinya seperti yang kulakukan.
"Kamu mau menertawakanku?" tanyaku curiga. Senyum Reynand sama sekali tak bisa kuartikan. Bisa saja ia sedang menertawakan betapa lemahnya fisikku. Berlari 50 meter saja sudah cukup membuat perutku serasa ditusuk ribuan jarum. Entahlah, aku sendiri tidak tahu kenapa hal itu bisa terjadi. Alhasil, aku memutuskan untuk berhenti di pinggir jalan persis di sebelah sebuah warung kecil. Dan Reynand memutuskan untuk membelikanku sebotol air mineral sembari beristirahat.
"Nggak juga."
"Nggak juga?" ulangku dengan melotot pada laki-laki itu.
"Apa kamu merasa aku sedang menertawakanmu?" balas Reynand dengan menatap balik mataku.
"Ya," sahutku ketus. Aku mengalihkan tatapan ke jalan demi menghindari sepasang mata Reynand yang menyorot tajam padaku. Sungguh, perasaanku menjadi campur aduk saat ia melempar tatapan seperti itu. Dan pemandangan menyebalkan itu membuatku benar-benar merasa tidak nyaman.
"Kamu sensitif banget, ya," gelaknya riang. Membuatku yakin kalau ia benar-benar menertawakanku sekarang.
"Jangan coba-coba menyuruhku masuk ke dalam duniamu, Rey," ucapku beberapa menit kemudian. "Dunia kita berbeda."
"Setiap orang punya dunia masing-masing, Ve. Aku cuma ingin kita bisa menjalani hidup ini bersama dan sejalan... "
"Hei," Aku memotong ucapan Reynand karena merasa ada sesuatu yang janggal dalam kalimatnya. "bukan aku yang menginginkan pernikahan ini... "
"Ya, Tuhan," desis Reynand balas memotong ucapanku. "sampai sekarang kamu masih berpikir hal itu?" Kerutan demi kerutan langsung terukir di kening Reynand yang sebagian tertutup topi bisbol. Sementara itu sepasang matanya menatapku tanpa berkedip.
Aku tak menjawab. Memangnya apa yang harus kupikirkan? Aku bahkan belum lupa kalau hatiku masih tercecer dan harus kusatukan lagi.
"Ayolah, Ve. Sebenarnya apa yang membuatmu sekeras ini?"
Aku melenguh jengah seraya berusaha mencari satu titik di kejauhan untuk kujadikan fokus penglihatanku.
"Ve, jawab aku!"
"Apa sih, Rey." Aku ikut terpancing demi mendengar teriakan Reynand. Telingaku panas mendengar kalimatnya. Aku sedang tidak ingin menjelaskan apapun sekarang. Apalagi berdebat. "Aku mau pulang."
Aku bergegas bangkit dari tempat dudukku bermaksud mengakhiri perbincangan konyol ini. Tapi, reaksi laki-laki itu luar biasa cekatan. Reynand ikut bangkit lalu mencekal lenganku dengan segenap kekuatan yang dimilikinya untuk mencegahku kabur.
"Aku sudah berusaha keras untuk menjadi yang terbaik buat kamu, Ve. Kenapa kamu nggak bisa menghargaiku sedikit saja? Sampai kapan kamu akan bersikap seperti ini, hah?"
Aku terpaku mendengar kalimat Reynand yang serupa pisau menyayat hatiku. Dalam sorot matanya aku juga menemukan seberkas kemarahan yang sedang berusaha ia redam sendirian. Dan aku tidak bisa berlama-lama menatap sepasang telaga milik Reynand yang sedang bergejolak.
"Lepaskan, Rey." Aku berusaha melepaskan cekalan tangan Reynand dari lenganku, tapi upayaku sia-sia. Aku perlu tenaga berpuluh-puluh kali lipat jika ingin melepaskan diri dari cekalan tangan Reynand.
"Kamu belum menjawab pertanyaanku, Ve." Si bodoh itu mencoba ngotot.
"Aku nggak akan menjelaskan apapun, Rey. Jadi, tolong lepaskan tanganku... "
"Kamu tahu, Ve... " Laki-laki itu sama sekali tidak menggubris permintaan kecilku. "aku seperti orang bodoh karena terus mengejar cinta kamu. Padahal kamu adalah istriku. Tapi, aku tetap menyukaimu dengan segala keegoisan kamu. Meski kamu nggak pernah menganggapku berarti dalam hidup kamu," tandasnya.
Itu urusan kamu, batinku kesal. Harusnya Reynand tidak memperlakukanku seperti ini jika ia benar-benar menyukaiku, kan?
"Tatap aku, Ve," suruhnya sejurus kemudian. "Apa buatmu terlalu sulit untuk menerimaku?"
Satu pertanyaan bodoh lagi, batinku.
"Kamu nggak tahu apa-apa tentangku, Rey. Jadi, jangan pernah memaksaku untuk menerima pernikahan kita. Juga kamu." Akhirnya aku bicara juga. Meski aku tahu berdebat di pinggir jalan seperti ini bukanlah sepenggal adegan drama yang kuinginkan.
"Bagaimana aku bisa tahu tentangmu kalau kamu nggak pernah cerita, Ve?" balas Reynand seketika membuatku terpojok. "Kamu ingin orang lain mengerti kamu, tapi kamu sama sekali nggak pernah mau mengerti orang lain. Ingat, Ve. Hidup ini nggak berpusat pada diri kamu. Ada banyak orang di sekitar kamu dan kamu nggak bisa selamanya hidup dalam keegoisan kamu."
Kalimat demi kalimat yang meluncur bebas dari bibir Reynand membuatku semakin tersudut. Bahkan aku tak sanggup menggerakkan persendianku yang tiba-tiba kaku. Sepasang mataku memanas dan selapis kabut turun menghalangi pandanganku.
Aku egois? Seegois apa? Apa orang yang tersakiti di masa lalu tidak boleh menjaga perasaannya sendiri? Aku tidak mau dilukai untuk ke sekian kali. Tapi, apa Reynand mengerti?
"Aku mau pulang," ucapku dengan suara serak. Aku hanya melirik tangan Reynand yang masih melingkar di lenganku dengan ketat. Sebuah kode agar ia segera membiarkan aku pergi, tapi bukan dengan sebuah paksaan.
"Kita pulang sama-sama."
Laki-laki itu melepaskan cekalannya dan mulai berjalan di sampingku. Kami pulang beriringan, tapi tanpa perbincangan sama sekali. Aku mengayunkan langkah-langkah kecil dengan penuh keraguan. Menapaki jalanan beraspal yang berdebu dengan kepala tertunduk. Sekali lagi, aku harus menyatukan kepingan hatiku yang berceceran. Mungkin dalam perjalanan pulang ke rumah pagi ini aku bisa menemukan serpihan hatiku yang berserakan.
Aku tersentak ketika jemari Reynand menangkap tanganku dan laki-laki itu resmi menggandengku untuk yang pertama kali. Selain bodoh, ternyata ia gila. Apa yang baru saja dilakukannya? Ia lupa jika baru saja membuat hatiku terpuruk habis-habisan? Apa ia menganggap perdebatan tadi adalah sebuah candaan belaka padahal nyaris membuatku menumpahkan air mata?
"Mau sarapan bubur ayam, Ve?" tawar Reynand begitu kami mendapati seorang tukang bubur ayam sedang mangkal beberapa meter di depan sana. Tanpa pikir panjang, laki-laki itu menyeretku mendekat ke penjual bubur ayam padahal aku sama sekali belum memberikan persetujuan apapun.
Aku semakin tidak mengerti kamu, Rey. Aku hanya membatin sembari melirik laki-laki di sampingku. Beberapa menit yang lalu ia mengoceh memancing perdebatan denganku. Bahkan ia hampir saja membuatku menangis karena kemarahan yang terselip dalam kalimat-kalimat pedasnya. Dan lihatlah sekarang lagaknya sok akrab dengan penjual bubur ayam.
Ya, Tuhan... Kemana kabut tipis yang menghalangi pandangan mataku tadi?
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top