#18

Lega rasanya mengetahui kamar sudah terbebas dari pakaian-pakaian kotor yang menggunung. Bik Ma--asisten rumah tangga kami yang baru--rupanya telah mengerjakan tugasnya dengan sangat baik di hari pertamanya bekerja. Wanita paruh baya berpenampilan sederhana itu turut membersihkan kamar juga mengganti sprei tempat tidurku. Dan ketika sampai di rumah, aku sangat antusias untuk segera menjatuhkan tubuh di atas tempat tidur. Hari yang melelahkan.

"Ve."

Astaga!

Aku tergagap ketika mendengar suara dari laki-laki menyebalkan itu yang tiba-tiba memanggil manakala aku nyaris jatuh tertidur. Padahal aku sudah melihat penampakan peri mimpi sedetik sebelum ia menyebut namaku.

Ya, ampun. Bahkan laki-laki itu menerobos masuk ke dalam kamarku tanpa mengetuk atau meminta izin terlebih. Oke, aku memang tak berhak protes untuk masalah ini. Aku lalai tidak mengunci pintu tadi. Tapi, tingkahnya itu benar-benar membuatku jantungan. Bagaimana kalau aku tadi sedang berganti pakaian? Mungkin ucapan Bianca akan menjadi kenyataan. Tidak ada yang tahu kapan seorang Reynand akan bertransformasi menjadi singa, kan? Tapi, kebiasaan burukku tidur setiba di rumah sudah menyelamatkan jiwaku kali ini.

"Ve." Reynand mendekat ke tempat tidurku dan menyebut namaku sekali lagi. Membuatku harus melempar tatapan kesal padanya. Aku sempat melihat mobil Reynand terparkir di depan tadi, tapi aku sedang tidak punya minat untuk menyapanya.

"Apa?" tanyaku malas. Aku terpaksa bangun dan memeluk sebuah bantal untuk berjaga-jaga. Tentu saja dengan memasang muka jutek seperti biasa.

"Mama mau datang, Ve," beritahunya dengan intonasi cepat. "Dia sedang on the way."

"Mama?" desisku bingung. Otakku sedang tidak bisa bekerja dengan baik di saat Reynand begitu dekat denganku. Mungkin sekitar 30 centi dan ini adalah sebuah pelanggaran buatku. Jarak minimal yang harus kujaga adalah 50 centi dan aku masih mencatatnya dengan baik di dalam kepalaku.

"Iya, Mama sedang ke sini," tegas Reynand berusaha keras meyakinkanku. Keningnya turut berkerut.

"Mama siapa?" Seulas pertanyaan bodoh tanpa sadar kulontarkan padanya.

"Mamaku, Ve."

Aku tercekat. Tante Riska? batinku kecut. Oh, salah. Sekarang ia adalah Mamaku karena aku menikah dengan putra mahkotanya. Dan berita buruknya wanita itu sedang dalam perjalanan ke sini.

"Mau apa dia ke sini, Rey?" Ganti aku yang bertingkah panik setengah mati. Jika tahu begini aku lebih suka tinggal di kantor berkutat dengan setumpuk tugas ketimbang bertemu dengan Mama Rey.

"Dia datang berkunjung, Ve. Wajar kan, kalau seorang ibu mengunjungi anaknya."

Bodoh. Kalau itu aku tahu.

"Maksudku kenapa dia datang sekarang? Kenapa nggak besok saja?"

Reynand hanya mengedikkan bahu. "Sepertinya Mama sudah sampai," ucapnya sejurus kemudian.

Tubuhku menegang. Samar-samar telingaku menangkap suara deru mobil berhenti di depan rumah. Kenapa Mama Reynand begitu cepat sampai? Kenapa jalanan tidak menjebaknya dengan kemacetan? Bukankah Reynand bilang Mamanya masih on the way?

"Yuk, temui Mama," ajak laki-laki itu sembari mengulurkan tangan kanannya.

"Tapi, Rey... "

"Kenapa? Kamu takut ketemu Mama?" Reynand menatapku dengan ekspresi mencurigakan.

Tentu saja, batinku. Tapi, bibirku mengatup begitu rapat. Bagaimana kalau wanita itu bertanya macam-macam atau memergoki jika aku dan Reynand tidak tidur sekamar? Aduh!

"Ve." Laki-laki itu menggerakkan kepalanya ke arah pintu sebagai kode keras agar aku segera bergegas menuruti ajakannya untuk keluar dan menemui Mama Reynand. Apa aku harus pura-pura pingsan lagi seperti dulu jika Mama Reynand mencecarku dengan berbagai macam pertanyaan?

Rasanya semua pintu pilihan tertutup bagiku. Aku hanya punya satu pilihan saja, kecuali jika aku benar-benar pingsan.

"Duh, kalian ini... Masih sore sudah berdua-duaan di kamar... "
Mama Reynand sudah berdiri di ruang tengah dan sedang menatap ke arah pintu kamarku yang baru saja terkuak. Wanita itu melempar senyum genit ke arah aku dan Reynand.

"Kalian sudah selesai? Mama nggak ganggu kan?" tegur wanita itu kembali menyadarkan keterpakuan kami. Reynand yang bodoh itu masih berdiri di depan pintu kamar dan aku hanya bisa mendengus kesal di belakang punggungnya. Memangnya apa yang dipikirkan wanita itu, hah?

"Nggak kok, Ma." Reynand melangkah ke arah Mamanya lalu menyalami wanita itu. Ia mencium tangan Mamanya dan mempersilakan wanita itu agar segera duduk.

Aku menghela napas dalam-dalam dan berjalan mendekat. "Mama sehat?" tanyaku berbasa-basi. Meski pertanyaanku terkesan kikuk, tetap saja aku harus mengutamakan sopan santun.

"Baik, Ve. Kalian baik?" balas Mama Reynand seraya menatapku lalu pada putranya dengan bergantian.

"Baik." Aku dan Reynand menjawab dengan kompak. Harusnya aku diam saja dan memberi kesempatan pada laki-laki itu untuk bicara.

"Oh, ya. Mama membawakan kalian buah-buahan dan kue. Kebetulan Mama lewat daerah sekitar sini, jadi sekalian mampir," tutur Mama Reynand menjelaskan. Berbagai macam buah-buah tampak tersusun rapi di dalam sebuah keranjang rotan dan sudah menghuni meja makan. Juga sebuah kantung kresek berlogo Bread Talk berada di dekatnya.

"Kenapa mesti repot-repot, Ma? Kalau cuma mau mengirim makanan kan bisa menyuruh orang," timpal Reynand.

Sementara aku lebih memilih diam dan membiarkan anak mama sedang temu kangen dengan Mamanya.

"Nggak apa-apa, Rey. Mama kangen kamu juga mantu Mama," kekeh wanita itu seraya menatapku lekat-lekat. "Bagaimana, Ve? Sudah ada kabar bagus? Oh, ya. Mama hampir lupa. Ini Mama bawakan madu buat kalian berdua." Mama Reynand mengeluarkan sesuatu dari dalam tas yang berada dalam pangkuannya.

Kabar bagus apa? batinku heran. Seingatku, aku dan Reynand masih seminggu ini menikah.

"Apa ini, Ma?" Reynand terlihat kebingungan saat menerima dua buah botol dari tangan Mamanya. Aku juga tak kalah bingung dengan Reynand.

"Itu madu, Rey. Bagus untuk pasangan yang baru menikah. Kamu kan tahu kalau Mama sudah nggak sabar ingin menimang cucu... "

Ya, Tuhan... Apa aku sudah boleh pura-pura pingsan sekarang?

"Kata teman Mama, madu itu manjur lho... "

"Aku buatkan minum ya, Ma."

"Nggak usah, Ve. Mama nggak lama kok... "

Aku yang sudah terlanjur berdiri terpaksa meletakkan pantat kembali di atas sofa yang suhunya mulai meningkat. Upaya untuk menghindar dari wanita itu gagal total!

"Kalau begitu Mama pulang dulu, ya. Takut kemalaman sampai di rumah." Mama Reynand bangkit dari atas sofa, bersiap angkat kaki dari rumah kami. Setidaknya aku bersyukur ia tidak berlama-lama di sini. "Kalian bisa melanjutkan kegiatan kalian lagi," ucap wanita itu seraya menepuk pundak Reynand cukup keras. Sembari mengerling genit pula. Alamak!

"Hati-hati di jalan, Ma."

"Oh, ya. Madunya jangan lupa diminum, ya. Sehari cukup satu sendok saja. Nanti kabari Mama kalau sudah ada kabar baik... "

Huft. Bawel!

Aku mengunci pintu kamar usai wanita itu pergi dari rumah kami. Teriakan Reynand tentang madu bagianku, tak kugubris. Mama dan anak sama saja!



***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top