#17
Aroma telur goreng segera menggigit ujung hidungku begitu tanganku berhasil menguak pintu kamar lebar-lebar. Kebetulan dapur dan kamarku sama-sama berada di lantai bawah, jadi hal-hal semacam ini adalah sebuah resiko yang harus kutanggung. Dan sialnya aroma lezat itu berhasil menahan langkahku. Tiba-tiba saja perutku merasa sangat lapar dan sepertinya enggan untuk diajak kompromi. Haruskah aku mendatangi dapur dan mengemis omurice lezat buatan tangan Reynand?
Laki-laki itu terlihat sedang menghadap kompor dan hanya menampilkan pemandangan punggungnya yang terbalut kaus putih dengan bawahan sebuah celana training hitam. Sehelai celemek bermotif kotak-kotak melengkapi aksinya di dapur.
Apa aku harus datang dan bilang padanya kalau aku lapar dan sangat ingin makan omurice buatannya? Padahal aku sudah berencana untuk segera melesat pergi dari rumah pagi-pagi.
"Kenapa berdiri di situ, Ve? Yuk, makan bareng," tegur Reynand menepis tatanan lamunan yang sedang kubangun di depan pintu kamar.
Makan bareng? batinku tidak paham. Apa ia sudah mulai memantapkan pendekatannya padaku dengan melakukan sarapan bersama pagi ini?
"Kamu nggak akan telat kalau sarapan dulu, kan?" tegur laki-laki itu kembali.
Baiklah, batinku. Jika ini sebuah pemaksaan, aku tidak akan menolak. Lagipula aku harus menjaga kelangsungan hidupku, kan? Selain itu sarapan pagi bisa membuat kinerja otakku berjalan lebih baik.
Reynand menyodorkan sebuah piring berisi omurice ke hadapanku setelah aku berhasil meletakkan pantat di kursi yang biasa kutempati. Segelas susu cokelat juga turut ia sodorkan. Membuatku terpaksa mengerutkan kening. Sejak kapan di rumah kami ada persediaan susu?
"Itu susu untuk tulang," jelas Reynand seolah bisa membaca arti kerutan di keningku. "Kemarin aku mampir ke minimarket sebelum pulang," imbuhnya menjelaskan segenap pertanyaan yang memenuhi kepalaku.
Aku mulai menyibukkan diri dengan isi piringku dan pura-pura tidak tertarik dengan acara berbelanja ke minimarket yang dilakukan Reynand kemarin.
"Nggak jogging?" tanyaku seraya melirik laki-laki itu. Ia sedang menyuap omurice bagiannya.
"Sudah tadi," jawabnya santai. "Aku jogging pagi-pagi biar bisa sarapan bareng kamu," tandasnya nyaris membuatku tersedak.
Oh. Jadi, laki-laki itu sudah merubah jadwal joggingnya agar bisa sarapan bersamaku? Sebuah kemajuan yang luar biasa, tapi sayangnya aku tidak suka.
"Oh, ya. Mama sudah menyuruh seseorang untuk bekerja di rumah kita. Hari ini dia akan mulai bekerja."
"Baguslah," sahutku. Aku harus segera menyingkirkan pakaian-pakaian kotor dari kamarku secepatnya sebelum menginfeksi kedua mataku. Pemandangan pakaian-pakaian kotor yang menggunung nyaris sama dengan tempat pembuangan akhir.
"Mama titip salam buat kamu, Ve."
Aku melirik Reynand sekilas. "Oh, sampaikan salamku juga padanya."
"Kita bisa mengunjungi Mama kapan-kapan... "
"Aku sibuk, Rey." Entah kenapa aku bisa menimpal begitu cepat tanpa berpikir sebelumnya. Padahal Minggu aku libur dan Sabtu hanya setengah hari kerja. "Maksudku nggak dalam waktu dekat ini," imbuhku lagi.
"Oke." Reynand menyuap makanannya kembali seolah tidak mengambil pusing tentang ucapanku. "Kemarin aku membuka rekening baru untuk kamu, Ve." Laki-laki itu meletakkan peralatan makannya lalu mengangsurkan sebuah buku tabungan dan selembar kartu ATM yang ia ambil dari saku celemek. Sepertinya Reynand sudah merencanakan semua ini dari pagi tadi. Mungkin sejak kemarin. Ia hanya perlu menentukan momen yang tepat untuk memberitahuku.
Aku menatap Reynand lalu benda yang ia sodorkan ke hadapanku. Jadi, ia sedang berusaha keras untuk menjalankan fungsinya sebagai suami yang baik? Jangan-jangan setelah ini ia akan menerkamku seperti singa kelaparan. Bianca sialan! Kata-kata wanita itu masih menempel di dalam otakku sampai pagi ini.
"Aku punya penghasilan sendiri, Rey." Aku mengabaikan apa yang sudah Reynand sodorkan ke depanku dan mengatakan penolakanku mentah-mentah. Aku seorang wanita karir yang memiliki penghasilan sendiri dan Mas Aksa juga rutin mengalirkan sejumlah dana ke dalam rekeningku. Lagipula selama ini Reynand yang membeli segala kebutuhan rumah tangga kami.
"Aku tahu. Tapi, ini adalah bagian dari kewajibanku, Ve."
Jangan bicara soal kewajiban, batinku jengah. Aku sama sekali tidak pernah membebaninya dengan tanggung jawab apapun.
"Kamu bisa menyimpannya," ucap Reynand tak kekurangan akal. Sebuah pemaksaan halus dan sederhana. "siapa tahu nanti kamu butuh. Aku akan menambah saldonya setiap bulan. Password-nya 6 digit tanggal, bulan, dan tahun kelahiranmu."
"Rey," Aku meneguk susu cokelat yang konon baik untuk tulang setelah menandaskan omurice buatan Reynand. "kamu nggak tahu kan, kalau aku orang yang sangat boros? Kamu akan menyesal dengan memberiku semua ini," ujarku sembari melirik buku tabungan dan kartu ATM tak jauh dari jangkauan tanganku.
"Aku tahu. Mas Aksa sudah memberitahuku," kata laki-laki itu dengan senyum tipis menyebalkan tersungging di bibirnya.
"Apa?" Aku yang terkejut bukan kepalang mendengar pengakuan Reynand. Bisa-bisanya Mas Aksa menceritakan segala keburukanku pada Reynand? Lalu apalagi yang kakak kandungku itu ceritakan padanya? Tentang sifat keras kepala, judes, atau mungkin juga tentang Galih? Aku benar-benar kehilangan muka di hadapan laki-laki itu. Gara-gara Mas Aksa. "Lalu kamu masih menyukai orang boros sepertiku?" desakku kesal.
Kali ini tawa renyah berderai dari bibir Reynand. Laki-laki itu berhasil membuatku melongo saat menatapnya. Ia menyebalkan. Tapi, tampan.
"Kamu istriku, Ve. Seperti apapun kamu, aku tetap akan menyukaimu," tandasnya sok romantis. Tapi, jangan harap aku bisa terharu dengan kalimatnya. Aku sudah pernah menelan ribuan rayuan gombal sebelum ini.
"Semoga kamu nggak menyesal dengan kata-katamu." Aku bangkit dari tempat dudukku.
"Kenapa mesti menyesal?"
"Orang bisa berubah kapan saja, Rey. Termasuk perasaan." Aku sedang berpikir untuk menyamakan Reynand dengan mantan-mantan pacarku sebelumnya. Ya, karena mereka satu spesies, jadi ada beberapa kemungkinan mereka memiliki kesamaan sifat, bukan?
"Maksudmu?" Kening laki-laki itu terlihat mengerut saat aku sudah selesai dengan kalimatku. Pasti ia butuh waktu lama untuk mencerna maksud ucapanku.
"Aku harus pergi sekarang," ucapku seraya mulai mengayunkan langkah meninggalkan ruang makan. Aku bisa terlambat jika meneruskan perbincangan ini lebih lama lagi. Tentu saja setelah tanganku berhasil menyambar buku tabungan dan kartu ATM yang disodorkan Reynand beberapa menit lalu ke hadapanku. Seperti kata Reynand, aku bisa menyimpannya. Mungkin juga menghabiskannya.
Aku hanya mengulum senyum kecil ketika sudah duduk di depan kemudi. Laki-laki itu tahu kelemahanku.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top