#14

Aku mendapati laki-laki itu sedang meringkuk di atas sofa panjang yang berada di ruang tengah ketika aku tiba di rumah. Sepasang matanya terkatup rapat dan kedua tangannya saling bertaut seolah tengah menahan hawa dingin yang menyerang tubuhnya. Sementara itu pesawat televisi yang sedang menyiarkan acara sinetron dibiarkan menyala dengan volume rendah.

Apa ia benar-benar sedang menungguku? batinku kesal. Percakapan kami pagi tadi kembali terngiang di telingaku. Aku sudah menegaskan akan pulang terlambat hari ini dan sepertinya ia tidak mendengarkan ucapanku dengan baik.

"Baru pulang, Ve?"

Suara parau itu terdengar saat aku menjatuhkan paper bag berisi barang belanjaan tanpa sengaja. Awalnya aku ingin meninggalkan ruang tengah diam-diam tanpa perlu menimbulkan suara sedikitpun. Tapi, kenyataannya tali paper bag dalam genggamanku tidak kuat menahan beban belanjaan yang lumayan banyak dan harus putus di saat yang tidak tepat.

"Ya." Aku buru-buru memungut belanjaanku yang sebagian tercecer dari dalam paper bag dengan gerakan cepat dan kikuk. Beberapa helai pakaian kerja dan sebuah clutch baru kumasukkan dengan asal.

"Kamu dari mal?" tanya Reynand menginterogasi. Pandangan matanya jelas tertuju pada barang belanjaanku yang kini sudah masuk ke dalam paper bag.

"Ya," anggukku cepat. Aku tidak akan memasang wajah bersalah di hadapannya kali ini. Bukankah tadi pagi aku sudah bilang akan pulang terlambat? Kuharap ia bisa menyimpulkan jika pergi ke mal hanyalah sebuah dalih untuk mengabaikan ajakannya nonton pertandingan sepak bola. Aku harus menghindari segala bentuk kegiatan berdua dengan Reynand.

Reynand melirik jam dinding lalu menatapku dengan pandangan heran. "Selarut ini?" tanyanya dengan nada memojokkan.

"Ini masih jam 9, Rey. Belum larut." Aku melempar jurus membela diri. Saat tinggal di apartemen, aku sering pulang terlambat seperti ini. Dan tidak pernah ada yang protes. Mas Aksa sekalipun.

"Aku tadi menunggumu, Ve."

Aku memutar bola mata jengah. Berapa kali lagi aku harus menjelaskan supaya ia paham kalau aku sudah bilang akan pulang terlambat hari ini.

Sekarang siapa yang lebih keras kepala? Aku atau Reynand?

"Aku sudah bilang kan, kalau aku akan pulang terlambat... "

"Tapi, kenapa kamu nggak mengangkat teleponku?" Laki-laki itu berdiri dan menghampiri tempatku mematung. Aku tahu jika ada sejumlah panggilan masuk ke ponselku dari Reynand dan aku memang sengaja mengabaikannya. "Se-nggaknya kamu bisa memberitahuku kalau kamu pergi ke mal, Ve."

Bodoh.

"Rey," Sungguh, tubuhku sangat lelah dan aku sedang tidak ingin berdebat sekarang. Maka, aku akan mengakhiri percakapan ini sesegera mungkin. "tadi pagi aku sudah bilang kalau aku akan pulang terlambat dan kamu bisa pergi nonton sendiri atau mengajak orang lain, terserah kamu. Aku nggak suka sepak bola dan keramaian seperti itu. Apa kata-kataku masih nggak jelas?" celotehku panjang.

"Maaf," sesalnya sesaat kemudian. "aku sudah bersikap bodoh karena terus menerus menunggumu pulang sampai ketiduran. Kupikir tadi kita bisa nonton pertandingan itu di televisi bersama-sama."

Oh, Tuhan... Sekarang ia membuatku merasa menjadi seseorang yang paling kejam di dunia ini. Terlebih lagi sorot matanya yang menyiratkan sejumlah kekecewaan dan penyesalan membuatku merasa sangat tidak nyaman saat ia menatapku.

Aku tak memberikan respon apapun untuk permintaan maafnya. Kuanggap semuanya selesai dan aku bisa merebahkan tubuhku di atas tempat tidur setelah ini. Berjam-jam mengelilingi mal membuat kakiku pegal bukan main. Semoga saja kaki-kakiku tidak bengkak esok hari.

Aku melempar paper bag sialan itu ke atas sofa yang berada di sudut kamar usai menutup pintu. Sayangnya, lemparanku tidak tepat sasaran dan menyebabkan benda itu terguling ke permukaan lantai sehingga isinya kembali berceceran. Namun, aku tak akan menolong dan membiarkan belanjaanku terkapar di atas lantai. Biarlah, besok pagi aku akan membereskannya sebelum berangkat kerja.

Aku menjatuhkan diri di atas tempat tidur beberapa detik kemudian. Tentu saja setelah melepaskan sepasang high heels merah jambu dari kedua kakiku dan membiarkan mereka tergeletak di dekat kaki tempat tidur. Kebiasaan buruk seperti ini sudah lama melekat dalam diriku dan entahlah, aku tidak tahu kapan bisa merubahnya.

Ah, kenapa bayangan wajah itu mendadak terlintas di dalam kepalaku? Raut wajah yang penuh penyesalan dan kekecewaan milik Reynand seolah ingin masuk dan menghantui pikiranku. Memaksaku merajut sebuah perasaan bersalah atas apa yang sudah kulakukan padanya tadi. Mungkin ia tidak akan rela membiarkanku tidur nyenyak malam ini.

Samar-samar telingaku menangkap suara rintik air berjatuhan di luar sana. Hujan yang kedua di awal musim penghujan turun malam ini. Setidaknya suara hujan bisa memberi kesan rileks untuk pikiranku. Seperti sebuah terapi untuk mengantarku tidur malam ini. Lupakan sejenak tentang Reynand dan segala perdebatan kami.


***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top