#11
Aku yakin semua orang pasti akan merasa bahagia ketika mendapati tetesan air hujan yang tercurah dari langit untuk pertama kali usai musim kemarau yang panjang. Terlebih saat menghirup aroma tanah yang tersiram air hujan setelah berbulan-bulan diterpa terik sinar mentari dan menguarkan harum khas. Beberapa orang pasti sangat merindukannya, termasuk aku. Aku juga merindukan aroma tanah berbaur air hujan perdana pembuka musim hujan.
Dari balik jendela kaca yang terpasang di dinding ruangan, mataku bisa menangkap tetes-tetes air hujan yang berjatuhan siang ini. Ya, hujan pertama setelah musim kemarau yang panjang. Tapi, ini hanya permulaan dan sepertinya tidak akan berlangsung lama. Mungkin hanya berdurasi beberapa menit saja. Sayangnya, hujan tidak akan membuatku terbawa perasaan. Sungguh, aku sama sekali tidak punya sesuatu untuk digali dalam sumur ingatanku. Tidak ada nama seseorang yang terhubung dengan hujan atau gerimis. Dan aku sangat beruntung karena tidak memiliki setumpuk kenangan tentang hujan.
"Mbak Ve."
Panggilan Pak Abdul berhasil mengalihkan tatapanku dari jendela kaca yang terpasang di sebelah kiri meja kerja. Laki-laki yang berprofesi sebagai staf office boy di kantor kami itu sedang tergopoh-gopoh masuk ke dalam ruanganku dengan sebuah cangkir di tangannya. Aku sempat mendengar sebuah ketukan pintu tadi, hanya saja pemandangan di luar jendela masih menarik perhatianku.
"Ini kopinya, Mbak Ve," ucap Pak Abdul sembari meletakkan cangkir yang dibawanya ke atas meja kerjaku. "Ada yang bisa saya bantu lagi?" tawarnya sebelum pamit.
"Nggak, Pak. Makasih."
"Saya keluar dulu, Mbak Ve."
Aku mengangguk pelan ketika laki-laki itu mengundurkan diri dari hadapanku. Sesaat yang lalu tiba-tiba aku ingin meminum sesuatu yang hangat ketika gerimis mulai berhamburan untuk pertama kali. Dan pilihanku jatuh pada kopi karena hanya ada dua jenis minuman yang ditawarkan pantri kantor kami. Kopi dan teh. Kupikir kopi memiliki sensasi rasa yang menenangkan pikiran ketimbang teh.
Suara dering ponsel membuatku urung untuk menyentuh permukaan cangkir yang menguarkan aroma pahit khas kopi. Meski hanya kopi instan, namun sudah cukup untuk menarik minat indra penciumanku.
Bianca calling.
Mau apa wanita itu menelepon di jam kerja seperti ini? Menggangguku? Makan siang juga sudah terlewat sejam yang lalu.
"Halo... "
"Halo, Ve!" Bianca setengah berteriak dan hampir membuat telingaku tuli.
"Ada apa? Aku sedang sibuk," tandasku datar. Memaksanya agar segera mengakhiri komunikasi jarak jauh kami karena suasana hatiku tiba-tiba memburuk usai mendengar suara Bianca. Tapi, tentu saja dengan bahasa yang halus.
"Sibuk apa, hah? Memangnya kamu di mana? Kantor? Kamu sudah masuk kerja? Bukannya kamu sedang cuti?"
Aku menghela napas panjang mendengar serentetan pertanyaan tidak penting yang dilontarkan wanita itu.
"Aku di kantor sekarang," beritahuku setelah berhasil menyandarkan punggung di sandaran kursi. "dan kamu sudah mengganggu jam kerjaku, tahu nggak?"
"Sorry, Ve. Aku nggak bermaksud mengganggu... "
"Memangnya ada apa?" timpalku sebelum Bianca menguraikan rasa bersalahnya lebih panjang lagi. Akan lebih baik jika dia segera menutup teleponnya dan membiarkanku menikmati secangkir kopi instan seduhan Pak Abdul.
"Nggak ada apa-apa, sih."
"Kalau nggak ada apa-apa, kenapa menelepon? Buang-buang pulsa juga, kan?" celutukku sembari mengangkat cangkir dari atas meja.
"Apa Reynand sudah melakukan tugas pertamanya dengan baik?" tanya Bianca dengan nada santai. Tapi, wanita itu sudah berhasil melukis sederet kerutan di dahiku.
"Tugas pertama apa?" Aku menyesap kopiku perlahan.
"Melakukan ritual malam pertama. Memangnya apalagi?"
Fuh.
Cairan kopi yang nyaris mengalir di dalam tenggorokanku tanpa sengaja kumuntahkan kembali begitu mendengar kalimat Bianca. Wanita itu benar-benar pandai membuatku tersedak. Alhasil, meja kerjaku harus menjadi korbannya.
"Apa dia menerkammu seperti singa kelaparan?" sambung Bianca diakhiri dengan deraian tawa panjang.
Sial. Bianca ingin menguji kesabaranku rupanya. Ia sudah tahu kalau aku tidak akan pernah bisa memutuskan hubungan persahabatan kami hanya karena sebuah olok-olokan. Tapi, ini sudah keterlaluan!
"Memangnya aku domba?" celutukku sewot. Dan wanita itu terbahak kembali. Kedengarannya ia sangat bahagia sudah membuatku kesal.
"Iya," sahut Bianca setelah menyelesaikan untaian tawanya. "kamu memang seekor domba kecil keras kepala dan sedang tersesat sendirian di tengah hutan."
"Apa?!"
"Jangan tersinggung, Ve. Memang kenyataannya seperti itu, kan?" goda Bianca lagi seraya terkikik pelan.
Ya, Tuhan... Berilah aku kesabaran menghadapi wanita itu.
"Jadi, bagaimana? Kalian sudah sampai di mana?" Wanita itu mengoceh lagi. Harusnya aku tidak pernah memberinya kesempatan untuk mendominasi pembicaraan. "Kalian sudah sepakat untuk menentukan gaya saat di atas tempat tidur, kan?"
"Nggak!" Aku segera memotong dengan tegas. Nada suaraku juga lebih tinggi ketimbang Bianca. Wanita itu tidak boleh dibiarkan mengoceh seperti anak burung kelaparan. "Jangan pernah berpikir macam-macam tentang kami, Bi. Aku dan Reynand nggak pernah melakukan apa-apa. Kami menggunakan kamar yang terpisah, paham?" tandasku ketus.
"Apa?!" Ganti Bianca yang berteriak nyaring di seberang sana. Aku bisa membayangkan raut wajahnya saat ini. Pasti sangat buruk. "Kalian nggak tinggal sekamar? Memangnya Reynand nggak protes? Dia nggak menyelinap ke kamar kamu malam-malam dan melakukan sesuatu?"
Ya, ampun. Aku tidak tahu kenapa Bianca mendadak jadi menyebalkan seperti ini.
"Memangnya apa yang kamu pikirkan, hah?" hardikku kesal. Bianca tidak tahu kalau aku selalu mengunci pintu kamar sebelum tidur. Hanya saja setelah aku dan Reynand tiba di rumah baru kami beberapa hari yang lalu, aku lupa mengunci pintu karena terlalu lelah. Tapi, kenyataannya Reynand tidak melakukan apa-apa saat membangunkanku keesokan paginya. Ia bahkan tidak menyentuhku sama sekali.
"Hei, hei... Semua orang pasti akan berpikir seperti apa yang kupikirkan, Ve. Wajar kan, pengantin baru melakukan ritual malam pertama meski mereka menikah karena dijodohkan? Lagipula siapa sih, laki-laki yang nggak tertarik sama kamu? Meski kamu keras kepala, kaku, judes, dan gampang emosi, pada dasarnya kamu cantik, Ve. Tubuh kamu juga bagus. Dan aku yakin semua laki-laki akan jatuh cinta pada pandangan pertama saat melihat kamu. Reynand juga."
Aku menarik napas panjang setelah Bianca menyebutkan sifat-sifat buruk dalam diriku. Ia terlalu detail mengabsen, batinku jengah.
"Memangnya kamu nggak ingin mencicipi tubuh Reynand?" bisik Bianca di saat aku sedang menyusun kalimat untuk memutus pembicaraan kami.
"Bianca!"
Aku benar-benar ingin menyumpal mulut wanita itu dengan high heels agar ia berhenti mengoceh. Ia sudah membuat kepalaku berdenyut karena kalimat-kalimatnya. Memangnya tubuh Reynand sama dengan permen? Sebagus apapun fisik laki-laki itu, tetap saja ia orang asing yang tersesat masuk dalam hidupku. Bersiap menggoreskan luka baru di dalam hatiku yang penuh dengan bekas sayatan.
Seandainya Bianca tahu tiba-tiba perutku mual mendengar ocehan recehnya...
"Aku dipanggil Bos, Ve. Lain kali kita sambung lagi, ya."
Sambungan telepon mati sedetik kemudian.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top