#10

"Satu saja, Ve."

Aku melongo mendapat teguran keras dari bibir laki-laki menyebalkan itu. Tiga bungkus keripik kentang ukuran jumbo favoritku sudah terlanjur kulempar masuk ke dalam troli yang sedang berada dalam kendali tangan kokoh milik Reynand. Kenapa? Aku pernah berbelanja beberapa kali bersama Mas Aksa dan kakak laki-lakiku itu tidak pernah melayangkan protes pada apapun yang kumasukkan dalam keranjang belanjaan kami, tapi Reynand?

"Kamu tahu kan, kalau makanan seperti itu nggak baik untuk kesehatan?" Reynand seolah tahu apa yang harus dilontarkan sebelum omelan panjang keluar dari bibirku.

"Aku tahu," sahutku tidak mau kalah. "tapi aku nggak setiap hari makan makanan itu, kamu tahu?" balasku sengit.

Eh, Reynand malah menyunggingkan senyum. "Kamu itu paling pandai berdebat, Ve."

Baru tahu? ejekku dalam hati. Namun, sejurus kemudian Reynand memungut dua bungkus keripik kentang milikku dari dalam troli lalu mengembalikan benda-benda itu ke rak semula.

"Lebih baik kamu mengganti cemilan nggak sehat seperti itu dengan buah, Ve," ocehnya seraya mendorong troli kami maju beberapa langkah.

Oh, ho ho...

Aku masih terpaku di tempatku berdiri dan melempar senyum sinis menatap punggung Reynand. Itu hanya basa-basi! Mungkin laki-laki itu sedang berusaha keras untuk menyerupai seorang pemeran utama dalam drama. Baik, perhatian bahkan sampai pada hal sekecil apapun, sabar, dan sikap-sikap terpuji lainnya. Dan aku sudah pernah menemui laki-laki semacam itu dalam hidupku. Mereka semua sama. Baik pada awal dan akhirnya menyakiti. Seperti sebuah pengulangan.

"Hei!"

Aku mendengus dan mulai mengayunkan langkah kembali saat Reynand berteriak. Tapi, seperti yang sudah kulakukan sebelumnya, aku harus tetap menjaga jarak dengannya. Minimal 50 centi di belakangnya.

"Mau crackers gandum?" tawar Reynand mengejutkan. Membuatku nyaris menubruk punggungnya.

"Terserah," sahutku sewot. Toh, lebih baik ia yang memilih barang apa saja untuk dibeli ketimbang aku yang melakukannya. Karena pilihanku pasti akan menimbulkan protes-protes senada dari bibirnya. Selama ini aku sudah terbiasa memasukkan makanan-makanan tidak sehat ke dalam tubuhku dan sepanjang ini aku baik-baik saja. Entah jika beberapa puluh tahun lagi.

"Cincin kamu mana, Ve?" sentak Reynand tiba-tiba. Tangannya menarik jemariku dengan paksa. Tapi, nihil. Tak ada sebuah cincinpun yang melingkar di salah satu jemariku saat ia memeriksanya. "Hilang?" Laki-laki itu menatapku dengan panik.

Jadi, laki-laki itu baru sadar kalau aku sudah tidak mengenakan cincin pernikahan kami? Ke mana saja perhatiannya selama ini?

"Nggak."

"Nggak? Terus?"

"Ada di rumah. Aku memang sengaja nggak memakainya," tandasku datar. Apa aku sudah terlihat menyebalkan di matanya?

"Kenapa?" Kerutan tajam tercetak di dahi Reynand.

"Apa semua orang yang sudah menikah harus memakai cincin pernikahan mereka? Nggak ada peraturan yang mengharuskan seperti itu, kan?" Aku memancing perdebatan kecil. Itu hanya sebuah benda mati dan kurasa tidak penting menjelaskan statusku pada orang lain melalui hal semacam itu.

Reynand menghela napas panjang.

"Memang nggak ada. Nggak apa-apa kalau kamu nggak mau memakainya, asal jangan sampai hilang saja," ujarnya dengan nada rendah.

Begitu saja? batinku kesal. Bahkan dia tidak marah atau ngotot soal cincin itu. Padahal tadi aku sempat mengira Reynand akan membahas hal itu sedikit lebih panjang.

Huh.

"Mas Reynand, kan?" Seorang laki-laki bertubuh kurus, bertopi, dan berkulit hitam menghampiri Reynand. Ia bersama seorang wanita--yang kemungkinan besar adalah istri atau pacarnya--sedang menenteng keranjang belanja yang hanya berisi dua kotak tisu--mungkin sedang ada potongan harga untuk barang tersebut. "Boleh minta foto, Mas?" pinta laki-laki itu kemudian dengan penuh sopan santun.

Aku hanya mematung menyaksikan Reynand yang dengan sukacita melayani permintaan laki-laki itu untuk berfoto dengannya. Iya, seperti selebriti saja. Padahal ia hanya seorang mantan pemain sepak bola yang sudah pensiun. Apa pentingnya meminta foto dari seorang Reynand? Tapi, ditilik dari penampilannya sepertinya laki-laki bertubuh kurus itu adalah seorang penggila bola sejati.

"Kenapa di situ, Ve?" Reynand menegur setelah laki-laki itu pergi. "Kita belum belanja sayur... "

"Sudah selesai jumpa fansnya?" sindirku pedas.

Reynand menatapku dengan lagak kesal. Padahal harusnya aku yang bersikap seperti itu, bukan dia.

Aku melangkah di belakang Reynand sembari waspada untuk tetap menjaga jarak dengannya. Siapa tahu nanti ada serombongan gadis yang tiba-tiba datang dan menyerbu untuk meminta foto Reynand.

"Nanti siang mau makan apa?"

Kami sampai di area sayur dan buah. Tapi, aku tidak terlalu tertarik untuk ikut memilih dan hanya melihat Reynand mengambil beberapa ikat sayur.

"Kamu nggak sedang berencana untuk memasak, kan?" delikku curiga. Bisa jadi ia sedang berencana untuk memasak siang nanti mengingat Reynand memiliki sebuah restoran. Biasanya seseorang yang suka memasak cenderung memilih usaha di bidang kuliner.

"Kenapa?" Ia balas mendelik padaku. Dan itu membuatku kesal. "Kita bisa memasak bareng... "

"Kita?" potongku secepat kilat. Mataku melotot tajam ke arah wajah Reynand yang polos seolah tanpa dosa. "Memangnya aku pernah bilang kalau aku setuju untuk memasak?"

"Kenapa nggak? Kan itu buat makan siang kita... "

Kurasa itu adalah ide buruk yang ia rencanakan setelah berbelanja bersama. Apa ia pikir akan melakukan segalanya bersama-sama denganku setelah status kami resmi sebagai suami istri? Apa ia sudah lupa kalau bukan aku yang menginginkan pernikahan ini?

"Kamu nggak mau?" tanya Reynand di saat kedua tanganku sudah mengepal.

"Nggak!"

"Kenapa?"

Kenapa? batinku dongkol. Ia masih bertanya kenapa padaku dengan tampang datar seolah tanpa dosa.

"Aku nggak bisa masak dan nggak suka masak," tandasku tegas dan ketus. Mami tidak akan membiarkanku menyalakan kompor setelah rumah kami nyaris terbakar beberapa tahun silam. Mas Aksa juga melarang ada kompor bersarang di salah satu sudut apartemenku. Pokoknya aku hanya tahu makanan sudah siap di meja makan.

Tapi, siapa yang menduga jika Reynand malah meledakkan tawanya usai mendengar ucapanku. Kalau saja tubuhku lebih tinggi dan otot-otot di lenganku sedikit menonjol ketimbang milik Reynand, aku bersumpah sudah melayangkan sebuah pukulan keras ke salah satu bagian yang menyebalkan dari dirinya, yaitu wajahnya.

"Nggak apa apa. Nggak semua wanita di dunia ini sempurna, kok... "

"Apa?!"

"Yuk, kita harus membeli kentang dan tomat."

Aku mengembuskan napas kuat-kuat saat laki-laki itu kembali mendorong trolinya mendekat ke area yang baru saja ia ucapkan. Seperti sengaja ingin menghindari perdebatan denganku. Teruslah berlagak menyebalkan seperti itu, dan aku akan segera mendepakmu jauh-jauh dari hidupku!

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top