9. Kepada Tawa

Sabtu sore, Cakra sudah rapi mengenakan kemeja putih dan celana chino cokelat, macam orang yang punya janji kencan. Ia menumbalkan diri ke acara ulang tahun pernikahan salah seorang jaksa senior bernama Rinto Nasution. Sejak pagi ia berusaha berpikir positif, bahwa Pak Rinto adalah tipikal pria romantis yang membahagiakan istri lewat acara semacam ini di umur yang terlalu uzur. Selain memangkas waktu istirahat, bermacet-macetan di jalan pun merupakan bentuk penyiksaan.

Baiklah, Cakra pun salah satu penyumbang kemacetan tersebut. Namun, demi kerahasiaan berkas, ia butuh mobil untuk ke pengadilan. Jam kerjanya pun tak bisa senormal orang pada umumnya. Kadang ia harus mengunjungi kepolisian di larut malam atau ke TKP yang tak terjamah kehidupan, demi mendapat barang bukti lain. Cakra memasang earphone saat panggilan tersambung.

"Asalamualaikum, ada apa, La?"

"Waalaikumsalam, pacar Dila selingkuh huhuhu...."

Cakra mengusap wajah. Ia pikir ada hal genting yang terjadi di rumah. "Tinggalin aja, selingkuh itu penyakit permanen. Dia nggak akan bisa sembuh."

"Tapi Dila sayang, Bang ... huhuhu...."

"Jangan jadi perempuan bodoh. Kamu itu berharga. Kalau dia aja nggak bisa menghargai kamu yang notabenenya masih orang lain, gimana nanti?"

Ini adalah kesekian kalinya Dila merengek soal pacarnya yang berengsek. Kini sang adik terdiam lama di ujung telepon. Cakra berharap adiknya bisa berpikir lebih jernih dalam menghadapi masalah ini.

"Kenapa, sih, laki-laki kayak Abang susah banget dicari?"

"Sekarang lebih baik kamu renungin baik-baik. Abang lagi di jalan."

Dila masih terisak di ujung telepon, tetapi tak lama ia menyahut, "Ya udah, deh, nanti malam aku telepon, ya. Bye, Bang Cakra sayang."

"Sayang kalau ada maunya doang kamu."

Cakra mengarahkan setir ke kiri. Mobilnya memasuki pekarangan sebuah rumah megah. Rangkaian bunga yang bertuliskan happy anniversary to Bapak Rinto dan Ibu Irma Nasution from When The Flowers Talk terpajang di teras.

"Hehehe ... pokoknya Dila sayang Abang!"

"Iya, Abang sayang kamu juga."

"So sweet ...."

Cakra menggeleng diiringi senyum lebar. Panggilan mereka berakhir di sana. Ia keluar mobil, kemudian membuka pintu penumpang, mengambil bingkisan besar khusus dari kantor dan parcel titipan para senior. Pak Rinto sudah jarang pergi ke kantor, pekerjaannya pun diambil alih orang lain. Beliau resmi pensiun tahun depan. Cakra berharap semoga tidak mati kebosanan di tengah-tengah perkumpulan bapak-bapak lanjut usia.

***

Kenanga masih setia menampilkan senyum lima jari. Giginya sekarang kering akibat diterpa AC.

Obrolan para wanita Adhyaksa Dharmakarini sama saja dengan obrolan ibu-ibu kompleks di depan tukang sayur kesayangan. Mulai dari suami, anak, cucu, tetangga sebelah, model kebaya terbaru, tempat bros berkualitas, dan lain-lain. Namun, demi menjaga kerja sama yang terjalin, gadis itu rela-rela saja hadir di acara ulang tahun pernikahan Bu Irma. Ia bahkan meminta dua abang sepupu paling setia mengantarnya kemari, karena tiba-tiba malas membawa mobil. Kebetulan sekali Dio dan Juniko hendak pergi mengunjungi galeri milik Daniel Adhitama katanya.

"Mbak Bunga ini yang punya toko baru di jalan Sudirman. Jadi saya sekarang memasok bunga di sana saja, soalnya florist yang kemarin kerja samanya nggak menyenangkan," jelas Bu Irma pada teman-temannya yang mengangguk-angguk antusias.

Bu Irma Nasution punya sebidang tanah dan vila di kawasan Bogor yang sengaja ditanami berbagai bunga. Sejak muda hobinya bercocok tanam. Tak heran paras wanita itu pun lebih awet muda dibanding teman-teman seumurannya.

"Nanti saya mampir, ya, Mbak. Mau nambah koleksian," sahut salah satu teman Bu Irma.

"Silakan, Bu. Karena florist saya baru beroperasi, jadi ada diskon untuk beberapa jenis bunga."

Setelah mengecek ponsel, Bu Irma menariknya menjauhi kerumunan. Wanita baya itu hanya mempunyai satu anak perempuan, sudah menikah dan tinggal di luar negeri. Jadi ketika bertemu Kenanga, dia seperti menemukan anak gadis kedua.

Kenanga sendiri nyaman di dekat wanita itu. Kasih sayang mendiang Mama tak akan terganti, tetapi kehadirannya dapat sedikit mengobati rasa rindu. Lihat? Baru maju selangkah untuk keluar Atmojo Group saja, banyak hal baik menghampiri.

"Mbak Bunga, belum punya tunangan atau calon suami, kan?"

Kenanga mengernyit, lalu sedikit memaksakan senyum. Bukan apa-apa, pertanyaan ini sangat sensitif bagi kalangan perempuan seumurannya. "Belum, Bu."

"Kenalan sama junior kesayangan Bapak mau nggak? Mau saja, ya? Anaknya baik, nggak neko-neko, kok."

Kenanga mengangguk saja, sedangkan wanita baya itu mengusap-ngusap bahunya. Mereka berjalan melintasi para tamu yang umurnya kira-kira 50 ke atas. Gadis itu jadi menebak-nebak, jangan-jangan ia mau dikenalkan dengan laki-laki yang lebih tua dibanding Papa. Mereka sampai di sebuah ruang makan yang mejanya sudah ditata sedemikian rupa. Berbagai hidangan tersaji di atas meja persegi panjang yang dikelilingi puluhan kursi.

"Pa, ini Mbak Bunga yang Mama ceritakan kemarin-kemarin," kata Bu Irma pada dua orang pria yang membelakangi mereka.

Dua pria itu berbalik dan Kenanga merasa jantungnya merosot ke lantai. Ada yang salah dengan hari ini. Takdir seakan-akan tengah mengajaknya bergurau. Laki-laki berkemeja putih nonformal itu pun tak kalah terkejut darinya.

"Nah, Mas, ini yang namanya Mbak Bunga. Rekanan bisnis istri saya. Nggak nyesal, kan, malam minggu datang ke sini?"

Pak Rinto tertawa lepas sembari menepuk-nepuk bahu Cakra yang membeku. Tiga tahun sudah terlewat, ia tak pernah berpikir akan bertemu Bunga Kenanga lagi dengan cara paling tak terduga. Tentu segalanya berubah. Akan tetapi, gadis di hadapannya masih menempati ruang yang sama di kepalanya.

"Pa, kok mereka diam saja, ya?" tanya Bu Irma.

"Mereka bukan diam, Ma. Ini yang namanya proses dari mata jatuh ke hati," gurau Pak Rinto lagi. "Ayo, Mas! Kamu sebagai laki-laki harus memulai!" Ia meraih sebelah tangan Cakra, mengarahkannya pada Kenanga.

Demi menghilangkan kecurigaan Pak Rinto, Cakra mengesampingkan berbagai macam cara yang berseliweran di kepala hanya karena melihat Kenanga. "Saya Cakrawala," katanya setenang mungkin.

Kenanga bersusah payah menahan matanya supaya tak cepat berkedip. Ia takut jikalau air mata mulai menjatuhi pipi tanpa permisi dan semua orang bertanya-tanya. Ia menoleh pada Bu Irma yang tersenyum lebar. Kira-kira bagaimana cara melarikan diri tanpa dicurigai si tuan rumah?

Gadis itu memaksakan senyum. Namun, yang terulas hanyalah senyum getir. Setidaknya mengetahui Cakra masih baik-baik saja membuatnya lega. Biarpun ditusuk sembilu secara bersamaan. Gadis itu menunduk sambil perlahan-lahan menggerakkan tangan. Ia hanya terus menatap uluran Cakra, tanpa ingin melakukan kontak mata terlalu lama.

Bu Irma yang tampak tak sabar segera menarik tangan Kenanga, menyatukannya dengan milik Cakra. Demi cakrawala senja yang memberi keindahan sesaat pada langit, mungkin seperti itulah laki-laki itu. Ia akhirnya menyentuh lagi jari-jari yang dulu selalu mengisi ruas jemarinya.

"Bunga ... Kenanga."

Satu kedipan dan butiran bening lolos. Ini kabar buruk, sangat buruk. Apa jadinya kalau Kenanga mengangkat kepala? Ia segera melepaskan tangan Cakra.

"Kamu ... kurang sehat, ya?" tanya Cakra yang ikut menunduk. Berusaha mengejar pandangan gadis itu.

"Masa, sih? Tadi baik-baik saja, kok. Iya, kan, Mbak?" Bu Irma menarik pelan bahu gadis itu. "Loh ... kamu kenapa, Nak?" tanya Bu Irma panik karena wajah Kenanga banjir air mata.

Gadis itu menggeleng keras, berusaha menarik napas. Ia balik menggenggam erat tangan Bu Irma yang memegangi lengannya.

"Bunga ... Bunga nggak apa-apa, Bu." Ia menarik napas lagi karena dadanya sangat sesak. Sekarang bibirnya pun bergetar. "Bunga ... Bunga pulang, ya, Bu? Eng-nggak enak badan," ujarnya terbata-bata.

"Iya, iya. Nggak apa-apa, Sayang."

Bu Irma menyeka air mata di pipi gadis itu. Padahal sewaktu tiba, gadis itu terlihat baik-baik saja. Padahal ia pun baru saja merasa puas karena seakan-akan berhasil menyatukan kepingan-kepingan kaca retak ke bentuk semula. Ia sangat berharap si pemilik florist baru bisa duduk makan berdua dengan junior kesayangan sang suami.

"Bu ...." Kenanga memejamkan mata, meneguk ludah susah payah. "Bunga minta maaf, ya?" Ia menggigit bibir sekali lagi sebelum menoleh ke arah di mana Cakra berdiri. "Saya permisi, Mas."

Cakra tidak pernah menyangka jikalau Kenanga bisa sekacau ini pada lima menit pertemuan pertama mereka setelah sekian tahun. Ia tak pernah melihatnya menangis bahkan di hari kematian Dian Cokroatmojo. Kalau gadis itu merasa hancur karena pertemuan ini, maka Cakra dua kali lipatnya.

"Kenanga," panggil Cakra. Gadis itu berhenti melangkah. Meskipun gerakannya kecil, tetapi bahu Kenanga yang berguncang terlihat jelas. "Boleh saya antar pulang?"

"Boleh, Mas," sambung Bu Irma yang langsung merangkul gadis itu. "Ayo, Pa! Kita antar Mbak Bunga dulu sampai depan, baru mengurusi tamu lain."

***

Adhyaksa Dharmakarini: Istri Jaksa, pegawai dan pensiunan kejaksaan

Kenanga with her favorite song

Cakra dan cahaya ilahi

See ya in the next chap!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top