8. Kepada Canda
"Hei, anak muda!"
Cakra batal menyuap ketoprak karena sapaan Pak Adam yang persis suara Roma Irama.
"Siang, Pak," sapanya.
Pak Adam meletakkan sebuah tempat makan berwarna merah muda, bergambar kuda poni. "Duh, ganteng-ganteng makan sendirian. Saya temenin ya? Takut ada istri orang yang kepincut." Kemudian Pak Adam menempati kursi di depan Cakra.
"Silakan, Pak."
Cakra mengangguk sopan. Riuh para wanita yang menemaninya makan langsung lenyap begitu Pak Adam muncul. Kadang Cakra tak mengerti, kenapa rahang perempuan bisa seringan kapas? Mereka membicarakan orang yang mereka sukai di belakang, tapi intonasinya terdengar hingga ke telinga si objek.
Kadang ia pun heran. Kenapa setiap makan siang di tukang ketoprak atau soto langganan, ia selalu menjadi satu-satunya pengunjung laki-laki yang makan di tempat? Analisanya sebagai jaksa sebenarnya mudah saja menemukan siapa si penulis skenario, tapi Cakra terlanjur malas. Karena bagi para perempuan, sebatas merespons sama dengan lampu hijau. Tidak peduli sekalipun respons tersebut menunjukkan tanda ketidaknyamanan.
"Mas Cakra, coba lihat saya sama tempat makan ini." Pak Adam menunjuk kotak makan merah muda bergambar kuda poni, lalu dirinya sendiri. "Apa yang Mas pikirkan sekarang?"
Cakra langsung tersedak sambal kacang.
"Nah, itu dia, Mas! Saya enggak ngerti sama istri saya. Dia pasti tahu kotak makan ini terlalu imut buat saya yang Hercules."
Puas mencemooh si kotak makan, Pak Adam tetap membuka dan mulai menyantap isinya.
"Istri Bapak sayang sama Bapak. Takut sakit kali kalau jajan di luar," kata Cakra.
"Nah, coba lihat ini." Pak Adam sekarang membuka dompetnya di depan wajah Cakra. "Dari saya jadi Jaksa junior ganteng kayak Mas Cakra sampai sekarang. Uang saku saya cuma naik lima ribu tiap tahun!"
Cakra sulit untuk tidak nyengir karena keluhan Pak Adam. "Memang sekarang berapa, Pak?"
"Empat puluh lima ribu. Saya heran kenapa enggak digenapin lima puluh ribu." Pak Adam menggeleng pelan. "Istri saya tuh memang seribu satu. Isi dompet saya aja cuma KTP sama SIM, ATM dipegang dia semua. Saya merasa jadi laki-laki paling miskin di dunia ini."
"Berarti bensin dua puluh lima ribu, rokok dua puluh ribu?"
Pak Adam menjetikkan jari. "Benar! Katanya parkir disuruh bayar perbulan aja." Ia mengunyah sebelum melanjutkan, "Mas, nanti kalau cari istri seleksi ketat dulu. Jangan asal ketemu, dia cantik, dianya mau terus langsung ke KUA. Kita semasa muda udah ngirit sampai kuliah S2, masa begitu punya istri tambah ngirit lagi."
"Tapi istri Bapak waktu masih muda cantik 'kan?"
"Oh, jelas, istri saya paling cantik. Kalau enggak cantik ngapain saya nikahin."
Cakra tersenyum samar, kemudian lanjut menyuap ketoprak yang sempat tertunda. Ia jarang makan siang bersama teman sebaya atau senior. Bukan berarti Cakra tergolong kalangan antisosial, ia hanya lebih suka makan sendiri saja. Pengecualian jika ada Kenanga di sini.
Ah, kenapa harus Kenanga lagi? Kenapa bukan mawar, melati, anggrek, atau yang lain?
Masalahnya memang cuma Bunga Kenanga Cokroatmojo yang selalu menghiasi mimpi Cakra, bukan mawar, bukan melati, apalagi Bunga Citra Lestari. Solusinya? Server 404 not found. Baik, jangan katakan kalau ia sangat dangdut. Karena sekali lagi, Kenanga lah yang menulari kedangdutan itu. Cakra meneguk es teh manisnya. Semoga saja setelah ini tak ada pembahasan yang memicu urat-urat di pelipis keluar.
"Mas, mau enggak dikenalin sama anak sulung saya?" tanya Pak Adam.
Cakra beralih dari piring, menatap sendu Pak Adam. "Anak sulung Bapak nikah dua bulan lalu."
"Astaghfirullah, saya lupa! Kalau sama anak kedua saya gimana, Mas?"
"Anak kedua Bapak baru masuk SMP sebulan lalu, Pak. Saya bagian dari penegak hukum, masa mau melanggar hukum?"
Pria berbadan tambun itu terbahak-bahak hingga terbatuk-batuk. "Jujur, saya pengin banget kamu jadi menantu."
"Terima kasih banyak, Pak."
Topik pembicaraan ini sudah sekitar dua kali mereka bahas di kantin kejaksaan. Pak Adam merupakan salah satu tipikal atasan dengan selera humor yang agak anjlok. Namun, tak mengapa, pekerjaan mereka cukup memeras otak. Apalagi kasus pembunuhan para wanita dan gadis-gadis dengan rentang usia 19-30 tahun yang belum terpecahkan di seluruh kantor Kejaksaan Negeri.
"Oh ya, Mas. Sudah dapat undangan dari Pak Rinto?"
Dahi Cakra berkerut. "Undangan apa ya, Pak?"
"Sudah saya duga, anak muda pasti jarang baca grup kantor."
Sindiran halus tersebut membuat Cakra merogoh ponsel di saku seragam. Jujur saja, ia bukannya malas membuka grup kantor. Akan tetapi, ponsel adalah hal kesekian yang jadi kebutuhannya. Kadang hanya dikantongi saja tanpa mode suara, bahkan sekadar getar. Pengecualian di pukul 23.30 karena Cakra pasti memutar rekaman terakhir Kenanga.
"Begini, Mas, karena kami sangat-sangat sibuk di akhir pekan. Jadi kami sepakat kalau Mas Cakra yang akan mewakili Kejari kita tercinta."
Belum juga selesai membuka kunci ponsel, Cakra kembali meletakkan benda pipih itu. Sebagai junior yang patuh, tak jarang ia menjadi korban untuk hal-hal tak menyenangkan dari para senior. Mereka tak butuh kata iya atau tidak. Intinya kalau Cakra harus maju menerjang sinar laser, maka ia harus maju tanpa tapi. Pak Adam menghabiskan es teh manis kedua. Kemudian ia menutup kotak makan sambil bersiul.
"Saya duluan ya." Pak Adam menekuk sebelah tangan di depan wajah Cakra. "Jiwa muda, semangat harus membara!"
***
Kenanga mengantar kepergian Bu Irma bersama lambaian tangan, hingga mobil berwarna merah itu menjauh dari florist. Wanita tersebut merupakan salah satu pemasok bunga yang kali pertama menandatangani MoU. Ia senang bukan main, dua pelayan rumah Haris Cokroatmojo mau bergabung di When The Flowers Talk tanpa memandang gaji. Ada Siti dan Susi yang menjaga florist selama dirinya bekerja. Hari ini pun dua abang sepupu paling setia datang sukarela membantunya menata florist.
"Gue masih nggak percaya lo memilih angkat kaki dari Atmojo Group demi kayak ginian doang," kata Juniko yang memandangi keseluruhan florist bernama When The Flowers Talk.
Kenanga mengembuskan napas lelah tatkala Juniko berada di dekatnya. Ia bersedekap, lalu memiringkan kepala. Memandangi wajah menyebalkan laki-laki itu.
"Gini, ya, Ko. Kita bertiga memang klan murni, tapi yang pemikirannya murni, tuh, cuma gue sama Mas Dio. Orientasi hidup gue bukan harta sama takhta, tapi kedamaian. Karena buat gue arti bahagia itu, ya, damai."
"But money can make you happy, Ke. Jangan munafik! Lo bangun toko kecil ini aja pakai duit!"
"Lo pikir gue Bandung Bondowoso yang bangun candi tinggal manggil jin?" tanya Kenanga tak kalah sengit. Kemudian ia mengambil sebuket mawar putih dari wadah lain, menghirup aromanya dalam-dalam. "Biar imut gini, toko gue dibangun pakai tabungan deposito hasil kerja gue di London, ya. Males gue pakai gaji dari Atmojo Group, apalagi nyawa kedua. Takut nggak berkah, terus hidup gue jadi makin sengsara."
"Berkah?" Juniko menggaruk pelipis, jam Rolex di pergelangan tangannya tampak mengilap di bawah sorot lampu. "Gue nggak ngerti, hidup lo sengsara gimana, sih?"
Sewaktu dulu, Kenanga pernah beberapa kali menunggu Cakra beribadah di Jumat siang dan sering mendengar kata berkah lewat toa masjid. Laki-laki itu juga pernah berkata kalau cara orang mencari uang mempengaruhi apa pun yang terjadi di hidupnya.
"Lo bukan gelandangan, bukan anak panti asuhan. Lo cantik, berwawasan luas, berpendidikan tinggi. Jabatan lo nggak main-main, tajir juga, apa lagi, Ke?" Mata Juniko menyipit. Laki-laki itu menelitinya dari atas sampai bawah. "Lo sering bilang gue serakah, terus lo sendiri?"
"Semua orang punya masalah dan cobaan hidup masing-masing, Niko. Okelah dari segi matematika kehidupan. Gue mungkin hampir sempurna dibanding kebanyakan perempuan, tapi lo pernah menyadari ini nggak sih. Keluarga kita, tuh, nggak ada yang utuh."
Juniko mendengkus. "Itu bukan masalah penting, Kenanga. Lo dan segala materi yang lo punya udah cukup buat bertahan hidup."
Mendengar pernyataan yang persis dianut keluarga besarnya, Kenanga berdecak. "Udahlah, pulang sana, berisik doang lo di sini."
Terserah orang mau berkata apa tentang pilihannya. When The Flowers Talk harus tetap berjalan selama Kenanga masih bernapas.
Toko bunga yang Kenanga dirikan bukan sembarang toko. Tidak hanya menyediakan berbagai jenis rangkaian bunga, toko bunga mungilnya ini menyediakan 'Loker Harapan'. Sebuah lemari besar dengan banyak laci bagi pelanggan yang ingin menceritakan hal-hal yang sulit mereka ceritakan kepada orang lain dalam bentuk foto, surat, dan sebagainya. Gadis itu pun sengaja mengadakan pojok baca di dekat jendela besar, supaya pelanggan yang menunggu pesanan tidak bosan. Fasilitas pelengkap lainnya adalah mesin pembuat kopi.
"Tapi, Ke, sebenarnya ada yang lebih bikin gue nggak percaya, sih dibanding konsep hidup lo." Juniko menunjuk Dio yang sibuk di depan sana. "Wakil ketua Atmojo Group ngangkat-ngangkat pot bunga? Krakatau pasti mau meletus."
Ucapan Juniko membuatnya tertawa geli. Ia lupa kalau tadi sedang kesal. "Justru itu yang bikin Mas Dio jadi wakil ketua Atmojo Group. Dia itu ringan tangan, mau ngerjain apa aja. Nggak kayak lo yang pelit uluran tangan."
Kenanga menatap punggung Dio. Laki-laki yang dua minggu lalu berkelahi dengan ayahnya. Wajah bonyok sang kakak sepupu serta kacamatanya yang patah membuat perasaan gadis itu terkoyak. Namun, selayaknya seorang anak, ia lebih mengkhawatirkan keadaan Haris Cokroatmojo. Ia mengantar sang ayah pulang meski tak saling bicara sepatah kata pun, barulah ia menemui Dio. Sayang seribu sayang, hubungannya dan sang ayah tetap masih di titik yang sama pasca insiden tersebut.
Seketika Juniko mencebikkan bibir. "Omong-omong, lo sama Mas Dio—"
"Kita murni cuma sebagai sepupu yang saling peduli. Lagi pula Mas Dio, tuh, punya cewek yang rela dia tunggu seumur hidup—" Pandangan Kenanga terarah pada lampu-lampu yang menggantung di plafon. "Dan gue yang bakal jemput cewek itu buat Mas Dio."
"Lo peduli banget sama Mas Dio."
"Ya, karena dia juga peduli sama gue, Bambang!"
Nggak kayak lo yang mau menganggap gue sepupu dan pura-pura sok dekat, cuma demi bisa dianggap sevisi sama Mas Dio, lanjut Kenanga dalam hati.
Jajaran bunga-bunga matahari yang terletak di tengah-tengah Loker Harapan seakan-akan memanggil-manggil. Kenanga meninggalkan Juniko bersama celotehan membosankan tentang prospek kerja sama dengan Prana Corporation. Ia mengambil setangkai, lantas menciumnya sambil terpejam. Usai mengembalikan setangkai bunga matahari itu senyumnya mengembang. Ia merogoh sticky note di saku blazer, lalu menuliskan untaian kalimat yang mengalir begitu saja.
Cakrawala, benarkah kamu senja yang kunanti, malam yang menemani, dan pagi yang kutemui? - Bunga Kenanga
Usai berkedip dua kali. Kenanga baru sadar ada sesuatu yang sangat bodoh. Ia mencabut sticky note yang tadi ditempel pada pot bunga matahari.
"Ini pasti gara-gara racun Anyelir si kutu novel romance!" Kenanga mengibas-ngibaskan lembaran kertas merah muda itu di depan wajah. "Nggak mungkin gue nulis beginian huhuhu ...."
Bab ini disponsori oleh See The Stars by Red Velvet. Seperti biasa ya komen dibalas secara rapel, aku otw ngetik Anyelir, takut keburu lupa apa yang mau diceritain 😂
Makasih banget buat kamu yang masih menemani perjalanan Bunga Kenanga dan Cakrawala meski cerita ini ya gitulah ya. Jauh dari kata sempurna 😁
Akhir kata, good night and have a nice dream ❤️
Pariskha Aradi.
Juniko Nahesa Cokroatmojo (Niko)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top