7. Kepada Riuh

Silsilah klan Cokroatmojo:

1. Harshad
2. Herdian (Bokapnya Ditha dan Dio)
3. Heru (Bokapnya Juniko dan Adara)
4. Haris (Bokapnya Rendra dan Kenanga)
5. Hendra
6. Hermawan (Bokapnya Anyelir)
7. Herfan
8. Hera

"Mbak, saya mau gurame asam manis, udang bakar madu, sama sup kaki sapi. Minumnya es kelapa jeruk, esnya dikit aja, jeruknya banyakin."

Kenanga menarik senyum atas anggukan pelayan.

"Mas, gue tahu, nih, kenapa dia masih jomblo sampai sekarang." Juniko menuding hidung Kenanga. "Pacarnya pasti nggak kuat bayarin makan!"

"Heh!" Kenanga menarik dasi Juniko, hingga wajah laki-laki itu hampir menabrak bakul nasi di meja. "Mau gue sobek-sobek, apa gue sasak, tuh, lambe?!" Ia memelotot sambil mengacungkan garpu.

"Lo pikir rambut apa disasak?!"

Juniko melepas cengkeraman Kenanga sampai meja makan bergeser, menjatuhkan vas bunga serta lilin yang untungnya belum dinyalakan. Kejadian tersebut pun memicu deham wakil ketua Atmojo Group yang bak petir menyambar di siang bolong. Baik Kenanga maupun Juniko menarik senyum horor ke arah Dio sembari merapikan barang-barang di atas meja seperti semula.

"Bisa kita mulai rapat persiapan RUPS Solo?"

"Bisa, Mas," jawab Kenanga dan Juniko kompak.

Dikarenakan RUPS hanya melibatkan klan murni Cokroatmojo, maka panitia penyelenggaranya pun hanya petinggi-petinggi Atmojo Group. Dio biasa mengajak Kenanga dan Juniko saja untuk membicarakan hal-hal krusial. Sisanya laki-laki itu akan membiarkan keduanya membentuk tim baru. Baginya, RUPS yang biasa diadakan di Solo bukan bagian dari pekerjaan, jadi mereka selalu membahasnya sambil makan siang santai.

"Berikut ini RAB untuk RUPS Solo, Mas."

Kenanga menyerahkan business file yang terbuka pada laki-laki itu. Meski sudah membagikan via Google Drive, hard copy tetap wajib diserahkan sebagai bukti pengarsipan.

"Berikut ini rundown acaranya, Mas." Juniko ikut menyerahkan map clear holder pada Dio. "Oh, iya, Om Hermawan minta nyawa keduanya nggak diutak-atik, Mas."

Keluarga mereka menyebut saham yang diwariskan sejak lahir dengan sebutan nyawa kedua. Sebab mereka menganggap harta sebanding dengan nyawa.

"Ya, nggak bisa gitu, dong, Niko!" Kenanga menarik napas sebelum melanjutkan orasi. "Proyek pembangunan dia aja mangkrak semua. Belum lagi utang-utang pribadi yang mengatasnamakan perusahaan. Ditambah lagi arus cash flow yang bukan macet lagi, tapi mandek! Gaji karyawan dia aja harus memangkas anggaran kantor pusat!" Ia menoleh pada Dio, matanya menyalang. "Apa-apaan coba, Mas? Tegakkan keadilan!"

"Lo jangan emosi dulu, Ke." Juniko menyahut. "Gue, kan, lagi menyampaikan, bukan berarti gue menyetujui maunya Om Hermawan. Asal ngomongin duit sama keluarga Om Hermawan, lo pasti bawaannya emosi, heran gue."

"Jelas gue emosi. Lo pikir selain Mas Dio, kepala siapa lagi yang bakal pecah karena ulah Om Hermawan? Gue harus beresin ini sebelum dapat izin resign, tahu!"

"Kita semua sama-sama pusing. Reputasi gue sebagai tukang lobi juga anjlok mendadak. Bedanya gue sama Mas Dio bisa ngontrol emosi dibanding lo!" Juniko mengacak-acak rambut Kenanga.

"Rambut gue mahal, ya." Kenanga menyipitkan mata. "Singkirin deh tangan nista lo."

Entah kenapa Dio dan Juniko malah kompak melepas tawa. Mereka bertiga bisa duduk makan siang seperti ini sejak terjun ke perusahaan. Sebab sejak kecil mereka diajarkan kalau musuh itu sedekat nadi, tak terkecuali saudara sendiri. Jadi, semasa kecil, ketika acara kumpul keluarga besar. Mereka hanya mengenal nama satu sama lain dan saling memandang dari kejauhan.

Suara riuh denting sendok serta ocehan Juniko seketika lenyap. Seseorang yang lewat di belakang Dio menyita segalanya. Kenanga tanpa sadar menahan napas. Selera makannya pun ikut lenyap. Ia segera berdiri tegap, tak sengaja menyenggol pinggiran meja cukup keras.

"Mau ke mana? RAB kamu harus direvisi. Jangan ada bahasa beban lain-lain atau dana tak terduga di sini, ganti sekarang juga," ujar Dio seraya meletakkan business file.

"A-aku lupa banget." Kenanga menjawab tanpa memandang Dio. Pandangannya tertambat pada seseorang di sana. "Mau ke rest room sebentar!"

Kenanga berjalan tergesa-gesa, hampir menabrak seorang pelayan. Restoran ini cukup luas, ia mengedarkan pandangan bersama jantung yang berdegup tak keruan. Matanya sekarang terasa panas, buku-buku jarinya memutih karena memegang erat blazer.

Kenapa mereka harus berjumpa di sini? Gadis itu meraup pasokan oksigen sebanyak mungkin. Dio dan Juniko tak boleh melihatnya dalam keadaan begini. Ia menggigit bibir bawah, kemudian melanjutkan langkah. Ternyata orang itu masih sanggup menebar duri dalam daging usai sekian lama tak bertemu.

Anehnya, usai sekian detik terlewat Kenanga justru kembali rileks lebih cepat. Tanpa terasa, ia sampai di bagian ruangan lain dari restoran. Lewat dekorasi dan privasi yang terasa, harga reservasinya mungkin lebih mahal dibanding yang ia pilih. Langkahnya berhenti di dekat sebuah meja setelah menemukan orang itu.

"Mas Haris ternyata di sini," ucap Kenanga usai menutup kedua mata pria paruh baya yang duduk membelakanginya. Ia membungkuk, mendekatkan wajah sambil bersitatap dengan wanita di seberang sana yang memancarkan api membara lewat tatapan. "Mas, kok, nggak pernah datang? Aku kesepian ... rindu sama kecupan manis kamu."

Kenanga mengecup sebelah pipi papanya, lalu tersenyum puas karena wanita itu langsung berdiri dengan tangan mengepal.

"Siapa kamu!" seru wanita itu, wajahnya merah padam.

Kenanga berdiri santai, karena Haris lekas menepis tangannya. "Daun mudanya Mas Haris." Satu sudut bibirnya terangkat sempurna, kemudian ia menggulung helaian rambut dengan jari. "Tante sendiri siapa?"

Seperti yang Kenanga duga, wanita itu bergegas pergi membawa sekian ton amarah. Papa meneriaki nama wanita itu, hendak mengejar, tetapi justru kembali berdiri di hadapannya. Mereka saling berhadapan dalam gejolak emosi terpendam. Detik itu juga, ia seolah-olah tak lagi mengenal ayah kandungnya.

"Ngapain kamu berlagak jadi perempuan simpanan?!"

"Papa yang ngajarin aku secara langsung!" jerit Kenanga. Matanya terpejam tatkala Haris mengangkat sebelah tangan. Kenanga tak peduli seberapa sakit rasa tamparan sekaligus malu di muka umum. Biar saja semua orang tahu seberapa hancurnya keluarga Haris Cokroatmojo. Biar sama semua orang tahu betapa brutal dirinya.

Perlahan ia membuka mata karena panas tak juga menjalari pipi. Ternyata tangan papanya ditahan oleh Dio yang berada tepat di sampingnya entah sejak kapan.

"Menampar anak gadis adalah hal yang tidak pantas dilakukan seorang ayah," kata Dio dengan nada dingin seraya mengempaskan tangan Haris. "Sanksi merusak nama baik Atmojo Group masih berlaku."

"Sialan!" Haris mencengkeram kerah kemeja Dio, menuding wajahnya. "Jangan ikut campur kamu!"

"Aku turutin semua keinginan dan ambisi Papa!" jerit Kenanga lagi, tanpa memedulikan kehadiran Dio dan kerumunan yang tampak shock. "Tapi apa yang aku dapat? Cuma rasa mau mati, Pa!"

Tidak cukupkah kepergian mamanya menjadi luka yang menganga lebar? Hingga detik ini pun ia tak pernah tahu cara menutupinya. Tidak cukupkah masalah Rendra menjadi beban tak kasatmata?

Benarkah nama itu mempengaruhi hidup pemiliknya? Kalau iya, berarti benar, hidupnya memang harus berkawan dengan lara. Karena bunga kenanga hanyalah hiasan di area pemakaman yang dipenuhi tangis dan kepiluan.

Dulu Kenanga masih memiliki Cakrawala Pradipta sebagai tempat pulang. Laki-laki yang bersedia hadir tidak hanya ketika semburat senja atau magenta muncul. Dialah satu-satunya langit yang mampu menampung segala kekacauan pikiran dan kegelisahan hati, menjadikannya warna-warna pelangi tatkala badai tetap menerpa. Namun, sekarang ia sendirian, berlari tanpa arah seperti orang gila.

"Kenanga!"

"Lo ngapain ngikutin gue?!" Kenanga berusaha mengempaskan cekalan Juniko yang memaksanya berbalik. "Lepas, Niko!"

"Nggak," ucap Juniko pelan. Laki-laki itu menyentuh bahu Kenanga, lalu sedikit menunduk. "Kita datang ke sini bertiga, pulang juga harus begitu. Sekarang tolong ikut gue ke dalam, intuisi gue bilang Mas Dio tonjok-tonjokkan sama Om Haris karena membela lo. Jadi cuma lo yang bisa menengahi dua gladiator itu, ngerti?"

***

Terik matahari tidak begitu menyengat, tetapi perut keroncongannya cukup berisik. Kalau bukan hari Jumat, Cakra pasti lebih dulu menghampiri tukang ketoprak atau soto sejak pukul 12.00 tepat. Langkahnya menjadi tiga kali lebih cepat begitu salat Jumat berakhir. Di tengah jalan, ia berpapasan dengan anak laki-laki berseragam putih biru. Tampak baru pulang sekolah, tetapi wajahnya lebam.

Entah anak itu berkelahi karena apa, Cakra teringat wujud dirinya sendiri sewaktu pernah mengenakan seragam itu. Sekolahnya dulu terletak di kabupaten, sehingga butuh perjalanan panjang untuk sampai tepat waktu. Jarak dari rumah ke jalan besar saja memakan waktu 30 menit dengan jalan kaki. Belum lagi harus dua kali naik kendaraan umum. Ia selalu berangkat selepas subuh dan salat di jalan. Sekalipun dibekali uang saku, Cakra memilih menyimpannya supaya bisa melanjutkan SMA di Medan setelah lulus.

Kepergian sang ayah membawa banyak dampak, tidak hanya di sisi ekonomi keluarga, tetapi juga kabar burung paling tak menyenangkan.

"Cakra mau jadi preman?" tanya Ibu saat mengobati luka-luka di wajahnya. Ia baru saja berkelahi dengan anak kurang ajar yang mengejek mendiang ayahnya.

Setelah terdiam lama dan menghindari tatapan Ibu, Cakra bertanya lirih, "Apa Cakra harus diam kalau mereka bilang Bapak teroris?"

Ibu mengusap lembut kepalanya. "Nak, berkelahi itu tetap tidak ada manfaatnya. Kalah jadi abu, menang jadi arang. Lagi pula, orang yang paling kuat itu adalah orang yang bisa mengendalikan emosi."

Cakra mengangkat wajah, sudut matanya sedikit basah. "Bu, Cakra nggak mau Bapak dihina. Bapak itu polisi, bukan teroris."

Ibu tersenyum lebar, kemudian meraih kedua tangannya. "Kalau Cakra sayang dan bangga sama Bapak, Cakra harus berusaha keras gapai cita-cita, supaya usaha Bapak tidak sia-sia."

Cakra kembali tertunduk. "Cakra minta maaf, Bu."

"Nak, satu yang harus kamu ingat. Tidak semua kebaikan kita dipandang baik oleh orang lain dan tidak ada yang bisa menghargai kita sebaik diri kita sendiri. Cakra mengerti, kan?"

Salah satu wejangan Ibu tentang menghargai diri sendiri itu dipegangnya sampai mati. Kemudian sepiring ketoprak yang diletakkan sang penjual melenyapkan lamunan masa kecil Cakra. Ia memindai jalanan sejenak, lantas mengeluarkan ponsel.

To: Kenanga
Ikan hiu terbang melayang
Selamat makan siang, Sayang

Ah, ya ... Cakra baru ingat kalau nomor Kenanga sudah tidak aktif sejak beberapa tahun lalu. Sekali lagi, ia tersenyum tipis menatap layar ponselnya.

A/N:
Oke, jadi when the flowers talk memang mengandung banyak flashback ya say. Karena apa ya ... di sini aku mau ngenalin Kenanga-Cakra lewat masa lalu mereka dulu gitu 😁

Oh ya, sudah ada caution di depan juga nih; buat yang enggak sanggup mengenang mantan jangan baca ini 🤣 mereka berdua bakal ketemu nanti kok sebagai opening konflik utama dan kelarnya alur-maju mundur syantik. Oke?

Oh ya, khusus buat shiper wenyeol, aku minta maaf yang sebesar-besarnya yak 😁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top