6. Kepada Sepi

Selain semilir angin, patung rajawali kesayangan keluarga besarnya ikut menyambut. Rumah megah ini terasa suram sejak kepergian mendiang sang ibu.

Kenanga hanya tidak pernah menyangka kalau Mama tak bisa menemaninya berjalan ke altar suatu hari nanti. Waktu terus bergulir tanpa memedulikan lukanya sudah tertutup atau belum. Ia tak menangis ketika peti Mama dikubur. Ia hanya terisak dalam kesendirian.

Ternyata benar, sepi mampu menguak pintu kenangan. Karena sekarang ia tengah mengingat hari pertamanya menaiki sepeda roda dua. Ada Rendra yang tak henti-henti mengoloknya. Ada papa dan mamanya yang tersenyum bangga. Gadis itu bagai berdiri di antara dua dimensi, karena setelah berbalik ia melihat mobil Dio meninggalkan pekarangan rumahnya. Bukan salah laki-laki itu jika tak sanggup berada lebih dari lima menit saja di sini. Mereka berdua punya luka menganga yang sama.

Kenanga sangat setuju dengan anggapan kakak sepupunya itu bahwa Klan Cokroatmojo mewarisi darah yang mengandung banyak kesialan.

Dio:
Jangan lupa makan.
Karyawan kita bisa demo kalau kamu sakit dan belum juga ACC permohonan anggaran gaji.

Kenanga tersenyum samar. Mungkin sampai kapan pun, ia tak akan pernah bisa membenci laki-laki itu sekalipun dibuat kesal setengah mati. Usai memasukkan ponsel ke blazer, ia berjalan menembus keheningan. Pintu utama rumah terbuka, bahkan sebelum ia menekan bel. Ada Pak Kirno dan Mbok Surti yang mengembangkan senyum di ambang pintu.

"Selamat datang, Non Kenanga," sapa mereka.

"Hm ... so sweet banget, sih ...."

Gadis itu memeluk penghuni tetap rumah Haris Cokroatmojo. Miris memang, rumah semegah ini nyatanya dicampakkan dan ditinggalkan pemiliknya. Ia memilih tinggal di apartemen begitu pulang ke Indonesia, sedangkan papanya entah berada di rumah wanita mana. Jikalau Dio masih punya tempat pulang, rumah di mana ada Pakde Herdian dan Sabrina atau rumah di mana ada Bude Deasy serta anak-anak panti. Kenanga tidak. Ia hanya pulang untuk mengenang orang yang dulu pernah menyambutnya sepulang sekolah.

Pak Kirno dan Mbok Surti mengajak Kenanga ke ruang makan. Mereka bercerita kalau sudah menyiapkan hidangan favoritnya sejak sore, setelah ia menelepon kalau akan pulang ke rumah. Kenanga mirip seperti rumah ini, tampak menyenangkan dari luar. Akan tetapi, hanya ada dingin dan sepi yang mencekam di dalam.

"Eh, gimana Mang Ujang? Jadi ngelamar pacar bulan depan? Jangan lupa kabarin Kenanga tanggalnya, lo," ucap Kenanga lantas memindahkan 15 tusuk sate kambing ke piring.

"Ujang katanya masih galau, Non," sambar Siti, sebab yang ditanya hanya meringis.

Kenanga berdecak. "Gimana, sih, Mang, galau terus. Perempuan cuma butuh kejelasan dan menunggu sesuatu yang nggak pasti itu melelahkan."

Meja makan seketika dipenuhi gelak tawa mengolok-olok Ujang—salah satu satpam gerbang belakang. Beginilah suasana meja makan setelah Mama meninggal dunia, Rendra terjebak di RSJ, dan Papa entah di mana. Kenanga selalu mengajak semua penjaga rumah dan pelayan untuk makan bersama. Kalau umumnya grup keluarga di aplikasi perpesanan berisi keluarga inti, ia mengisi grup keluarga dengan nomor telepon seluruh pelayan di rumah.

"Ujang belum bisa bawa mobil, takut ditolak camer, Non," gurau Ujang.

"Mobil banyak, tinggal pakai aja, Mang. Dibawa doang, kan?" Kenanga menyambut gurauan laki-laki yang terpaut tujuh tahun di atasnya itu. "Ajak camer jalan-jalan ke tempat wisata, udah pasti diterima. Yang penting, kan, judulnya tetap bawa mobil, Mang."

"Ya, itu, sih, dunia tipu-tipu lagunya Veni Nur, Non!" seru Pak Kirno.

"Ih, kok, Bapak tahu aja lagu dangdut," sahut Kenanga diiringi tawa, lantas memindahkan sate kambing ke piring Siti. "Biar gemuk dikit, Ti." Ia mengedipkan mata setelahnya.

"Ya ampun, Non ... Siti udah over banget, nih. Nanti kalau kebaya Siti nggak muat gimana, Non?"

"Nikahnya pakai daster, Ti!" seru Pak Anjar, salah satu tukang kebun.

Karena tertawa saking kerasnya, Kenanga tersedak sambal kecap. Semua orang di meja makan seketika menawarkan segelas air. Mbok Surti menepuk-nepuk pelan punggungnya. Gadis itu tahu mereka bukan sedang mencari perhatian demi kenaikan gaji. Ia dapat merasakan itu, karena dirinya sendiri tak pernah berpura-pura baik terhadap mereka semua.

"Oh, ya, buat yang udah bosan jadi pegawai Bapak Haris bisa kirim lamaran ke toko bunga, ya, hehehe," kata Kenanga sesudah mereka menghabiskan hidangan makan malam.

"Siap, Non!" Semua penghuni meja makan serempak berseru.

"Pokoknya ke mana Non pergi, kita ikut!" tambah Mang Ujang.

***

Dulu kita tertawa tanpa tapi
Sekarang kita punya sejuta tapi untuk sekadar menatap satu sama lain

Kenanga menutup note di ponsel. Ia menggeletakkan benda pipih itu ke sembarang tempat. Sepi lagi-lagi membawa Kenanga pada satu waktu di mana Cakra masih jadi bagian dari hari-harinya.

"Kak," panggil Kenanga.

Cakra menjawab lewat gumaman.

Kenanga menoleh, meneliti paras laki-laki yang menjulang tinggi di sebelahnya. Selain Dora, Cakra kadang-kadang meledeknya dengan julukan roll on Rexona sambil mengangkat sebelah tangan ketika mereka jalan berdua. Tak mau kalah, ia akan balas meledek Cakra si titisan tiang listrik. Lengkap sudah daftar ledekan mereka, kan?

"Kalau udah lulus kamu bakal pulang ke Padang?"

"Mau ikut CPNS dulu."

"Kalau lulus CPNS, tuh, bisa langsung pilih penempatan?"

Entah mengapa, Kenanga memikirkan bagaimana hari-harinya terlewat tanpa raut serius Cakra seperti ketika menerangkan rumus matematika. Padahal ia tak berniat menggantungkan hidup pada laki-laki itu.

"Kenapa kamu nanya itu?"

"Nggak mau LDR," jawabnya lirih.

Kenanga berjalan mendekati pembatas jembatan. Ia harus memuntahkan kegelisahannya sekarang juga. Ia tak menyukai jenis perasaan semacam ini. Masa bodoh bila Cakra meledeknya berlebihan atau apa pun itu. Berbagai macam kendaraan melintas di bawah sana, suaranya tidak terlalu bising. Mungkin sudah terbawa angin?

"Nggak mau apa tadi?" Cakra mengikutinya bersandar pada pembatas jembatan.

Usai menarik napas, Kenanga berkata pelan, "Nggak mau LDR, Kak."

"Apa tadi?"

"Nggak mau LDR, budek!"

Bibir Kenanga mengerucut, laki-laki itu sengaja memintanya mengulang kalimat yang sama sebanyak tiga kali. Mungkin ini acara balas dendam tersembunyi, sebab ia sering memintanya mengulang rumus-rumus tercepat yang guru privatnya itu jabarkan. Ia melirik dan menjumpai senyum tipis laki-laki itu.

"Memang kenapa sama LDR?"

"Takut putus."

"Kenapa takut putus?"

Seketika Kenanga menginjak gemas kaki Cakra. "Masa kayak gitu aja ditanya!"

Begitu tawanya mereda, Cakra bertanya, "Masa aku nggak boleh tahu isi hati kamu?"

Pertanyaan itu justru membuat Kenanga bungkam. Ia langsung memalingkan wajah.

"Kenanga, kamu masih umur delapan belas tahun bahkan belum genap. Aku sendiri belum genap dua puluh tahun. Kita sama-sama pelajar. Hal yang seharusnya kamu khawatirkan bukan tentang kita akan putus suatu hari nanti—"

"Aku tahu, kok. Kakak tetap sama kesibukan di kampus, aku tetap sama kesibukanku buat lulus SMA. Nyatanya kita nggak mengubah apa pun selama ini, tapi apa aku nggak boleh merasa takut kehilangan?"

"Aku nggak akan ke mana-mana, Kenanga. Kalau memang kamu mau jawaban yang semacam itu."

"Kenapa Kakak bisa yakin? Kata orang hati itu nggak bisa dikendalikan."

Kenanga menggeleng cepat, mengenyahkan ingatan tersebut dari kepala. Ia tak ingin mengulang jawaban Cakra di malam itu. Kenapa waktu belum juga menghanguskan kepingan ingatan tadi? Gadis itu tak pernah mengerti bagaimana waktu bisa begitu menyebalkan. Ia menyeret kaki keluar kamar, lantas berdiri terpaku di ambang pintu kamar mendiang Mama. Perabotan di dalamnya utuh, tetapi tetap terasa kosong.

Sekali lagi, Kenanga tak membiarkan air mata benar-benar menjatuhi pipinya. Ia segera menguak pintu lemari, lalu mengambil sebuah sweter di sana. Kenanga menghidu aroma yang tersisa pada setiap rajutan, membiarkan isakan lirih menjadi bahasa rindu yang ingin ia sampaikan pada Mama.

"Ma, aku pulang."

Have a great day ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top