5. Kepada Bintang

Cakra menyandarkan punggung, sebelah tangannya menggenggam setir. Ia menatap lekat minimarket bersama pertanyaan yang bak angin puting beliung. Berputar hebat di atas kepalanya. Apa Cakra terobos saja pintu itu? Namun, apakah Kenanga yang ia pikirkan dan Dio bicarakan adalah orang yang sama? Kalau bukan, berarti kebodohannya semakin parah.

Kalau benar sama, terus gue mau ngapain?

Getar ponsel menghentikan monolog Cakra. Nama Dila tertera di layarnya. Ia memijat-mijat pelipis. Bukan tidak ingin mengangkat, hanya saja telepon dari Dila biasanya melibatkan pertanyaan-pertanyaan semacam kapan pulang dan kapan bawa calon istri oleh ibunya.

"Halo, Assalamualaikum."

"Walaikumsalam, Uda dima kini? Ama mananyo Uda se taruih," sembur Dila di ujung telepon dengan suara tengah menahan kesal. (Walaikumsalam, Abang lagi di mana? Ibu nanyain Abang terus nih)

"Uda baru pulang karajo. Yolah, Dila agiahan HP ka Ama. Uda nak mangecek sabanta." (Abang baru pulang kerja. Ya sudah, Dila kasih HP-nya ke Ibu. Abang mau bicara sebentar)

Terdengar suara Dila yang memberi tahu Ibu bahwa Cakra ingin bicara. Sejak menempuh S-1, S-2, sampai lulus pendidikan jaksa, ia selalu pulang di menjelang hari kelulusan untuk menjemput ibunya. Bukan apa-apa, pulang ke tanah Minangkabau tentu saja butuh merogoh kocek lumayan dalam. Sebagai pejuang di tanah rantau, ketika pulang ke kampung halaman dengan tangan kosong itu rasanya seperti membawa aib. Kurang lebih pandangan masyarakat di kampungnya tentang seorang perantau yang pulang ke kampung halaman pastinya adalah orang-orang yang sudah sukses.

"Halo, Cakra. Baa kaba? Lai sehat se?" (Halo, Cakra? Gimana kabarnya, sehat 'kan?)

"Alhamdulillah, lai sehat se. Ama baa kaba?" (Alhamdulillah, sehat. Kabar ibu gimana?)

"Ama sehat, cuma takana Cakra se." Terdengar helaan napas Ibu. "Baa kok dak amuah pulang? Apo ka jadi Malin Kundang?" (Ibu sehat, cuma kangen Cakra aja. Kenapa sih enggak mau pulang? Mau jadi Malin Kundang?)

Senyum Cakra mengembang. Sering kali rengekan ibunya menjadi pewarna di ujung hari yang penat.

"Bukan dak amuah pulang, Ma. Cakra pasti pulang, Ama dak usah cameh." (Bukan enggak mau pulang, Bu. Cakra pasti pulang, Ibu jangan khawatir)

"Bilo? Cakra jan bajanji-janji taruih. Kalau umua Ama dak panjang. Baa lai?" (Kapan? Cakra jangan janji-janji terus. Kalau umur Ibu ternyata enggak panjang. Gimana?)

Selalu saja, alasan ini selalu ibunya utarakan tiap mereka bicara via telepon.

"Astaghfirullah, Ma. Dak buliah mangecek mode itu taruih. Cakra sayang samo Ama. Beko Cakra pulang hari rayo idul fitri." (Astaghfirullah, Bu. Jangan ngomong gitu terus. Cakra sayang sama Ibu, Cakra pulang Idul Fitri nanti)

"Yo bana yo?" (Benar ya?)

"Iyo, Ma. Insyaallah. Cakra matian telepon dulu yo. Ka pai ka rumah dinas, soalnyo sadang di jalan." (Iya, Bu, insyaallah. Cakra tutup teleponnya ya? Mau ke rumah dinas, soalnya lagi di jalan)

Selama panggilan berlangsung, Cakra memerhatikan perempuan yang keluar-masuk minimarket. Tak satu pun dari mereka yang memiliki kemiripan dengan Bunga Kenanga Cokroatmojo. Mau dipaksakan bagaimanapun, bahkan sekalipun Cakra bisa membelah laut merah, mungkin mereka memang tidak berjodoh.

"A ... yolah .... Cakra elok-elok di jalan." (Ya sudah Cakra hati-hati di jalan)

"Yo, Ma. Ama jago kesehatan, jan banyak pikiran. Assalamualaikum." (Iya, Ibu jaga kesehatan ya, jangan banyak pikiran. Assalamualaikum)

***

Kenanga melepas kacamata hitam setelah memastikan kepergian mobil Cakra. Kegiatan mengintip yang sempat dicurigai beberapa pegawai minimarket membuat ia terpaksa mengarang narasi super ngaco.

"Tolong, Mbak. Saya lagi enggak mau ketemu mantan suami saya yang psikopat itu," ucapnya sambil menunjuk Cakra yang tadi hendak memasuki mobil. "Please, tolongin saya. Saya juga belanja di sini kok, bukan numpang ngadem," pintanya bersama wajah memelas macam anak itik kehilangan induk. Tak lupa menyatukan kedua tangan di depan dada.

Ada hal yang sangat ingin Kenanga hindari, tatapan Cakra dan kenangan mereka. Kedua hal itu bisa dibilang bagai nuklir simpanan Rusia yang apabila terjadi perang dunia ketiga, maka enam puluh miliyar populasi manusia akan binasa. Hebat 'kan? Kenanga menarik napas sambil meletakkan belanjaannya di meja kasir. Bagi Cakra mungkin ia hanya sebatas perempuan bodoh yang naif. Akan tetapi, baginya laki-laki itu adalah bintang kehidupan yang menerangi suramnya dunia ini.

Oke, Kenanga memang dangdut, tak perlu diragukan lagi. Ia pun wujud nyata perempuan bodoh yang cuma punya satu hati dan digadai di tempat yang salah pula.

"Mas," panggil Kenanga seraya mengetuk-etuk kaca mobil.

Sekian detik, Kenanga merasa ada sesuatu yang janggal. Ia mengambil ponsel di saku blazer, lantas mengaktifkannya kembali.

Mas Dio:
Lagi makan, jangan dicari, jangan diganggu.
Angel lecet, potong gaji.

"Emang majikan lo tuh paling ngeselin sedunia, Njel!" Kenanga menendangi mobil sang kakak sepupu. "Gue nahan lapar setengah mati di dalam, dia enak-enakan makan! Gue sumpahin jadi budak Atmojo Group sampai Aki-aki!" Ia menendangi ban mobil berkali-kali sampai flatshoes-nya menganga.

"Astaga! Kenapa bisa-bisanya lo ikutan lapar sih?! Gue aja belum makan, masa harus ngasih makan lo dulu?" Kenanga melepas sepatunya, lalu duduk memeluk lutut bersama tangisan nista di samping Angel. "Huhuhu, suamiku mana ... suamiku ke mana ...."

"Loh, Mbak kenapa?"

Kenanga mendongak. Di depannya berdiri pria baya yang mengenakan topi, rompi, serta pluit menggantung di leher. Seingat Kenanga tidak ada tukang parkir di area minimarket tadi. Mungkinkah ini yang dinamakan tukang parkir ghaib? Tiba-tiba bisa muncul ketika parkiran mulai ramai.

"Pak, lihat cowok ganteng-ganteng manis, tajir, muka kalem, pakai jas rapi yang punya mobil ini, enggak?" Kenanga mengusap air mata buayanya. "Kalau iya, bilangin dia saya butuh sandaran sekarang. Bilangin dia, kalau saya enggak suka digantung, dijemur, apalagi di musim hujan. Bilangin dia juga, kalau sampai hitungan ke empat enggak datang--" Ia menunjuk diri sendiri. "Saya mau lompat ke Kalijodo! Biar dia enggak punya jodoh!"

Tukang parkir tadi melongo. Sementara laki-laki yang baru saja datang berada di antara setengah syok dan menahan malu.

"Gini, Neng--"

"Pak, sa-saya yang punya mobil ini," ujar Dio cepat seraya menyentuh bahu si tukang parkir. "Sebelumnya terima kasih banyak." Ia menyelipkan lima puluh ribu ke tangan tukang parkir ghaib.

"Ya ampun! Kamu ke mana aja suami?" Kenanga berdiri, mengguncang-guncangkan kedua lengan sang kakak sepupu. "Aku nunggu kamu di sini lama banget! Aku pikir kamu kepincut jagung bakar! Tahu 'kan Mas, janda tanggung baru mekar--"

Setelah pintu mobil terangkat, Dio mendorong gadis ceriwis itu tanpa memedulikan jenis-jenis igauan pasien RSJ yang terlontar.

"Mas! Kamu mau ngapain aku sih?" jerit Kenanga. "Enggak bisa di rumah aja ya? Mas, sakit, Mas!" Kepalanya terantuk, tapi Dio pura-pura tuli. "Mas, aww, Mas--"

Saat berbalik mengusap wajah, Dio terpaku berhadapan dengan tukang parkir yang sekarang menganga lebar-lebar.

"Itu ... pintu mobilnya ...." Si Bapak menunjuk mobil Dio bersama raut wajah yang sulit didefinisikan. "Saya baru pertama kali lihat yang begitu ...."

Dio meringis. "Makasih banyak, Pak." Ia lagi-lagi menyelipkan selembar uang lima puluh ribu.

Hal-hal memalukan sejenis tadi sering kali terjadi ketika mereka pergi berdua. Untungnya tiap bertemu investor atau rapat di luar kantor, Dio hanya perlu membawa Dinda dan Juniko. Ia melirik Kenanga yang sejak tadi bersedekap sambil buang muka. Boleh jadi Kenanga kumat di luar mobil, tapi begitu masuk dia tak bersuara sama sekali.

"Kenapa kamu?"

"Mas Dio jangan pura-pura enggak tahu. Heran deh sama laki-laki, hobinya tuh enggak peka padahal matanya sepasang."

Dio menyeringai. "Jadi benar tadi itu Cakra?"

"Menurut ngana???"

"Kalau memang dia udah enggak berharga. Kenapa kamu harus peduli sama kehadiran dia?"

Kenanga diam menikmati lampu-lampu jalanan yang terlewati. Peduli? Ia mengulang satu kata itu dalam hati.

"Aku terusik, bukan peduli, Mas," jawab Kenanga pada akhirnya.

"Pernah dengar enggak istilah orang yang kamu cinta sama benci itu beda tipis? Mereka sama-sama melekat di kepala dan hati."

"Sekarang Mas ganti profesi jadi pakar cinta recehan?"

Mata mereka bersirobok, tetapi bukan dalam artian romantis. Kenanga sedang mempertahankan harga diri, sedangkan Dio tengah mengulik kejujuran adiknya.

"Sampai kapan mau kayak gini?" tanya Dio. "Jangan sampai kamu menyesali keputusan bodoh yang kamu ambil saat emosi. Ayo, dewasa, Kenanga. Hadapi, bukan hindari."

"Mas sendiri apa? Lari dari janji ke Kak Caca 'kan?"

"Ini soal masalah kamu. Pahami dulu, Kenanga."

Kenanga kembali bersandar setelah sempat duduk tegap. Ia memindai pemandangan kawasan Pantai Indah Kapuk. Berharap ombak yang bergulung sanggup mengikis kekacauan dalam benak.

"Kalau gitu jangan bicara soal masalahku, sebelum Mas menyelesaikan masalah Mas sendiri."

Gadis itu membuka kaca jendela secara kasar, kemudian mengarahkan wajah ke luar. Berharap angin malam dapat mengeringkan bendungan air matanya.

***

Kayaknya enggak perlu pakai translate juga udah bisa dimengerti ya maksudnya ke mana. Btw, berhubung bahasa Minang beda-beda, Cakra nih pakai yang asal Solok, Payakumbuh.

Okelah. See yaa in the next bab 😁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top