4. Kepada Bulan
"Kenanga, cita-cita kamu apa?" tanya Cakra pada pertemuan pertama mereka di ruang tamu rumah Kenanga sebagai guru les privat dan calon muridnya.
"Punya keluarga harmonis yang bahagia."
Jawaban itu membuat senyum Cakra melebar tanpa diminta. Gadis bertubuh mungil, berpipi gembil, dan berponi mangkuk di seberang sana ternyata lucu juga.
"Serius, Kak, tapi ada tugas mulia, sih, dari Papa," lanjut Kenanga sambil tertawa. "Katanya aku cocok jadi manajer keuangan Atmojo Group. Aku memang tertarik sama manajemen, akuntansi, dan bisnis, sih. Jadi, ya ... aku bakal ikut kata Papa."
Cakra mengangguk-angguk. "Cocok, kok."
"Cocok apanya, nih, Kak?" Kenanga bertanya dengan mata berkedip-kedip dan senyum melebar.
"Cocok jadi manajer keuangan."
"Oh ... kirain cocok yang lain."
Gadis itu langsung menutup bibir dengan sebelah tangan. Matanya melirik ke kanan dan kiri. Sementara Cakra hanya tersenyum sewajarnya sambil menarik napas. Ia berdoa dalam hati semoga saja tujuan awalnya tidak berantakan.
"Ma, Kenanga ngapain dikasih guru cowok, sih? Tukang rujak aja digombalin, apalagi gurunya!"
Kenanga seketika memelesat ke depan pintu karena teriakan tersebut. "Mas Rendra, tuh, Ma! Masa berangkat kuliah nggak pernah mandi! DASAR WEDUS GEMBEL!" teriaknya sambil berkacak pinggang.
Senyum, tingkah konyol, dan suaranya. Cakra sulit melupakan itu semua. Mau bagaimana lagi? Nama gadis itu saja bagian dari kenangan tanpa huruf n di ujung kata. Ia mendongak, meneliti rembulan yang pernah menemani mereka jalan berdua di trotoar.
Bulannya masih sama, Ke. Sayangnya kita udah nggak.
Cakra menyesap kopi dari paper cup-nya. Jalan raya di depan minimarket masih ramai lancar. Ia tidak begitu suka minum kopi di kafe, terlalu ramai untuk sekadar melepas kerumitan isi kepala.
Besok Dea akan menjalani sidang skripsi, sedangkan Dila masih mengurusi judul skripsi. Agak sedikit melegakan bahwa ia bisa membiayai dua adik perempuannya sampai ke jenjang sarjana. Hanya saja tugas Cakra belum selesai sampai di sana. Sebagai satu-satunya kakak laki-laki sekaligus tulang punggung keluarga, ia wajib menjabat tangan siapa pun laki-laki yang akan menjadi calon suami adik-adiknya di depan penghulu.
"Boleh numpang duduk di sini, Mas?"
Laki-laki berkemeja putih dan celana hitam menghampirinya. Ada kesamaan di antara mereka, yakni sandal jepit Swallow bertali hijau.
"Silakan, Mas," sahut Cakra.
Setelah duduk, laki-laki itu menggeser sebungkus Sampoerna Mild sekaligus pemantik. "Rokok."
"Makasih, lagi puasa."
Laki-laki itu langsung tertawa. "Sama kalau gitu."
Cakra mengernyit, tawa laki-laki itu menularinya. Ia meletakkan paper cup sambil bertanya, "Lagi nunggu istri?"
"Bukan, lagi nunggu majikan saya. Bosan juga di mobil. Kayaknya dia masih dua jam lagi di dalam."
Cakra memperhatikan area parkiran minimarket. Hanya ada dua mobil di sana, mobilnya dan sebuah Lamborghini Veneno. Tampang laki-laki tersebut sejujurnya agak sulit dipercaya kalau hanya berprofesi sebagai sopir. Ya, tetapi apa haknya menilai profesi orang?
"Majikan perempuan, ya?" tebak Cakra.
"Iya. Omong-omong, warteg yang enak sekitar sini di mana?"
"Oh, ada. Tinggal belok kiri aja, nih, masuk gang dikit. Di situ sambal kentangnya enak."
Laki-laki itu mengangguk-angguk. "Kalau warung nasi padang?"
Cakra berpikir sesaat. "Agak jauh, itu juga di gerobak, bukan tempat."
"Saya nggak peduli tempat, yang penting kenyang."
Mereka tertawa bersama layaknya kawan lama. Sejak membaca pesan Kenanga, entah kenapa ia menduga bahwa laki-laki yang duduk di sampingnya dan tengah meminum kopi adalah alasan kenapa adiknya itu tak berani keluar. Setelah melepas jas, menggulung kemeja ke siku, dan mengganti sepatu dengan sandal, Dio keluar menghampiri laki-laki itu, mencoba mencari clue untuk memastikan sebuah fakta.
"Di situ masih ada paket dua belas ribu. Kuahnya enak, nasinya banyak."
"Nah, itu yang penting." Dio kemudian memperhatikan lambang dan pelat mobil laki-laki di sampingnya sekilas. "Kerja di Kejari?"
"Iya, sopir Kejari Jaksel."
Entah kenapa menilik dari raut wajahnya, Dio sangsi kalau laki-laki berkaus putih polos itu sebatas sopir di kantor kejaksaan. Bisa saja dia sudah melepas seragam sepertinya tadi, kan?
"Bapak saya dulu sopirnya Pak Haris. Sekarang saya nyopirin anaknya, Mbak Kenanga."
Laki-laki itu tidak langsung menoleh ke arah minimarket seperti yang Dio harapkan. Akan tetapi, ketegangan yang sempat terbaca menjadi clue yang cukup untuknya.
"Keluarganya baik, makanya kami betah kerja sama mereka. Sopir Kejari tipnya lumayan?" lanjut Dio.
"Lumayan, tapi, ya, banyak rahasia yang harus dijaga." Cakra mengangkat kedua alis.
"Sampai sekardus Indomie?"
"Nggak sampai, paling seribu lima ratus atau dua ribu."
Bahasa sekardus Indomie yang mereka maksud ini tentu bukan benar-benar berisi mi.
"Lumayan kalau segitu."
"Bisa dihitung jari, tapi, berapa kalinya."
"Oh, ya, makasih buat informasi wartegnya. Saya mau makan, nih, kayaknya majikan saya bener dua jam lagi baru selesai."
Dio menatap sekilas rokok dan pemantik tadi, tetapi tak berniat mengantonginya. Ia sendiri bukan perokok, hanya saja barang-barang tersebut dibutuhkan jikalau ingin mengakrabkan diri dengan orang baru di jalanan.
"Sama-sama." Cakra melirik layar ponselnya yang bergetar di atas meja. Kemudian ia mengantonginya. "Saya juga mau pulang, istri nge-chat."
"Wah, bentar lagi ditelepon, tuh. Lagi di mana, sama siapa, ngapain aja." Laki-laki itu tertawa lepas dan Dio mengulurkan sebelah tangannya. "Saya Dio. Barangkali kapan-kapan bisa tukar informasi kerjaan atau warteg enak lagi."
Detik ini Dio berani bertaruh, nama laki-laki itu pasti Cakrawala Pradipta. Laki-laki itu juga yang jadi alasan Kenanga memilih mendekam di dalam sampai kiamat.
"Cakra," sahutnya seraya menjabat Dio. "Kebetulan saya punya tempat ngopi yang enak selain di depan Indomaret."
Mereka tertawa lagi, kemudian pergi ke tujuan masing-masing. Cakra masuk ke mobil bersama sejuta tanya di kepala, sedangkan Dio menyusuri jalan menuju warteg yang laki-laki itu tunjukkan. Ya, perut keroncongannya bukanlah intrik belaka.
*Kejari: Kejaksaan Negeri
Bunga Kenanga Cokroatmojo
versi anak SMA
Cakrawala Pradipta
versi mahasiswa
Dio Anggara Cokroatmojo
versi gembira
Buat yang mau disupirin Cakra atau Dio boleh komen di sini 😁
See ya in the next chap!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top