33. Pinjam Peluk
"You can go any which way, don't matter how far. Because I know we're written in the stars."
_Wendy - Written In The Stars_
.
"Gimana keadaan Om Haris, Mbak?"
Anyelir menyelisik wajah gadis yang dulu menjadi guru tata riasnya dan sempat tercengang. Wajah Kenanga tak tersentuh alat make up sama sekali. Benar-benar polos sepolos piring kaca yang baru dicuci. Tak ada sentuhan pensil alis, maskara, atau bedak sama sekali. Kuku jemarinya pun bersih tanpa cat. Kasus sialan itu benar-benar berhasil mengubah sang kakak sepupu secara drastis.
"Papa memang punya riwayat darah tinggi, Nye. Cuma ... ya, kamu mungkin udah tahu kalau keluarga kita punya sejarah yang nggak baik sama keluarga Darmawangsa." Kenanga mengalihkan pandangan pada tirai jendela. "Aku tahu banget kalau Papa menaruh harapan besar ke Mas Rendra sebagai anak laki-laki semata wayang. Dan fakta tentang hubungan spesial Mas Rendra yang terkuak saat sidang bikin Papa shock berat. Mungkin ini memang jalannya, Nye. Sekarang aku tahu kenapa Mas Rendra hilang di Bromo waktu itu."
Kenanga tahu ini kelihatan sangat bodoh. Ia berkeluh kesah kepada orang yang pernah merebut kekasihnya. Namun, ia seakan-akan terlempar ke waktu di mana kali pertama ia mengenal Anyelir. Ia bisa bercerita panjang lebar tanpa menyimpan rahasia satu pun.
Efek samping menginap di bui, mungkin. Gadis itu menemukan banyak penjahat di sana, jadi ia sudah sangat terbiasa berkomunikasi dengan para penjahat.
"Mbak, aku mungkin bukan orang baik di mata mata Mbak Kenanga. Aku juga bukan orang bijak, tapi Mbak bisa telepon aku kalau Mbak butuh teman cerita," ujar Anyelir.
"Makasih udah dateng nengok Papa." Kenanga tersenyum getir. "Nggak ada satu pun wanitanya papa yang ke sini, cuma kamu sama keluarganya Om Herdian."
Anyelir meraih sebelah tangan Kenanga. Ia bersyukur tak ada penolakan sama sekali. "Mbak mungkin kata maafku terlambat, maafin aku Mbak. Aku tahu aku bodoh—"
"Nggak usah dibahas, Nye."
"Sekali lagi aku minta maaf."
Kenanga mengangguk. Interaksi mereka hari ini membuat beban aneh di dada Anyelir terangkat sepenuhnya. Tadinya ia ingin menjelaskan panjang lebar tentang mantan kekasih Kenanga. Namun, mendapat respons di luar ekspektasi membuatnya mengurungkan niat masalah itu lagi. Mungkin sang kakak sepupu dan si mantan kekasih sudah bicara panjang lebar dari hati ke hati.
"Mbak harus jaga kesehatan."
"Kamu juga, Nye."
"Aku pulang, ya, Mbak. Salam buat Om Haris dan Camelia." Usai tiba di depan pintu, Anyelir berbalik lagi. "Oh, ya, bingkisan aku simpan di luar kamar, Mbak. Aku takut ganggu Om Haris kalau dimasukkin ke kamar sekarang."
"Iya, makasih, ya, Nye."
Kenanga bisa menebak kalau pasangan paling fenomenal di kalangan elite itu pasti tidak membawa satu parsel buah dan sekotak kue lapis Surabaya, melainkan keseluruhan isi toko.
"Khe ...."
Kenanga beranjak mendekat setelah mendengar panggilan itu. Ia sedikit membungkuk sambil mengusap-usap rambut Papa.
"Iya, Pa. Aku di sini."
"An ... di ...."
"Besok Pak Andi nengokin Papa. Aku minta sopir yang jemput beliau."
"A ... kha ...."
Kenanga terdiam dan tidak menemukan jawaban dalam hitungan sekian detik. Daripada membuat Papa gelisah, akhirnya ia menjawab, "Iya, Pa. Besok, ya, Pa. Sekarang Papa makan."
Hingga matahari terbenam, Kenanga menghabiskan waktu menemani papanya. Duduk di samping brankar, menikmati lagu keroncong favorit Papa. Tidak ada kata terlambat, hal seperti ini bisa jadi sangat mustahil mereka lakukan bersama kemarin-kemarin. Namun, sekarang mereka punya kesempatan. Melewati sore dalam diam yang tidak membeku.
***
Raut wajah Pak Andi tampak sangat ketakutan ketika bertemu Kenanga. Pengawal pribadinya sejak kecil itu sekarang rambutnya sudah memutih. Mata tuanya terus menghindar tanpa sebab yang dapat terbaca.
"Pak Andi, gimana kabar keluarga?"
"Baik, Non."
Kenanga mengulas senyum ramah. "Saya bukan nonanya Pak Andi lagi, Pak. Panggil Kenanga saja."
"Nggak apa-apa, Non. Bapak sudah terbiasa," jawabnya. Titik pandang Pak Andi pun seakan-akan enggan beralih dari lantai.
"Bapak sudah sarapan?"
"Sudah, Non."
Percakapan mati begitu saja. Pak Andi kelihatan tak ingin banyak bicara dengan Kenanga. Beliau terbukti hanya merespons saja tanpa melempar umpan balik pertanyaan. Mereka duduk bersampingan di kursi panjang depan kamar rawat Haris Cokroatmojo. Kamar tersebut sangat privasi, jadi jarang orang berlalu-lalang.
"Begini, Pak Andi ... Papa sakit strok dan ingin bertemu Bapak. Saya harap Bapak berkenan."
"Kenapa Bapak mencari saya, ya, Non?"
"Saya juga kurang tahu, Pak. Sekarang Papa kesulitan bicara. Gimana, Bapak bersedia, kan?"
Pak Andi tak memberi jawaban hingga tiba-tiba berlutut di depan Kenanga.
"Pak, Bapak kenapa?" Kenanga panik menepuk-nepuk bahu Pak Andi.
"Non, saya mohon ampun untuk persoalan kemarin. Saya hanya mengikuti kemauan Bapak. Saya mohon ampun, Non. Jangan sakiti keluarga saya ...."
Kenanga beranjak ke samping Pak Andi, memegang bahunya. "Pak, Bapak kenapa? Saya nggak paham sama ucapan Bapak. Saya nggak akan menyakiti keluarga Bapak. Ayo, Pak ... bangun!"
Pak Andi gemetaran meraih tangan Kenanga. "Non, ada satu rahasia yang saya simpan selama ini. Tentang Mas Cakra ... saya mohon ampuni saya ... saya hanya menuruti perintah."
"Cakra? Kenapa sama Cakra, Pak?"
"Semua foto dan kabar tentang Mas Cakra yang saya kirim ke Non. Semua itu bohong, Non." Pak Andi menunduk lagi, kedua tangannya memegangi lutut. "Orang yang Non lihat di pantai bersama Non Anyelir itu bukan Mas Cakra."
Kenanga berkedip dua kali. Ia butuh menarik napas untuk sekadar mencerna penuturan Pak Andi.
"Maksud Bapak?" tanya Kenanga sembari memutar ingatan tentang kejadian hari itu.
"Orang yang Non lihat di Semarang Bersama Non Anyelir bukan Mas Cakra. Bapak meminta saya mencari laki-laki yang postur tubuhnya mirip Mas Cakra dan Bapak menyuruhnya memakai topeng—"
Sebelum Pak Andi menyelesaikan kalimatnya, Kenanga telanjur menutup wajah dengan kedua tangan. Gadis itu terduduk lemas di kursi. Ternyata Cakra yang Papa maksud sejak kemarin dan inilah sebab mengapa ia harus bertemu Pak Andi.
"Non ... saya mohon ampun ...."
Kenanga mengusap rambut ke belakang, lalu mengangguk. "Makasih, ya, Pak. Bapak sudah mau memberi tahu saya kebenarannya."
"Katanya Bapak takut Mas Cakra bawa Non pergi jauh."
Semua anak gadis memang akan pergi dari rumah setelah dipinang. Dia akan ikut ke mana pun si nakhoda mengarahkan kapal. Kenapa sampai melakukan hal seperti ini jikalau memang tak menyetujui hubungannya dengan Cakra? Kenapa tidak berterus terang saja?
Demi Tuhan, Kenanga sudah sia-sia membenci seseorang sepanjang waktu.
***
Hasil DNA lalu menunjukkan jikalau korban kecelakaan di Tol Pejagan adalah benar Jason Sirait. Perkara Jason selesai, perkara Bianca pun selesai. Cakra pulang bersama damai.
Pramono Darmawangsa awalnya tak terbaca sama sekali sebagai tersangka. Ia terlihat seperti seorang ayah yang normal pada umumnya. Pria tua itu bersaksi tadinya hanya ingin memberi sedikit ancaman jika Bianca berani membawa Camelia pulang dan merusak citra keluarga. Pramono pun bersaksi, ada miskomunikasi dengan tiga pelaku lainnya. Namun, putrinya sudah tewas, maka ganjaran tetaplah ganjaran.
Setelah kasus Bianca berakhir belum ada lagi yang mengunjungi teras rumahnya. Namun, sosok gadis yang duduk bersama Bu Sumarni berhasil mendobrak pernyataan tadi. Cakra berdiri kaku di samping mobilnya ketika gadis itu juga berdiri seolah-olah tengah menyambutnya pulang kerja. Baiklah, tolong hentikan laju pikiran konyol barusan. Ini halaman rumah dinasnya, tempat tinggalnya, lantas kenapa ia berdiri seperti orang bodoh yang kehilangan suara?
"Kak Cakra ...," panggil Kenanga yang bola matanya bergerak ke kiri dan kanan. "Maaf aku datang malam-malam. Aku ...."
Cakra langsung memandangi sekitar halaman rumah dinasnya. "Kamu ke sini sama siapa?"
Bukan hal sulit bagi seorang Bunga Kenanga Cokroatmojo untuk menemukan rumahnya, bahkan sisa rasanya. Tidak, lupakan pernyataan bodoh terakhir tadi. Gadis itu berjalan mendekatinya. Semua terasa seperti adegan slow motion. Angin bahkan tak berani berembus di tengah-tengah mereka. Pertemuan terakhir keduanya adalah setelah memenangkan hak asuh Camelia. Mereka pun bersikap layaknya penyedia jasa dan klien. Cakra tak berniat mencampurkan apa pun di luar urusan tersebut.
Akan tetapi, Kenanga terlihat aneh malam ini meski belum yakin di mana letak keanehan itu.
"Kak ...," panggil Kenanga lagi. Suaranya nyaris menyerupai bisikan keras. Kemudian setetes demi setetes bulir air mata menjatuhi pipinya.
"Ada apa, Kenanga?"
Cakra tak bisa menyembunyikan kekhawatiran dalam tanyanya. Ia pun menghapus jarak di antara mereka, menyeka air mata di kedua pipi Kenanga secara bergantian. Anehnya bulir-bulir bening itu malah mengalir semakin deras setelah ia melakukannya.
"Jawab, Kenanga." Cakra menangkup sebelah pipi Kenanga, lalu sedikit membungkuk. "Ada yang nyakitin kamu?"
Kenanga menggeleng. "Aku yang nyakitin kamu," tuturnya tanpa memutus kontak mata mereka.
Cakra menarik napas seraya mengalihkan pandangan sesaat. Ia mendobrak prinsip dan menatap lekat-lekat bola mata Kenanga. "Kapan, Ke?"
"Aku nggak tahu harus ngomong apa sama kamu ...."
Tangis Kenanga pecah setelahnya. Ia merasa sangat jahat dan bodoh secara bersamaan. Bagaimana bisa ia menutupi kata hati kecilnya sendiri selama ini?
"Kamu nggak harus menjelaskan apa pun, Kenanga. Mungkin ini terdengar omong kosong, tapi hadirnya kamu bikin hari-hari aku jauh lebih baik. Dulu, sekarang ... dan nggak tahu lagi."
"Aku boleh pinjam peluk, nggak? Sebentar aja."
***
Selama perjalanan cerita ini, di mata kalian karakter Bunga Kenanga Cokroatmojo yang seutuhnya tuh gimana? Yang berkenan boleh komen di sini 😊
Terus menurut kamu kalau Cakra tuh gimana? Boleh banget komen kalau berkenan 😊
Seperti yang aku janjikan di bab sebelumnya. Setelah bab ini sampai jumpa di akhir cerita ❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top