32. Selamat Tinggal
Tepat pukul 03.00 dini hari, Cakra mengajak Dion berdiskusi di ruang kedap suara setelah menyelesaikan urusan dengan Prof. Adi. Mereka sengaja bertemu di sana untuk membicarakan kasus Haris Cokroatmojo.
Kecelakaan parah yang menimpa Ayudia Princessa Soedarsono seolah-olah telah menciptakan jurang lebar di antara mereka. Ia paham, sahabatnya pasti sedang memasang kewaspadaan tingkat tinggi terhadap semua anggota keluarga.
Berdasarkan teori J J Rousseau, kedaulatan tertinggi sebuah negara terletak di tangan rakyat. Iya, benar sekali, rakyat golongan kaum elite seperti Klan Cokroatmojo, Prana Corporation, dan keluarga Darmawangsa tentunya. Tiga perusahaan adidaya yang melambangkan segitiga bermuda sesungguhnya. Daerah paling berbahaya, siapa pun bisa hilang.
"Cak, gue akan menjebloskan Pak Haris ke penjara," ucap Dion tanpa ekspresi. Pandangannya lurus ke depan.
"Silakan, tapi tolong terima ini," lanjut Cakra seraya menyerahkan sebuah kotak berwarna hitam dari paper bag.
"Apa ini?" tanya Dion sembari mengernyit.
Cakra mengulas senyum kecil. "Kado pernikahan."
Dion meringis ketika memandangi kotak hitam pemberian Cakra. "Lo bisa mikirin ini di situasi parah yang kita hadapi, Cak?"
"Gue teman baik lo, tapi itu pun kalau lo masih mau mengakui."
"Tunggu, gue nggak bermaksud—"
"Gue tahu clue-nya dari Beno sewaktu nggak sengaja ketemu di tempat makan. Gue paham alasan lo. Jefri belum tahu dan lebih baik dia nggak usah tahu."
Dion mengangguk. "Lagi pula itu bukan jenis pernikahan normal, Cak. Acara resminya nanti, setelah kondisi benar-benar normal."
"Intinya lo udah nikah, Dion." Cakra terdiam sebentar, mengingat sesuatu yang terlewat dalam diskusi mereka. "Gimana sama kantor?"
Berita mengenai Kejaksaan Agung Republik Indonesia yang terbakar membuat gempar seluruh lembaga hukum. Cakra tak sudi menelan mentah-mentah berita yang berseliweran di seluruh stasiun TV. Selalu ada pro dan kontra di sana. Dion pasti lebih tahu kronologinya.
"Berkas aman. Seperti yang tadi gue bilang, gue akan menjebloskan Haris Cokroatmojo ke neraka."
Dering ponsel Cakra mengalihkan seluruh atensi. Ia dan Dion sengaja meletakkan ponsel di meja karena memang ada berita yang mereka tunggu. Kebetulan sekali nama Rudy tertera di layarnya, seketika mereka menebak-nebak apa yang hendak disampaikan laki-laki itu.
"Pak, berdasarkan hasil identifikasi polisi, korban kecelakaan tunggal di Tol Pejagan tengah malam tadi adalah Jason Sirait. Dia tewas di tempat."
Cakra dan Dion saling berpandangan sesaat. Posisi ponsel ada di tengah-tengah rahang mereka berdua.
"Segera minta mereka mengirimkan hasil DNA-nya, Rud," pinta Cakra, lantas menyudahi panggilan.
"Hasil rekaman CCTV terjawab, Cak?" tanya Dion.
***
Sidang terakhir kasus kematian Bianca Indira Darmawangsa berlangsung di Kamis pagi. Cakra perlu mengorbankan seluruh waktu demi hari besar ini.
Berdasarkan CCTV dari Jefri, ada satu laki-laki yang memang mengikuti Bianca sejak tiba di parkiran sampai keluar When The Flowers Talk untuk mengambil ponsel. Tersangka yang terlibat di TKP berjumlah tiga orang, tugas orang kedua menabrak gadis itu di tengah jalan setelah mengambil ponsel. Kemudian orang ketiga bertugas membantu korban. Cukup lama dia menyentuh kedua pergelangan gadis itu dan mereka sempat bersalaman. Setelah itu si orang ketiga memasuki sebuah minimarket yang cukup jauh dari Jalan Sudirman untuk meminjam toilet.
Bianca mati karena menghirup sianida di tangannya ketika meminum air mineral pemberian Kenanga. Cakra bersama Rudy mendatangi berbagai pameran lilin di sebuah pasar malam dan menanyakan siapa saja yang memesan cairan lilin sebelum tanggal kematian korban. Ternyata dugaan mereka benar, cara si orang ketiga memaparkan sianida, yakni melapisi tangan terlebih dahulu dengan cairan lilin sebelum dilapisi zat mematikan itu.
Gadis itu menyimpan buket mawar putih kering di semua vas dalam apartemennya. Simbol mawar putih tersebut sebenarnya mewakili rumah kedua orang tuanya. Ibunya merawat banyak mawar putih di taman rumah, yang mengartikan ada petunjuk dari salah satu penghuninya. Ada 12 kartu ucapan yang terdiri dari huruf N H C pada tiap tiga kartu. Bianca hanya menulis tiga huruf itu secara berulang dan memang menyiratkan nama panjang seseorang.
Setelah Cakra menjelaskan semua clue tersebut dan menunjukkan satu kertas origami yang berhasil terbaca dari puluhan kertas. Polisi meringkus si dalang dan dua pelaku pembunuhan lainnya.
"Saudara Pramono Darmawangsa layak dikenakan pasal berlapis. Terdakwa telah membuang bayi, memberi berbagai tekanan serta ancaman, dan merencanakan pembunuhan terhadap saudari Bianca. Oleh karena itu, saudari Bunga Kenanga Cokroatmojo hanyalah pengecoh karena berada di tempat kejadian perkara," jelas Cakra seraya menatap hakim kepala.
Kamis pagi ini Cakra tidak berhadapan dengan Erik Sanjaya lagi, melainkan pengacara sewaan negara. Namun, pihak Klan Cokroatmojo tetap menghadiri sidang, terutama Haris. Tak lama layar proyektor di ruang sidang menampilkan sebuah surat kecil.
Dear, Narendra Harsa Cokroatmojo.
Aku nggak akan pernah melupakan malam terakhir kita di Gunung Bromo.
Tahun demi tahun yang kita lewati secara sembunyi-sembunyi adalah hari-hari terbaik buatku.
Malam itu kamu bilang, kita bisa lari ke Jerman, ubah identitas, dan hidup bahagia. Tapi kamu ninggalin aku sendirian, Rendra. Kamu lupa sama kita. Semuanya.
Mungkin ini goresan terakhir aku. Semoga Kenanga bisa membacanya kalau aku benar-benar mati di tangan papa tiriku. Beberapa bulan setelah kamu hilang di Bromo dan lupa semua, kita punya malaikat kecil yang lahir ke dunia. Papa buang dia ke panti asuhan di Banyumas, bahkan sebelum aku sempat memberinya sebuah nama. Aku belum bisa menemukan dia sampai sekarang, Rendra ....
Tolong temukan dia.
With love,
Bianca Indira Darmawangsa.
Kenanga yang menghadiri sidang pagi itu menangis tanpa suara tatkala membaca isi surat Bianca. Ia mengenal nama kekasih Rendra pada masa kuliah bernama Dira, tetapi ia tak pernah melihat rupanya sama sekali. Mungkin nasib semua klan murni Cokroatmojo seperti ini. Selalu punya kekasih secara sembunyi-sembunyi, bahkan bagi seseorang seperti kakaknya sekalipun. Terlalu banyak rantai kuat tak kasatmata yang mengikat mereka. Ia pikir, kisah cinta monyetnya adalah yang paling menyedihkan. Namun, kisah sang kakak sendiri jauh lebih tragis dan karma selalu datang di waktu yang tepat.
Mungkin semua hal yang menimpanya dan sang kakak adalah balasan atas kesombongan serta kelalaian mereka sebagai manusia.
"Dengan ini, kami mohon agar hukum bisa berjalan sesuai kebenaran dan menegakkan keadilan," lanjut Cakra kepada hakim ketua. Begitu kembali menduduki kursi di sebelah Pak Adam, pandangan Cakra dan gadis pucat di sana berada di satu garis yang sama.
Ayo, ucapkan selamat tinggal buat semua kesengsaraan kemarin, Kenanga, batin Cakra.
***
Kenanga setengah berlari menyusuri koridor rumah sakit. Semoga tadi ia memarkir mobil dengan benar. Panggilan telepon di siang bolong berhasil membuatnya memelesat bersama sandal jepit. Ia menguak pintu ruang rawat. Napasnya terengah-engah sampai beberapa helai rambut menempel di bibir.
"Papa saya kenapa, Mas?" tanya Kenanga.
Setelah keputusan sidang kasus pembunuhan Bianca, Haris terserang strok yang membuatnya hanya bisa terbaring di brankar rumah sakit. Sekarang ada dua laki-laki yang setiap hari Kenanga khawatirkan, papanya dan Rendra. Karena musibah itu pun, dirinya belum bisa mengurus kepindahan sang kakak ke Singapura.
Namun, di balik cerita-cerita menyesakkan itu, ia berhasil menemukan keberadaan keponakannya. Ia akhirnya bisa memenuhi permintaan terakhir mendiang Bianca. Gadis berumur dua tahun itu menjadi bagian dari klan murni Cokroatmojo. Cakra membantunya mendapat hak asuh atas Camelia Diandra Cokroatmojo—nama baru untuk gadis kecil itu walau belum resmi.
"Bapak tadi nendang-nendang brankar karena saya sulit memahami apa yang Bapak mau, Mbak," jelas perawat laki-laki khusus yang dibayar untuk bergantian dengan Kenanga menjaga Haris.
Kenanga menghela napas. Ia bersyukur karena tak mendengar sesuatu yang lebih buruk dibanding itu. Ia mendekati brankar di mana sang ayah terbaring. Selang NGT terpasang di hidung sebelah kiri ayahnya. Selain strok, selang itu pun membuat Haris kesulitan bicara.
"Pa ... Papa mau apa?" Kenanga bertanya sambil mengusap kepala sang ayah.
"Khe ...," ucap Haris susah payah.
Kenanga berpikir keras memahami ucapan itu. Ia terus mengusap-usap kepala sang ayah sambil mengangguk pelan.
"Te ... i ... An ... di."
"Andi? Pak Andi maksud Papa?"
Pak Andi merupakan pengawal pribadi yang mendampingi Kenanga sejak kecil dan sudah pensiun setahun lalu.
"I ... a," sahut Papa.
"Nanti aku ajak Pak Andi ke sini, ya, Pa."
"Khe ... a ... kha ...."
"Papa mau makan?"
Napas Papa kemudian memburu. Tandanya bukan itu yang papanya maksud. Kenanga berpikir keras, mencoba menebak-nebak lagi.
"Semangka, Pa?"
Mata Papa melebar. Tandanya bukan itu juga yang beliau maksud.
"A ... kha ...."
Kenanga memilih mengangguk. "Iya, Pa. Nanti, ya, Pa. Sekarang Papa istirahat, aku temenin."
Setelah itu Papa tampak jauh lebih tenang, padahal Kenanga tak memahami apa permintaan yang kedua. Biarlah, ia bisa memikirkan itu nanti. Ia mengutak-atik ponsel, mencari nomor Mbak Susi.
"Halo, Mbak," sapa Kenanga. "Gimana? Camelia mau makan? Tadi pas aku tinggal masih tidur."
"Belum mau, Mbak. Makanan kesukaannya apa, Mbak?" tanya Mbak Susi di ujung telepon.
"Katanya suka banget ayam goreng." Kenanga melihat sejenak Papa yang tengah tertidur, lalu melanjutkan, "Coba dirayu, ya, Mbak."
Tadinya Kenanga ingin membawa Camelia, tetapi area rumah sakit rasanya kurang bagus untuk batita. Jadilah ia menitipkan Camelia kepada Mbak Susi. Anak itu tidak seaktif anak-anak seusianya. Ia tidak tahu apa saja yang anak itu alami di Panti Asuhan Kristen Siloam Purwokerto, Banyumas.
Rencana pertama yang akan Kenanga lakukan adalah mengadakan acara pembaptisan Camelia. Ia akan merawat anak Rendra dan Bianca dengan baik mulai sekarang, apa pun yang terjadi.
Sofa krem berbentuk L menjadi tempat Kenanga merenung bersama bayang-bayang Cakrawala Pradipta. Laki-laki itu telah banyak membantunya. Bisa dibilang ia jadi berutang budi kepada laki-laki itu seumur hidup. Andai saja dulu Cakra tidak pernah mengkhianatinya, mungkin mereka bisa makan malam berdua. Baiklah, pikirannya mulai berkelana tak jelas.
Di tengah lamunan, pintu ruang rawat terbuka, serta-merta ia mengangkat kepala.
"Mbak ...."
Kenanga mendapati sang adik sepupu sekaligus selingkuhan Cakra pada masa lalu, hadir tanpa sebuah kabar atau konfirmasi sebelumnya.
"Anyelir?"
"Maaf, ya, Mbak, aku langsung masuk, tadi ketuk pintu beberapa kali nggak ada jawaban. Takut ganggu Om Haris. Aku ke sini sama Mas Angga, tapi dia nggak bisa masuk RS katanya alergi," jelas Anyelir. "Parsel buahnya dibawa Linggar dan Baron, aku suruh mereka—"
Seharusnya Kenanga mengusir gadis itu. Namun, bibirnya justru melontarkan, "Duduk, Nye."
Akhirnya bisa juga ngelarin bab ini 🤧 sampai jumpa di bab selanjutnya ❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top