31. Selamat Berjuang
"Cak, gue udah dapat rekaman CCTV sepanjang Jalan Sudirman yang lo minta. Ini dari semua CCTV toko, ruko, sama minimarket."
Jefri memasuki mobil, lantas mereka menyatukan kepalan tangan. Usai berunding dengan teman-teman semasa kuliah karena merasa buntu, Dion menyarankannya menemui Prof. Adi terkait penyelidikan kertas origami kosong Bianca. Prof. Adi dikenal sebagai sejarawan dan pustakawan yang sebenarnya tidak ada kaitannya sama sekali dengan perkara kematian Bianca Darmawangsa. Namun, sepertinya butuh alat khusus untuk memastikan apa kertas origami itu benar-benar kosong karena seratnya berbeda. Walaupun ia memegang CCTV dari kepolisian, ia memerlukan versi sudut pandang lain lewat Jefri.
"Alhamdulillah ... makasih, Jef. Ke rumah gue dulu, ya? Habis itu gue antar."
"Kalau kita nggak pernah melarat bareng semasa kuliah aja sebenarnya gue malas, Cak." Jefri menyandarkan punggung. Sikunya menempel pada jendela, lalu telunjuknya menekan pelipis. "Lagi pula gue nggak habis pikir kenapa Kenanga bisa kesandung kasus itu, padahal keluarganya superpower. Gue juga nggak habis pikir, kenapa lo terima tugas ini?"
Kondisi jalanan sekitar Kejaksaan Tinggi Jakarta Pusat lengang karena hari telah larut. Belum ada setengah perjalanan, Cakra sudah berniat mampir ke warung tenda seafood supaya Jefri Al Gibran bisa duduk manis tanpa suara. Kata orang, lapar adalah masalah kecil yang dapat berdampak besar. Bukan apa-apa, kasus pembunuhan pun bisa terjadi akibat urusan perut itu.
"Iya, Jef," sahut Cakra.
Jefri menyelisik wajah sahabatnya yang tengah memegang kendali setir. Ia menghela napas saat menyadari hanya tersisa raga Cakra di sebelahnya. Isi pikiran sang sahabat mungkin sedang mengarungi pulau angan-angan.
"Kenapa lo?" tanya Jefri.
Hakim ketua memutuskan sidang ditunda sementara karena kericuhan yang terjadi. Dua keluarga konglomerat itu saling berseteru di ruang sidang setelah teriakan Liana Darmawangsa. Ketika melihat Kenanga pingsan, sesungguhnya Cakra ingin menolong gadis itu. Akan tetapi, ia harus menahan keinginan tersebut kuat-kuat. Ia harus tetap memasang wajah seolah-olah mereka tak pernah saling mengenal, bahkan berbagi rasa sebelumnya. Selain itu, keluarga Bianca menekannya supaya memberi gadis itu pasal berlapis.
"Gue pengin lihat dia," ucap Cakra lirih.
"Ya udah ke rumah sakit."
"Nggak bisa, Jef."
Jefri mengernyit. "Kenapa nggak bisa?"
"Dia bukan sembarang orang yang bisa dijenguk."
Jefri berdecak. "Lo berhak ketemu dia kapan aja tanpa surat tugas sekalipun. Ini darurat, lo harus memastikan dia benar sakit atau cuma gimik supaya sidang ditunda."
Mereka saling melirik satu sama lain. Walaupun tampak kesal, setidaknya Jefri masih mau menanggapinya.
"Besok aja."
"Lo sayang banget sama perempuan itu," gumam Jefri sebagai sebuah pernyataan tak terbantahkan. "Sampai-sampai bikin janji temu jam tiga pagi sama Prof. Adi."
Baiklah, sekarang isi kepala Jefri sama saja dengan Pak Adam. Cakra mendesah sambil menatap langit muram.
"Nyawa Kenanga ada di semua bukti-bukti ini. Gue nggak mau menjebloskan orang yang salah, Jef. Sekarang gue benar-benar yakin ada Mr. X dan konspirasi, jangan dicampur aduk."
Untungnya, salah satu suster ambulans yang hendak bersaksi belum buka mulut di depan hakim. Cakra sempat mewawancarai suster tersebut tepat setelah orang tua Bianca mendatangi kantornya. Suster tersebut bersaksi melihat Kenanga memegang kaki Bianca cukup lama dan langsung pergi ke toilet begitu tiba di rumah sakit. Keluarga Bianca menuduh hal tersebut sebagai cara pelaku memaparkan sianida.
"Suruh pengacaranya nyari tahulah," kata Jefri.
"Iya, tapi salah satu tugas kita memang mencari kebenaran fakta, Jef. Lagi pula kalau gue mau menyelamatkan Kenanga memangnya kenapa? Dia nggak bersalah. Di luar dari masa lalu yang menyangkut gue sama Kenanga, toh, dia juga WNI yang dilindungi undang-undang dan HAM. Salah gue di mana?"
"Masalahnya lo jaksa, dia terdakwa. Ditambah lagi pernah saling cinta." Jefri menggeleng cepat. "Untungnya pihak kejaksaan nggak ada yang tahu. Lagi pula di luar undang-undang negara ini dan HAM pun, lo udah pasti nggak bisa lihat Kenanga kayak mayat hidup, padahal kalau lo yang di ujung jurang kematian begini juga dia belum tentu peduli."
Sungguh, kepala Cakra rasanya mau meledak. Kebetulan sekali lampu merah mengizinkan kepalanya bersandar sebentar saja pada kaca mobil.
"Sayang sama perempuan, tuh, salah, ya?" tanya Cakra tatkala senyum Kenanga menyambangi ruang kepala lagi.
"Salah, Cak. Salah banget karena dia bukan istri lo. Halalkan atau tinggalkan, di sini lo udah terlalu berlebihan."
"Gue pusing," sahut Cakra cepat. Ia lantas mengendalikan setir dengan satu tangan. Karena tangan lainnya berpindah memijat-mijat pelipis.
"Perempuan muslim di luar sana banyak. Kenapa Anda masih saja mengejar sesuatu yang sudah pasti tidak terkejar, wahai Cakrawala Pradipta?"
Baiklah, Jefri Al Gibran sedang dalam mode berkhotbah. Sayang sekali tidak ada lakban hitam atau obat bius di dasbor mobil.
"Astagfirullah, gue nggak mengejar Kenanga, Jef ... dia bukan layangan," tuturnya penuh rasa frustrasi.
Klakson mobil Cakra terpaksa menjerit hanya karena kucing liar lewat. Rasanya ingin sekali ia menelantarkan Jefri di pinggir jalan.
"Yang kemarin-kemarin apa?"
"Kemarin gue nyari dia karena mau tahu apa yang bikin dia menghilang begitu aja." Cakra mengangkat sebelah tangan. "Pengecualian buat masalah Dipta, itu di luar kendali gue."
"Besok kalau lo mati, jangan nyari gue buat angkat keranda."
"Bukannya gue nggak menggubris nasihat lo, Jefri Al Gibran, tapi—"
Jefri mengarahkan dagu ke depan. Wajahnya berubah datar. "Di teras rumah lo ada taipan yang tersesat."
Dua orang laki-laki yang tengah duduk di kursi teras serempak berdiri ketika mobil Cakra memasuki halaman rumah dinas. Ia turun lebih dulu disusul Jefri. Untung saja halaman rumahnya masih cukup untuk menampung dua mobil.
Mereka datang kemari pasti karena ketidakpuasan atas hasil sidang tadi. Semoga tidak ada yang berniat mengajaknya berseteru. Jujur saja, luapan emosi masih tertahan di kepalanya.
"Maaf, Pak, lama menunggu," ujar Cakra seraya menyalami tamunya satu per satu. "Tadi asisten rumah tangga saya memberi tahu, tapi saya kira tidak ada yang akan menunggu sampai larut malam. Silakan masuk, Pak."
"Tidak apa-apa, Jaksa Cakra," balas Juniko. Laki-laki itu kini tampak lebih beradab dibanding terakhir kali mereka jumpa. "Kami justru minta maaf karena bertamu larut malam begini."
Ia membuka pintu rumah. Beberapa penganan ringan dalam toples kaca berjajar cantik. Namun, cangkir-cangkir kopinya mungkin telah mendingin. Bu Sumarni pasti sudah terlelap di kamar belakang. Tamu mereka belum mau menginjak lantai ruang tamu sebelum Cakra tiba.
"Cak, gue numpang di kamar lo," bisik Jefri yang langsung Cakra jawab lewat anggukan.
Cakra mempersilakan tamunya untuk duduk. Si laki-laki yang lebih muda masih bisa menjaga sopan santun lewat ulasan senyum singkat. Bisa ia prediksi jikalau Juniko merupakan tipikal kartu as perusahaan yang biasa memersuasi banyak investor. Berbanding jauh dengan si pria tua keturunan separuh setan berwajah masam.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?"
Juniko menarik napas, lalu menautkan jemari. "Begini, Jaksa Cakra, maksud kedatangan kami kemari adalah—"
"Saya mau kamu cari tersangka lain." Haris Cokroatmojo tiba-tiba menggeser buku cek di atas mejanya.
Seketika Juniko mengusap wajah kasar. Ia berdecak lantas berucap lirih, "Om, tolong jangan merusak—"
"Bebaskan Kenanga dari segala tuduhan," lanjut Haris tanpa memedulikan kekesalan keponakannya. "Saya tahu kamu masih mencintai putri saya."
Seperti yang Cakra duga. Haris Cokroatmojo mencarinya sampai larut malam begini pasti hanya untuk mendesaknya dengan embel-embel rasa cinta terhadap Kenanga. Ia meraih buku cek tersebut, menghitung lembaran kertasnya dalam hitungan detik. Kemudian melemparnya ke meja tanpa peduli.
"Saya tidak akan membiarkan hukum dibeli oleh koruptor dan taipan kotor seperti Anda."
Cakra tersenyum mengejek setelahnya. Tak tanggung-tanggung, Haris melayangkan tatapan tajam disertai tangan mengepal, bahkan hingga urat-urat bermunculan di sekitar pelipisnya. Ia mengatakan fakta, bukan mencemooh. Dion sendiri yang bercerita kalau tengah menangani kasus Haris Cokroatmojo dan kecelakaan parah yang dialami Ayudia Princessa Soedarsono bersangkutan dengan kasus tersebut.
Ah, bagaimana Kenanga tak mendapati nasib malang seperti ini? Bapaknya saja bak jelmaan iblis penghias kerak neraka.
"Jangan munafik, saya tahu kamu memanfaatkan kasus ini!" bentak Haris.
"Om ...," bisik Juniko dengan suara tertahan.
"Apa maksud Bapak?" tanya Cakra sambil mengernyit.
"Kamu sengaja melakukan ini supaya Kenanga tidak punya pilihan, selain mengemis kepada kamu!" Haris berdiri, lantas meludahi lantai. "Dasar parasit!"
"Saya tidak memanfaatkan siapa pun dan kenyataannya Bapak yang mengemis kemari," jawab Cakra penuh penekanan. Ia ikut berdiri tanpa gentar.
"Bangsat!"
Haris melayangkan pukulan telak yang langsung dibalas Cakra. Izinkan sekali ini saja dirinya melupakan sopan santun dan tata krama. Sebab ia tak memiliki apa pun di dunia ini, selain iman dan harga diri.
***
Kenanga memandang langit-langit kamar rawat yang kosong. Terangnya lampu ruang rawat membuat matanya sakit, jadilah hanya ada cahaya temaram. Penerangan berasal dari tirai yang sengaja dibuka. Beruntung, Dio bisa mewujudkan permintaan kecilnya itu. Ketika sadar dari pingsan, ia muntah-muntah hebat. Sekarang tubuhnya terasa tak bertulang, sarafnya pun seakan-akan ikut lumpuh. Sayang sekali, wajah yang pertama ia lihat adalah Oxafia Djenara Nindyar bukan Mama. Padahal ia berharap ada di satu tempat yang sama dengan Mama.
Di tengah keremangan terdengar suara pintu terbuka. Sedikit cahaya menembus ruang, Kenanga menyipitkan mata untuk mengenali sosok laki-laki tinggi memasuki ruang rawatnya.
Kemudian suara dentuman sepatu membuatnya menutup mata rapat-rapat. Tidak sembarang orang bisa memasuki ruangan ini termasuk dokter maupun suster. Mereka adalah orang-orang tertentu yang menunjukkan identitas terlebih dahulu kepada pihak kepolisian sebelum menemuinya. Seketika ia tahu siapa yang tengah berjalan mendekati brankarnya. Pihak keluarga tidak diperkenankan menemaninya, oleh sebab itulah ia tidur sendirian di kamar rawat yang luas ini. Ketika suara dentuman sepatu tak lagi terdengar, Kenanga tahu laki-laki itu tengah berdiri di samping brankar.
Ya, laki-laki bernama lengkap Cakrawala Pradipta bahkan mampu mengubah udara di sekitar Kenanga. Sebisa mungkin ia mengatur napas, supaya tampak kelihatan tertidur pulas. Sebuah tangan menyentuh dahinya.
"Kenanga ... kamu masihlah perempuan yang saya cintai setelah Ibu."
Cakra meneguk ludah. Mata sayu itu, wajah pucat itu. Ia ingin mengubah semuanya menjadi seutuhnya Bunga Kenanga. Sebelum menemui Prof. Adi, Cakra sengaja menyempatkan diri kemari. Ternyata benar, logikanya masih saja kalah oleh rasa tidak jelas ini. Ia menyingkirkan tangannya dari dahi Kenanga. Suhu badan gadis itu masih tergolong tinggi. Alih-alih menempati kursi dekat brankar, ia memilih tetap berdiri kaku.
"Tapi, saya tidak akan menodai sumpah jabatan yang saya pegang sampai mati. Saya tidak bisa membebaskan kamu, selama bukti belum cukup."
Cakra tahu kehadirannya hanya memperdalam pedang yang menusuk jantung Kenanga. Namun, harus bagaimana lagi? Ia tak mau memberi gadis itu harapan palsu. Biar saja sepi yang menyahuti kejujurannya, setidaknya ia berhasil memuntahkan isi kepala. Gadis pujaannya pasti sudah mendayung sampan ke alam mimpi. Wajah gadis itu begitu damai walau guratan lelah tergambar jelas. Cakra harap dia bermimpi indah, meskipun hari ini adalah mimpi buruk.
"Sampaikan ke papa kamu, beliau boleh membakar rumah beserta mobil saya. Karena saya ... akan tetap mengadili kamu sebagai terdakwa," lanjutnya. Ia mendongak dan menemukan langit kamar yang kosong. Entah sejak kapan Kenanga menyukai gelap, padahal Cakra menganggapnya sebagai matahari. "Saya tidak pernah mengerti kenapa orang-orang bisa menipu negara yang memberi mereka kehidupan layak, sedangkan saya tidak. Maaf."
Suara dentuman sepatu pantofel kembali terdengar. Cakrawala Pradipta pasti tengah meninggalkan brankarnya perlahan. Kenanga tak mengerti perasaan konyol apa yang tengah menggerogoti sanubarinya detik ini. Ia tak rela sepi menggantikan kehadiran Cakra walau sesaat. Papa pasti memaksa laki-laki itu melakukan sesuatu untuknya.
Astaga, ia merasa malu. Papa pasti menggunakan masa lalu mereka berdua demi memenangkan persidangan. Belum lagi Papa yang ternyata tersandung kasus besar membuat mereka layak disebut keluarga paling bermasalah.
"Negara butuh orang-orang seperti kamu, karena itu ... selamat berjuang," bisik Kenanga keras. Tak peduli air matanya menuruni rahang. Mungkin ini adalah malam terakhirnya terbaring di ranjang rumah sakit.
Langkah Cakra terhenti saat secercah cahaya memasuki ruangan. Telinganya pun mampu menerjemahkan kalimat bercampur nada suara yang menyiksa itu. Namun, yang ia lakukan hanya termenung di ambang pintu sesaat, lantas kembali melangkah tanpa ragu.
***
Akhirnya bisa update juga :') maafin aku ya gengs :')
Kasus Pak Haris ada di Kadar Formalin ya. Maaf banget kalau update-nya lima abad sekali :')
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top