3. Kepada Angin
"Mas, tunggu bentar, ya! Awas kalau ditinggal!"
Laki-laki itu hanya menggumam sebagai jawaban. Setir mobil seakan-akan lebih menarik dibanding menanggapinya. Kenanga melepas seat belt, lalu menunggu pintu mobil terangkat. Baru selangkah meninggalkan Lamborghini Veneno, Kenanga berbalik. Ia mengetuk kaca mobil kemudi.
"Apa lagi?" tanya Dio usai menurunkan kaca mobil.
"Mas, beneran jangan ditinggal, loh! Aku bakal marah banget, banget, banget!"
Laki-laki itu melirik arloji. Helaan napasnya terdengar berat. "Iya, bawel. Udah sana."
"Mas, laki-laki itu yang dipegang janjinya, loh, bukan setir mobilnya," sindir Kenanga sambil menendang-nendang kecil Lamborghini Veneno kesayangan Dio.
Sebelah alis Dio terangkat tinggi-tinggi. Ia menatap ke arah ban mobil dan wajah Kenanga secara bergantian. "Ngapain kamu nendang-nendang pacar Mas?"
"Menyedihkan banget, sih, kamu, Mas."
Setelah memasang wajah muram sambil menggeleng prihatin, Kenanga melesat ke minimarket. Ia memaksa laki-laki itu menepi ke sebuah minimarket. Sebab Dio sama sekali enggan menemaninya makan di restoran. Ia selalu penasaran dengan gadis yang berhasil membuat seorang Dio Anggara Cokroatmojo bertekuk lutut. Selain pelit tawa dan senyum, sang kakak sepupu bagai benteng kuat yang sulit sekali diterobos.
Beda tipis dengan Cakrawala Pradipta yang mirip musim pancaroba, sulit ditebak. Ah, kenapa juga Kenanga harus menyamakan mereka berdua? Ia menggeleng pelan, lalu memasukkan lima Pop Mie sekaligus ke keranjang merah.
Mas Dio:
Kopi kaleng satu.
Kenanga:
Gak sehat, Mas. Kita, tuh, bawa Lamborghini Veneno, masa beli kopi kaleng, sih?
Mas Dio:
Ya udah, Mas duluan, ya.
Kenanga:
Ok, fine! Tega kamu, Mas, ninggalin aku demi yang lain? Semua laki-laki, tuh, emang sama aja! Cakra, Mas Dio, Mas Rendra, Papa, semua ninggalin aku! Emang aku cewek apaan?
Mas Dio:
-_-
Usai memasukkan satu kopi kaleng dan hendak menuju kasir, Kenanga justru terperangah. Ia buru-buru memelesat menuju rak berisi pembalut dan pampers. Jantungnya berdetak sangat cepat. Laki-laki yang baru saja memasuki minimarket merupakan seseorang yang ingin Kenanga temui sekaligus hindari.
"Cakra ngapain di sini, sih? Bukannya dia di Semarang?" bisik Kenanga.
Gadis itu menutupi wajahnya dengan sebungkus pampers. Sebelum mereka putus, Cakra masih bekerja sebagai staf di Kejaksaan Negeri Kota Semarang. Sekarang laki-laki itu ada di minimarket yang sama dengannya, tengah menyeduh segelas kopi. Lelucon macam apa ini?
Mas Dio:
Lama.
Kenanga:
Nyawaku terancam! Pokoknya Mas tunggu di mobil sampai aku keluar! Jangan coba-coba masuk ke minimarket dan manggil namaku. Kalau sampai itu terjadi, kita selesai di sini. Aku rasa Mas nggak bisa ngertiin aku sama sekali. Padahal kita bersama dalam waktu yang cukup panjang. Apa arti semua ini, Mas?
Mas Dio:
Buruan
Kenanga:
Aku aja selalu sabar nunggu Mas. Kenapa Mas Dio nggak bisa sedikit sabar memahami perasaanku yang kacau ini? Cinta butuh pengertian dan pemakluman. Aku memaklumi Mas Dio yang bisa hidup dengan dua dasi. Kenapa Mas nggak bisa memahamiku yang sedang berjuang menerjang masa lalu?
Mas Dio is calling ....
Beruntungnya ponsel Kenanga sedang dalam mode bergetar, meski tanah yang ia pijaki seakan-akan berguncang.
"Astaga, ini orang ngapain nelepon, sih? Udah ngetik panjang lebar, nggak paham-paham. Susah banget ngomong sama humandroid," gerutu Kenanga.
Tak tanggung-tanggung, Kenanga mematikan ponsel dan menjejalkannya ke saku blazer. Ia menyingkirkan Pampers yang menutupi wajah untuk memantau Cakra.
"Udah pergi? Ya, bagus deh—" Kenanga berhenti memandang sekeliling. Alangkah sialnya, ia justru menemukan Cakra duduk di kursi teras minimarket. "Ya ampun, dia ngapain minum kopi di situ, sih? Duh, mikir, mikir, mikir!" Ia mengetuk-ngetuk dompet ke dahi.
Kenanga mempertimbangkan beberapa pilihan. Pertama, ia meminta Dio menjemput dan berakting seolah-olah mereka adalah pasangan suami istri yang sangat bahagia. Kedua, keluar begitu saja seakan-akan Cakra di sana hanyalah angin lalu. Jadi, baiknya memang dibiarkan berlalu saja.
Akan tetapi, bagaimana kalau laki-laki itu justru memilih menyapa? Menahannya lebih lama atau bahkan memeluknya erat? Kemarin hubungan mereka berakhir dengan bumbu sebuah ketidakjelasan.
"Duh, kalau pura-pura jadi pasutri happily ever after, sih, nggak mungkin. Secara Mas Dio yang humandroid pasti nggak bisa akting sayang-sayang manja gitu!" Kenanga menutup wajah frustrasi. "Harus gimana, dong? Langsung kabur aja naik Gojek?"
Langkah Kenanga terhenti seketika. Bola matanya hendak lepas dari rongga. Kemungkinan-kemungkinan tadi runtuh berantakan, karena Dio sudah lebih dulu menghampiri Cakra. Belum cukup sampai di sana, sekarang dua laki-laki menyebalkan itu tengah mengobrol.
Kekonyolan macam apa ini? Kenanga belum pernah menunjukkan foto mantannya pada kakaknya sama sekali.
See you in the next chap!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top