29. Tentang Arti Percaya

Aristoteles berteori bahwa bumi itu bulat dan Cakra setuju. Dunianya seolah-olah berputar pada satu nama saja. Bunga Kenanga Cokroatmojo. Sejak Rudy mengabarkan bahwa gadis itu dilarikan ke RS Polri karena malnutrisi dan typhus, dirinya tak bisa menahan diri untuk meminta sekretariat kejaksaan memajukan jadwal temunya dengan Kenanga. Gadis itu ditemukan pingsan disertai demam tinggi. Ia tak memiliki alasan menjenguk gadis itu selain lewat surat tugas.

Nahas sekali, ia butuh surat tugas dan legalitas lembaga hukum demi menemuinya. Di saat orang-orang normal hanya butuh pesan elektronik untuk menemui sang pujaan hati.

"Dia baru membaik." Seorang laki-laki berkacamata menahan Cakra di depan pintu kamar rawat. "Tolong jangan membuat kondisinya berbalik."

Dio Anggara Cokroatmojo, sepupu Kenanga sekaligus wakil ketua Atmojo Group. Fakta yang sangat fantastis.

"Saya tahu," sahut Cakra.

"Jangan khawatir, Pak. Jaksa Cakra sudah andal. Kasus pembunuhan yang saksi matanya anak SD pun bisa beliau tangani," timpal Rudy sembari tersenyum bangga.

Laki-laki yang ia kenal bernama Juniko menyikut perut Dio. Mereka saling berpandangan sesaat kemudian menyingkir. Selain mereka berdua, sebenarnya ruang rawat Kenanga pun dijaga ketat jajaran polisi. Karena status gadis itu masihlah tahanan.

Cakra membuka pintu dan Rudy ikut berjaga di depannya. Ia sempat termenung memandang brankar yang kosong. Namun, begitu mendengar suara pintu kamar mandi terbuka, ia bergegas duduk di sofa tunggal.

"Ngapain kamu di sini?"

Suara lemah itu disusul suara roda tiang infus. Cakra mengangkat kepala, lalu menjumpai wajah gadis pucat bak mayat hidup dan sangat kurus. Lingkaran hitam di bawah matanya pun sangat mengerikan. Ada lebam-lebam di sudut dahi serta sudut bibir. Kenanga yang ia lihat sekarang berbeda 180 derajat dengan gadis bersweter merah muda yang menantinya di Taman Suropati.

"Saya Cakrawala Pradipta." Cakra berdiri sambil mengacungkan ID card yang menggantung di leher. "Staf Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Saya diminta memvalidasi berkas Anda secara langsung."

"Oh."

Respons gadis itu jauh dari ekspektasinya. Kenanga hanya berjalan terseok-seok menuju brankar tanpa berkata-kata apa-apa lagi.

"Kaki kamu ... kenapa?"

"Sakit," jawab Kenanga sambil terus berjalan tanpa peduli.

"Iya, sakit kenapa?"

Cakra ingin menghampiri, tetapi khawatir Kenanga akan mengamuk atau semacamnya. Sebab pertemuan terakhir mereka diwarnai kemarahan gadis itu.

"Ditendang temen."

"Temen?"

"Temen di penjara."

Kenanga membiarkan pandangan mereka bertaut sesaat, lalu berbaring di brankar tanpa menghiraukan laki-laki yang berdiri termenung. Ia memiringkan tubuh ke kiri, bersiap-siap menunggu langit menggelap tanpa melakukan kegiatan apa pun lagi. Seperti tadi, seperti kemarin, seperti hari-hari yang telah terlewat.

"Kamu udah tahu kalau aku mau datang?" tanya Cakra yang berjalan perlahan mendekati brankar.

"Aku nggak peduli sama siapa pun yang datang ke sini."

Cakra memandang sekeliling kamar rawat Kenanga. Di meja dekat brankar ada dua nampan yang isinya sengaja diacak-acak, padahal tak terjamah sama sekali. Bisa ia tebak kalau itu sarapan dan makan siang Kenanga. Kemudian ia beralih pada tumpukan paper bag dengan berbagai brand yang memenuhi sofa panjang. Kalau boleh jujur, kamar rawat ini lebih mirip kafetaria karena aroma makanan lebih kuat dibanding aroma antiseptik rumah sakit.

"Aku boleh duduk dekat kamu, nggak?" tanya Cakra pada gadis yang berbaring memunggunginya.

"Terserah."

Piama berwarna biru tersebut tampak kebesaran di tubuh Kenanga. Selimut bermotif kotak ungu putih hanya digunakan menutupi kaki. Keadaan itu cukup membuat Cakra dicambuk berkali-kali, lantas tertimpa reruntuhan gedung pencakar langit. Fokusnya beralih pada bagian belakang leher yang tak tertutupi rambut. Secara refleks ia menyentuh lebam besar di sana sambil mengernyit.

"Kamu dipukul, Ke?"

"Setiap hari."

Mata Cakra terpejam seketika. Ia bersusah payah mengatur gejolak di kepala dan benak. Ia harus bicara dengan Kenanga dalam keadaan tenang tanpa menyudutkan, mengintimidasi, atau semacamnya.

Hasil autopsi Bianca membuktikan adanya kandungan sianida dan berdasarkan CCTV, gadis di depannya ini memberi korban minum sebelum terkapar. Cakra menarik napas, kemudian melabuhkan tangannya di kepala Kenanga.

"Satu-satu ... daun-daun, berguguran tinggalkan tangkainya." Cakra menyanyikan lagu yang biasa mendiang Ibu Dian nyanyikan ketika anak gadisnya sakit dan enggan beranjak dari tempat tidur. "Satu-satu ... burung kecil, beterbangan tinggalkan sarangnya. Jauh ... jauh ... tinggi ... ke langit yang biru ...."

Cakra mengusap rambut kusut Kenanga sama seperti yang Ibu Dian lakukan juga. Tanpa memedulikan prinsipnya, tanpa memedulikan apa pun lagi. "Andaikan aku punya sayap, ku kan terbang jauh mengelilingi angkasa. Kan kuajak ayah bundaku, terbang bersamaku melihat indahnya dunia ...."

Kenanga depresi berat dan Cakra tidak tahu harus bagaimana menguatkan gadis itu. Ia bisa merasakan betapa hancurnya Kenanga, kalau bisa ia ingin memunguti kepingan-kepingan itu, menyatukannya kembali. Punggung kecil di hadapannya kini berguncang hebat. Kemudian yang terdengar setelahnya bukan raungan, tetapi isakan pilu.

Gadis itu meremas bantal di bawah kepalanya kuat-kuat, tetapi tak mengempaskan tangan Cakra.

"Kamu boleh nangis, Ke. Jangan ditahan, soalnya sakit," ucap Cakra lirih tanpa berhenti mengusap kepala gadis itu. "Nggak apa-apa. Kamu tetap perempuan hebat. Mama bangga sama kamu."

Kenanga bangun terduduk bersama wajah tak keruan dan ia tak peduli. Meski matanya kini memburam, Cakra tetap terlihat jelas. Laki-laki itu adalah laki-laki yang mengenal baik mendiang Mama. Laki-laki yang baru saja membawakan banyak kenangan Mama dengan cara paling sederhana sekaligus menyakitkan.

Tanpa berpikir, Kenanga memeluk erat laki-laki itu. Sangat erat. Ia pun tak mengerti kenapa rasa bencinya terhadap Cakra tiba-tiba habis terkikis.

"Aku nggak tahu kenapa aku bisa meluk kamu ... aku ... aku nggak tahu ...," racau Kenanga. "Aku ...."

Sekali lagi Cakra melanggar prinsipnya. Ia membalas pelukan Kenanga, mengusap-usap lembut punggung gadis itu.

"Aku tahu, Ke ... aku tahu," bisik Cakra.

"Kak Cakra, aku takut ...," ujar Kenanga di tengah isakan.

Cakra hanya mengangguk meski Kenanga tak melihatnya. Karena keseluruhan wajah gadis itu bersembunyi di dadanya. Hari ini ia tidak menganggapnya sebagai mantan kekasih, melainkan gadis kecil yang kesepian, adik kecil yang pemurung.

***

Gadis itu masih saja mengaduk makan siangnya tanpa sepatah kata. Kepalanya menunduk dan tatapannya kosong. Bunga Kenanga Cokroatmojo tumbuh besar dengan sendok emas. Musibah ini tak hanya membuat dunianya jungkir balik, tetapi juga bak anak panah yang menyerang dari segala penjuru mata angin.

"Aku pinjam sebentar," ujar Cakra yang merebut sendok di tangan Kenanga. Ia menyendok sedikit oatmeal berhias raspberry di mangkuk, kemudian mengarahkannya ke mulut Kenanga. "Kenapa?" tanyanya karena gadis itu menggeleng, merebut sendoknya kembali.

Tak ada jawaban. Gadis itu hanya meletakkan sendok di samping gelas, lalu beralih memandang ke arah jendela.

"Makan sendiri nggak mau, disuapin juga nggak mau. Kenanga maunya apa?"

"Maunya mati," jawab gadis itu tanpa memandangnya. Lirih, tetapi sangat jelas.

"Mati itu nggak perlu diminta, Kenanga." Cakra menyentuh puncak kepala gadis itu, merapikan pelan-pelan poni yang sekarang sedikit berminyak. "Semua orang punya jatahnya masing-masing. Kalau kamu makan sekarang, semua harapan kamu kemungkinan bisa terwujud besok atau lusa. Tapi kalau kamu begini, kamu cuma menyiksa diri."

"Kamu bisa ngomong begitu, karena kamu nggak ada di posisi ini."

"Iya." Cakra mengangguk. "Aku memang cuma bisa ngomong hal-hal baik buat kamu. Aku nggak bisa bikin masalah kamu tiba-tiba selesai, tapi kamu percaya, kan, Tuhan bisa menghidupkan lagi orang yang sudah mati?"

Kenanga terdiam, sedangkan Cakra mulai menyendok lagi secuil oatmeal di mangkuk.

"Kalau kamu percaya hal itu, seharusnya kamu juga percaya masalah kamu bisa selesai dengan skenario-Nya," lanjut Cakra.

Pandangan mereka bertaut dalam debaran samar, sangat samar untuk sekadar disadari.

"Kamu staf bagian apa?"

Cakra menyelisik bola mata gadis itu. Tak ada tanda-tanda kebohongan atau sebuah kepura-puraan di sana. Kenanga benar-benar belum tahu apa hubungan mereka di persidangan nanti, padahal Cakra yakin dua laki-laki tadi tahu walau ia tak mengenakan seragam. Demi membuat gadis dihadapannya ini merasa tidak terintimidasi atau semacamnya, ia sengaja membawa pakaian ganti.

"Makan dulu, baru dijawab," sahut Cakra seraya mengarahkan sendok ke mulut gadis itu.

"Nggak usah dijawab. Aku nggak peduli."

Kenanga beranjak terseok-seok, menarik tiang infus menuju jendela. Baru lima langkah, tubuhnya ambruk terduduk. Tiang infus hampir menimpa kepalanya kalau gerakan Cakra terlambat satu detik saja.

"Ke ...." Cakra berjongkok, memegangi bahu gadis itu. "Apa yang sakit?"

Kenanga mencengkeram lengan Cakra kuat-kuat.

"Aku cuma nganter Bianca ke rumah sakit. Kenapa semua orang bilang aku yang bunuh dia?" ucapnya terbata-bata, bibirnya pun bergetar. "Air minum yang aku kasih ke dia nggak mengandung apa pun. Aku ingat botolnya masih bersegel."

Mereka saling berpandangan. Cakra tahu, Kenanga ingin ia percaya. Akan tetapi, ia belum bisa mengatakan itu secara terang-terangan sekarang. Nanti setelah berhasil menguak kasus tersebut, gadis itu pasti paham.

"Kamu nggak akan percaya," kata Kenanga lagi bersamaan dengan cengkeramannya yang mengendur. "Sama kayak mereka."

"Kebenaran tetaplah kebenaran sekalipun keluar dari mulut seekor anjing." Cakra meraih sebelah tangan Kenanga yang lunglai, mengusap punggung tangannya pelan. "Tolong pahami, kami penegak hukum sedang berusaha mencari bukti-bukti. Kalau kamu memang tidak bersalah, maka kamu harus membantu kami mematahkan segala tuduhan." Ia sedikit menunduk demi mengejar arah pandang gadis itu lantas berkata lirih, "Ceritakan semua."

Seusai menarik napas panjang, Kenanga menceritakan awal pertemuannya dengan Bianca Indira Darmawangsa. Bagaimana interaksi mereka di florist dan apa saja yang Kenanga ketahui tentang Bianca. Sebenarnya ia sudah bosan menceritakan itu semua kepada orang-orang yang berprofesi di lembaga hukum seperti Cakra. Semua terasa percuma, ujung-ujungnya ia tetap masuk bui.

"Bianca selalu datang di hari Sabtu," tutur Kenanga. "Mukanya selalu pucat disertai lebam-lebam baru sekalipun tertutup make up. Dia juga selalu menyimpan barang di Loker Harapan dan memesan sebuket mawar putih."

"Polisi cuma menemukan origami-origami yang kosong di sana. Dia pesan bunga itu untuk siapa?"

"Aku nggak tahu, dia cuma selalu menulis satu huruf di kartu ucapannya."

"Huruf apa?" tanya Cakra penuh selidik.

"Hurufnya selalu berbeda dan aku nggak ingat."

Setidaknya, apa yang dibeberkan gadis itu kepada polisi dan dirinya adalah satu kesatuan cerita yang sama.

Cakra mengangguk, lalu mengembalikan tangan Kenanga karena merasa cukup menerima informasi. Ia memperhatikan kaki kiri gadis itu, kemudian yang kanan. Ia menyentuh bagian kanan, tertutup oleh celana piama panjang, tetapi ada lipatan-lipatan kain semacam perban di sana. Mata mereka lagi-lagi bertaut sesaat, karena Kenanga segera berpaling.

"Kaki kamu bukan cuma ditendang, ya?"

Kenanga terdiam cukup lama sebelum menjawab, "Iya, diinjak lima orang."

Mata Cakra terpejam. Sekali lagi, ia harus menahan sesuatu yang hendak meledak. Apa yang ia khawatirkan kemarin benar-benar menimpa Kenanga. Sekalipun berwujud perempuan, narapidana tetaplah narapidana.

"Penembakan John F Kennedy dan kematian Lady Diana nggak pernah benar-benar terungkap. Apa kasus ini juga bernasib sama?" Suara lirih Kenanga memecah keheningan yang hampir saja menyedot mereka ke dalam suatu ruang.

"Kamu percaya nggak Tuhan bisa menghidupkan kembali orang yang sudah mati?"

Pertanyaan yang sama sengaja Cakra lontarkan karena sebelumnya gadis itu menutup mulut rapat-rapat. Sekian detik bergulir, ia pun bernapas lega tatkala Kenanga mengangguk. Tandanya hati nurani gadis itu tak benar-benar kosong seperti yang ia pikirkan tadi.

"Sekarang kamu makan, ya?"

Cakra berpindah ke samping tubuh mungil Kenanga. Ia merangkul, lalu berupaya meraih kedua kaki gadis itu.

"Kamu mau gendong aku?"

Kenanga memegang lengan laki-laki itu, tetapi langsung menunduk. Ia memang tak memedulikan siapa pun yang datang menanyakan keterangan. Namun, spontanitas Cakra hari ini menimbulkan hal-hal aneh dan ia enggan berpikir keras.

"Memangnya kamu nggak mau?"

Kenanga enggan menjawab. Ia meraba-raba lantai, mengumpulkan sisa tenaga. Namun, Cakra sudah meraihnya sebelum ia berpijak di atas kakinya sendiri.

"Kalau nggak jawab berarti setuju," ujar Cakra pelan.

Alih-alih meronta-ronta atau memukuli Cakra, ia justru menunduk dalam-dalam. Entah ke mana hilangnya sikap ketus serta kebenciannya terhadap sang mantan kekasih. Jarak menuju brankar terasa sangat panjang, mungkin karena langkah kaki Cakra sangat-sangat lambat. Kenanga ingin terus menghindari kontak mata, tidak ingat kapan terakhir kali menyisir rambut, bahkan mandi, yang jelas ia dapat mengendus bau bekas muntahan bercampur antiseptik pada piamanya.

"Kak Cakra," panggil Kenanga.

Cakra hanya menggumam. Fokus laki-laki itu tertambat pada tiang infus yang didorong pelan-pelan dengan kaki.

"Makasih."

"Kembali kasih."

***

EKHEM, BAIKLAH. Aku menganggap bab ini sebagai golden moment Cakra Kenanga setelah berbagai narasi memusingkan wqwqwq. Oh ya makasih bangeeeeet buat kamu-kamu yang masih setia stay tune :D

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top