28. Tentang Akhir Skenario

Seluruh tubuh Kenanga terasa dipukuli seribu orang. Kepalanya pun berdenyut nyeri. Ia tak tahu kapan matahari terbit dan terbenam. Entah sudah berapa lama ia hanya bisa melihat jeruji besi, tembok bercat pudar serta teman-teman satu sel yang berengsek. Bagaimana tidak berengsek? Mereka kerap mengejek, melakukan tindakan kasar, bahkan meludahinya.

Kalau mengukur kekuatan Klan Cokroatmojo, seharusnya Kenanga bisa ditempatkan di sel sekelas para koruptor yang setara kamar hotel bintang lima. Namun, keluarga Darmawangsa memiliki kekuatan seimbang. Jadilah mau tak mau Bunga Kenanga Cokroatmojo harus mencicipi penderitaan tiada tara. Lagi pula, bui tetaplah bui.

Meski keluar sebentar sekadar untuk menemui keluarga yang berkunjung, setidaknya Kenanga masih bisa sedikit bernapas dan kembali berharap terbebas dari penyiksaan ini. Sipir penjara memegangi bahunya. Mereka menuju ruangan di mana Dio menunggu. Papa datang pada hari pertama ia dijebloskan ke bui, lantas membuat kericuhan parah. Setelah itu Haris Cokroatmojo dicoret dari daftar pengunjung. Ia pun meminta Dio untuk melarang keluarga lain datang, kecuali Juniko. Ia yakin kehadiran keluarga besarnya hanya akan memperumit keadaan yang sudah telanjur rumit.

"Terima kasih, Bu," ucap Dio pada sipir penjara yang mengantar Kenanga. "Ke, kamu pucat banget. Mas takut lihatnya, takut kamu kenapa-kenapa. Mas nggak pernah bisa tidur selama kamu di sini," bisiknya.

Mereka duduk berhadapan dengan meja panjang sebagai pembatas. Dio mengangkat beberapa paper bag ke meja. Aroma sate kambing tercium kuat, disusul aroma manis kue. Laki-laki itu mengunjunginya setiap hari. Terkadang bersama Juniko, Caca, atau sendiri seperti sekarang. Dari sekian miliar orang-orang berengsek di dunia, setidaknya ia masih memiliki Dio Anggara Cokroatmojo sebagai keluarga.

"Mas ...," panggil Kenanga yang menahan isakan. Ia menggenggam erat tangan Dio di atas meja. Sangat erat. "Aku nggak sanggup lagi."

Dio membalas erat genggaman Kenanga. "Juniko udah menutup mulut semua wartawan bayaran Darmawangsa. Mas pastikan sebentar lagi kamu bebas."

"Sebentar lagi sidang, Mas ... semua bukti mengarah ke aku," sanggah Kenanga dengan nada suara yang begitu menyiksa. "Apa yang bisa aku harapkan?"

"Kamu harus yakin, Ke." Dio menyeka pipi gadis berwajah pucat bak mayat hidup itu. "Kamu nggak bersalah. Kita bisa menang di persidangan dengan mudah. Papa kamu yang menjamin itu, dia lagi cari orang."

Kenanga melepas genggamannya, kemudian menundukkan kepala.

"Aku kangen Mama. Aku mau lihat Mama." Detik itu pun bahu Kenanga berguncang hebat, napasnya terputus-putus.

"Ke, tolong ...." Dio meraih tangan gadis itu lagi. Ia tahu maksud kalimat Kenanga barusan. "Mas janji kamu pasti bebas setelah sidang. Sekarang kamu makan, ya? Mas suapin."

"Aku nggak pengin makan, Mas."

Hari-hari panjang yang ia lalui di bui adalah untuk menghitung hari kematian. Begitulah yang ada dalam benak dan pikirannya. Kenanga menatap sekilas sel-sel besi yang sedikit terlihat dari tempatnya duduk. Hanya ada dua kemungkinan, bebas atau mati di tempat itu. Entah mana yang akan terjadi, itulah akhir skenarionya.

***

Derasnya hujan membius Cakra di tengah kemelut pikiran dan tumpukan berkas. Ia berdiri menghadap jendela entah untuk berapa lama. Kekhawatirannya kepada sang mantan kekasih bisa disetarakan dengan seluruh udara yang melingkupi ruang kerja. Delapan puluh persen nurani Cakra yakin Kenanga tidak mungkin membunuh orang. Namun, berkas di tangannya dan bukti-bukti mengarah kepada gadis itu. Waktu, sebab, dan akibatnya terlalu kuat.

Terakhir, konspirasi pembunuhan memang sering terjadi di kalangan keluarga konglomerat.

Sebenarnya masih ada kepingan puzzle yang belum lengkap. Ia belum bisa memprediksi apakah sisa kepingan tersebut memungkinkan Kenanga untuk menang. Keluarga Bianca yang sepertinya sudah membaca kecacatan tersebut telah siap menghadirkan saksi yang memberatkan. Selain itu, hukum bicara berdasarkan fakta, bukan hati nurani. Siapa saja bisa jadi tersangka, termasuk orang yang tidak bersalah sekalipun.

"Gimana, Rud?" tanya Cakra sesudah panggilan tersambung.

"Keberadaan Jason masih belum terlacak, Pak," jawab Rudy.

Cakra mengembuskan napas keras. "Langsung kabari saya kalau ada perkembangan."

Dalam sebuah kasus pembunuhan, Cakra tidak bisa memercayai siapa pun, termasuk Jason Sirait. Dalam kasus pembunuhan pun, rata-rata tersangkanya adalah orang yang paling dekat atau orang yang gelagatnya terlihat sangat tidak mungkin membunuh si korban. Oleh karena itu, dirinya tak bisa melepaskan Jason begitu saja. Ia bersandar pada dinding, kemudian mendongak.

Klan murni Cokroatmojo terdeteksi punya sejarah yang cukup buruk dengan keluarga besar Bianca. Cakra tak peduli pembunuhan tersebut adalah konspirasi kubu mana, yang jelas ia mengambil alih kasus ini karena ingin tahu detail kronologinya. Ia pun tak ingin menimbulkan kecurigaan di pihak kejaksaan dan membuat masa lalunya dengan Kenanga muncul ke permukaan. Mengundurkan diri dari tugas hanya akan memperkeruh keadaan.

"Kenapa kita harus ketemu lagi dengan cara yang kayak gini, Ke?" tanya Cakra pada langit-langit ruang kerja, lantas pikirannya pergi ditemani seraut wajah yang punya senyum sesejuk pohon rindang.

"Kata pepatah orang Jawa, kalau mau cari pendamping hidup itu harus lihat bibit, bebet, bobotnya," celoteh Kenanga ketika berbaring di atas rumput taman belakang, di bawah jutaan bintang.

Mereka baru saja menyelesaikan sesi les privat. Ia memberanikan diri berbaring di samping Kenanga dengan jarak empat jengkal.

"Mama dulu pernah punya pacar beda keyakinan, kerjanya di salah satu stasiun televisi swasta. Eyang Uti nggak setuju, karena kriterianya mental semua dari si bibit, bebet, dan bobot. Akhirnya mereka terpaksa putus karena semua perbedaan signifikan tadi, padahal sebelumnya perbedaan signifikan itu pernah bikin mereka nyatu. Pusing banget nggak, sih?" Kenanga menyisipkan tawa kecil. "Cinta, tuh, rumit, ya, Kak?"

"Yang rumit, tuh, kamu," jawab Cakra dengan nada datar.

Gadis itu berdecak, lalu mendorong bahu Cakra. "Nyebelin."

Malam itu mereka bisa tertawa seolah-olah masalah yang mampir di kehidupan hanyalah sebatas ujung kuku. Namun, kondisi mereka sekarang berbalik 180 derajat. Cakra tak lagi merasakan damai, begitu juga Kenanga yang terpenjara dari kehidupan normal.

"Cinta itu sederhana, yang rumit cuma kita, Ke," gumam Cakra saat mengingat kembali pertanyaan Kenanga sekian ratus hari lalu.

Cakra meninggalkan kantor kejaksaan tepat pukul 22.00. Usai mengarungi jalanan lengang, matanya menyipit karena pemandangan seorang laki-laki paruh baya berjas rapi duduk di teras rumah dinasnya. Ia memarkirkan mobil di sebelah mobil mewah yang gagang pintunya saja mengilap. Laki-laki itu berdiri bersama senyum congkak yang pernah ia lihat dulu.

Beberapa tahun tak bersua, tak ada banyak perubahan dari seorang Haris Cokroatmojo. Semiran pada rambut tuanya cukup menutupi umur, tubuhnya pun masih sangat segar bugar. Bagaimana tidak? Hidup Haris bergelimang harta, dikelilingi wanita, dan takhta beberapa anak perusahaan keluarga masih di tangannya.

"Selamat malam, Mas Cakra," sapanya seraya mengulurkan sebelah tangan.

Bersamaan dengan itu wanita tua yang mengurus rumah dinas berjalan terburu-buru mendekati Cakra. "Mas, ini tamunya nunggu dari tadi. Ndak mau diajak masuk," bisik Bu Sumarni.

Cakra mengangguk. "Ibu kalau mau pulang sekarang nggak apa-apa."

"Kalau gitu saya tinggal, ya, Mas?"

Setelah Cakra mengangguk, Bu Sumarni undur diri. Wanita tua itu hanya bertugas sampai dirinya pulang.

"Malam, Pak," balas Cakra seraya menjabat tangan Haris.

Percayalah, ketika berdiri bersampingan seperti ini, perbedaan umur mereka seolah-olah sangat tipis. Benar-benar fakta yang mengerikan dari seorang Haris Cokroatmojo.

"Apa kabar?"

"Baik, Pak." Cakra melirik cangkir teh dan penganan ringan di meja, lantas tersenyum tipis. Pantas masih utuh, mana mau Haris Cokroatmojo minum dan makan di sembarangan tempat seperti rumah dinasnya? "Silakan duduk."

Setelah berdiam cukup lama dalam lingkupan hening yang panas, Haris menatap laki-laki pujaan anak gadisnya. Tidak ada hal spesial, hanya terlihat seperti parasit. Cerdik sekaligus berbahaya.

"Saya nggak menyangka ternyata kamu berprofesi sebagai jaksa. Saya pikir kamu terjun ke perusahaan seperti beberapa teman kamu yang dapat beasiswa Atmojo Group."

Cakra mengangguk sopan. "Iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?"

Senyum culas di wajah Haris. "Kamu pasti akan mengalah demi dia, kan?"

Cakra tidak heran kalau Haris mengetahui hal tersebut. Ia pun tak heran kenapa diminta mengalah.

"Saya dan Kenanga sudah selesai."

"Saya tahu, dia pasti memaafkan kamu setelah sidang."

Sebelah alis Cakra terangkat. Ia menatap ayah sang mantan kekasih. Entah Haris sadar atau tidak, kalimat itu berhasil menjawab teka-teki yang ia simpan rapat-rapat di kepala. Tentang bom yang menghancurkan hubungannya dan Kenanga.

"Nanti kamu bisa menemuinya lagi di rumah seperti dulu," kata Haris lagi sambil beranjak. "Kebetulan kami belum punya jaksa khusus keluarga."

Inilah yang Cakra tidak sukai dari orang-orang telanjur kaya raya seperti Haris Cokroatmojo. Mereka berpikir segala hal di dunia bisa dibeli dengan uang termasuk harga diri orang.

"Saya hanya akan bicara berdasarkan fakta yang ada," pungkas Cakra.

Haris yang sudah berjalan tiga langkah, seketika berbalik. "Ingat. Saya bisa membunuh bisnis dan jabatan orang."

Cakra mengangguk. "Saya ingat. Sekarang pun bisnis Bapak dan jabatan putri Bapak terancam mati, maka dari itu Bapak menemui saya sebelum wartawan bergerak dan saham anjlok."

"Kamu pernah hidupdari upah yang istri saya berikan," ucap Haris dengan gigi merapat. Iamencengkeram kerah seragam Cakra, matanya kini menyalang merah. "Anggap sajaini balas budi, paham?"

***

Akhirnya sampe juga ya di bab ini. Kalau kalian berpikir kasus kematian Bianca adalah benang yang nambah makin ruwet-wet-wet. Saya cuma mau bilang, ini justru titik terang untuk Cakra dan Kenanga 😂 Kemungkinan besar cerita ini bakal ending di bab 34 atau 35. Udah sampe situ aja, saya nggak mau banyak spoiler wqwqwq. Makasih buat vomment yang bertebaran❤️❤️ See ya in the next chap!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top