27. Tentang Hari Buruk

Kenanga pikir, kepergian Mama adalah mimpi buruk sepanjang masa. Namun, nyatanya memasuki kantor polisi dikawal penjagaan ketat adalah pemenangnya. Ia tidak tahu apa yang dilaporkan keluarga Bianca. Mungkin inilah jawaban dari firasat buruknya. Gadis itu bahkan tak sanggup lagi menangis. Entah bagaimana hari esok akan berlanjut. Sekarang ia pun kesulitan berpikir jernih.

Satu hal yang ia yakini, ini adalah ujung kehancuran hidupnya jika tidak ada seseorang pun yang bisa mematahkan laporan keluarga Bianca.

"Mbak Kenanga," panggil seorang gadis.

Kenanga menoleh ke sumber suara bersama sisa-sisa tenaga. Susi berdiri di depan meja seorang polisi yang fokus menatap layar komputer. Gadis itu pasti sedang dimintai kesaksian. Mimpi buruk macam apa ini? Ia bahkan tak pernah membayangkan When The Flowers Talk dilingkari garis polisi.

"Pak, majikan saya nggak bersalah!" teriak Susi sambil menunjuk Kenanga dari jarak sekian meter. "Demi Allah, dia orang baik! Dia nggak mungkin membunuh orang!"

Polisi di hadapan Susi mendongak dengan tatapan menusuk. "Duduk, kamu!"

Setelah itu Kenanga tak tahu lagi apa yang terjadi. Ia pun tak tahu bagaimana menanggapi Susi. Tanpa terasa, mereka sampai di sebuah ruangan tertutup yang kosong. Sangat kosong tanpa berbagai macam perlengkapan kantor. Seluruh dinding bercat putih. Hanya ada satu meja panjang dan dua kursi yang berhadapan. Seorang pria paruh baya telah menempati salah satu kursinya.

"Silakan duduk," katanya.

Mereka benar-benar ditinggalkan berdua di ruangan tersebut. Tubuhnya seolah-olah mendadak kaku dan suhu pendingin ruangan terasa sangat dingin. Pria berusia sekitar kurang lebih 40 tahun tersebut menautkan jemari ketika Kenanga duduk.

"Berdasarkan laporan, Anda adalah satu-satunya orang yang terakhir kali Bianca temui. Berdasarkan CCTV pun, Anda adalah satu-satunya orang yang bersama Bianca di detik-detik kematiannya."

"Saya tidak membunuh Bianca Indira Darmawangsa," jelas Kenanga. "Dia minum air putih yang saya berikan, lalu pingsan."

"Bianca mati di tempat dan kami punya bukti."

Kenanga menarik napas. Ia menatap tajam pria paruh baya di hadapannya. Bagaimanapun ia akan membela diri mati-matian. "Minuman itu tidak mengandung apa pun, Pak. Saya sangat ingat botolnya masih bersegel."

Ya, Kenanga sangat ingat. Botol mineral yang ia berikan pada Bianca masih bersegel. Karena ia memang selalu menyimpan minuman di laci meja kerjanya. Entah itu di Atmojo Group maupun florist. Alasannya supaya ketika sedang sangat fokus dan malas beranjak, ia hanya perlu menarik laci.

"Jelaskan kronologinya. Apa saja yang Anda lakukan sebelum Bianca datang?"

***

"Ada apa, Pak?" tanya Cakra pada pramubakti yang berdiri di belakang Pak Adam.

"Maaf sebelumnya, Pak Jaksa ditunggu di ruangan Jaksa Hanif."

Kunyahan Pak Adam terhenti. Ia serta-merta menoleh bersama sebelah pipi yang menggembung.

"Saya juga?" tanya Pak Adam.

Seketika Cakra teringat sesuatu. Ia buru-buru merogoh saku seragam. Benar saja, banyak panggilan tak terjawab di ponselnya karena masih mode senyap. Kalau sudah begini acara makan siangnya dengan Pak Adam terpaksa dibubarkan.

"Jaksa Cakra saja," jawabnya sambil menunjuk Cakra dengan ibu jari, lalu menunduk sopan.

"Alhamdulillah kalau begitu. Saya mau lanjut makan," kata Pak Adam yang mulai menyendok nasi lagi.

"Bapak istirahat saja," ujar Cakra karena melihat napas pramubakti yang tersengal-sengal. "Sekarang saya langsung ke ruangan Jaksa Hanif. Nanti saya sampaikan ke Jaksa Hanif kalau Bapak sedang istirahat."

Pramubakti tersebut tersenyum lega.

"Terima kasih, Jaksa Cakra."

Ruangan Pak Hanif terletak di lantai paling atas. Ruangannya cukup privasi karena beliau menjabat sebagai Kepala Kejaksaan. Begitu sampai di depan pintu ruangan, ia menarik napas dalam-dalam lantas mengetuknya. Pintu jati nan kokoh dibuka oleh salah satu staf yang bertugas di ruangan tersebut. Baru selangkah, firasat Cakra mendadak kacau seketika. Apa ia membuat kesalahan fatal dan akan dimutasi ke pelosok setelah ini? Apa karena Jason Sirait belum juga berhasil ditemukan?

"Selamat siang, Mas Cakra. Silakan duduk."

Berbagai macam spekulasi berseliweran hingga Cakra menduduki sebuah kursi panas. Ya, kursi yang berhadapan langsung dengan Pak Hanif, mereka juluki sebagai kursi panas. Pak Adam pernah terserang panu setelah duduk selama 27 menit di sana. Baiklah, abaikan fakta ngawur tadi. Ia pun pernah menduduki kursi tersebut sesudah lulus pendidikan jaksa dan Pak Hanif sangat baik—

tentunya jika sedang tidak membicarakan berkas perkara yang masuk ke kantor ini.

"Selamat siang, Pak. Salah satu pramubakti bilang Bapak mencari saya."

"Betul, Mas." Pak Hanif beralih pada salah satu staf. "Tolong bawakan bekasnya kemari."

Seorang staf membawakan brankas ke atas meja Pak Hanif, mengutak-atik password-nya sebentar kemudian mengeluarkan setumpuk berkas.

"Begini, Mas Cakra. Saya sangat menghargai kinerja Mas Cakra selama ini. Jadi, masalah Jason Sirait akan berpindah tangan sementara ke Pak Yudi. Karena saya menugaskan Mas Cakra untuk mengurus perkara ini."

Cakra mengangguk. Ini merupakan berkas yang dikirim oleh pihak kepolisian dan siap masuk ke meja hijau. Ia membaca berkas tersebut dengan saksama, lalu menahan napas. Identitas lengkap terdakwa pada berkas tersebut membuat kepalanya sakit.

Bagaimana bisa Bunga Kenanga Cokroatmojo terjebak dalam kasus pembunuhan? Ke mana keluarga besarnya yang superpower itu?

"Pak, mohon maaf sebelumnya. Saya ingin mengajukan pengganti yang bisa menangani perkara ini."

"Semua jaksa masih mengurusi perkara lain. Apa Mas Cakra siap dimutasi ke pelosok?"

Tidak. Cakra tak peduli walau harus dimutasi ke pelosok. Masalahnya adalah ia tidak mungkin membuat perempuan yang dicintainya setelah sang ibu menderita. Karena mereka harus bertemu di sebuah sidang sebagai kutub magnet yang bertolak belakang.

***

Halo pembaca, di sini aku nggak bermaksud menggiring opini kalian untuk berpikiran jelek terhadap pesantren ya. Tapi kasus yang meledak tahun lalu itu emang parah banget sih menurutku. Di novel kadar formalin pun kita pernah bahas sedikit tragedi penembakan mahasiswa Trisakti 1998, Isabella Guzman, dan kematian reporter metro tv di pinggir tol ya. Sengaja dibahas dikit aja, kalau meluas takutnya dicari orang gitu kan. Dan seperti kata Erisca Febriani, menulis cerita adalah salah satu cara penulis untuk speak up. Jadi, bahasan Pak Adam dan Cakra di sini cuma cara Pariskha Aradi speak up ya. Itu aja.

With love,
Pariskha Aradi

Terima kasih masih menemani Cakra Kenanga ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top