26. Tentang Kabar Buruk

Halo, maaf ya sayang baru update hehe. Semoga masih ada yang nungguin 😁



"Selamat datang di When The Flowers Talk. Jika Anda kesulitan menyampaikan perasaan biarkan bunga yang bicara," sapa Kenanga begitu lonceng pintu berdenting.

Seorang gadis berambut cokelat tersenyum ke arahnya. Wajahnya masih sepucat yang terakhir Kenanga lihat, meski ditutupi blush on dan lip tint sekalipun.

"Halo, Kenanga," balas Bianca begitu sampai di meja kasir. Ia lantas memamerkan kunci Loker Harapan. "Ke, aku mau taruh barang, ya? Oh, ya, aku pesan mawar putih yang biasa."

"Oke, take your time, Kak." Kenanga sedikit membungkuk, kemudian merentangkan sebelah tangan seperti pengawal. "Jalan menuju Loker Harapan ada di sebelah sana."

Bianca resmi menjadi pelanggan spesial When The Flowers Talk sejak kunjungan pertama. Gadis itu akan datang di hari Sabtu dan memesan sebuket mawar putih. Kenanga tak tahu persis bunga rangkaiannya ditujukan untuk siapa, itu bukan ranahnya juga. Mengenai Loker Harapan, ia seperti terkena ledakan dahsyat tiap mengingat jajaran loker tersebut. Kalau dipikir-pikir, dunia ini bak sebatas lingkaran tutup botol air mineral. Sebab Cakrawala Pradipta masih juga menjadi bagian loker tersebut.

Kejadian seminggu kemarin pun seolah-olah menampar Kenanga bolak-balik. Kejadian tersebut seakan-akan ingin menegaskan bahwa sejauh apa pun ia berlari, Cakra tetap menemani.

Ah, mengingat itu, dirinya merasa sangat-sangat bodoh. Kenapa ia tak pernah berpikir kalau seseorang bisa saja mengenakan topeng bandit untuk menipu?

"Cowok berengsek. Sekalinya berengsek, ya, tetep berengsek," gerutunya menahan kesal. "Jadi pengin naburin duri-duri ini ke matanya."

"Kebiasaan Kenanga, sukanya ngomong sendiri."

Kenanga mengangkat kepala dan menemukan Bianca duduk di kursi kasir. "Yah, belum selesai, nih, Kak."

"Tenang aja yang beli pengacara, kok."

"Serius, Kakak advokat?"

Bianca tertawa kecil. "Pengangguran banyak acara maksudnya, Ke."

Kenanga tertawa menanggapi Bianca.

"Ke, HP aku ketinggalan, nih," ujar Bianca setelah merogoh tas. "Aku ke mobil dulu, ya?"

Kenanga mengangguk sekilas. "Hati-hati, ya, Kak."

Tak lama, Bianca tiba-tiba sudah duduk lagi di kursi depan kasir. Ada banyak peluh yang menghiasi dahi dan napasnya terlihat kepayahan.

"Kakak pucat banget, minum dulu, nih, Kak," katanya lagi seraya menarik laci Doraemon dan menyodorkan sebotol air mineral pada Bianca.

"Makasih, ya, Ke."

Gadis itu meneguk sekali, kemudian meletakkan botol di meja tanpa menutupnya. Hanya berjeda sekian menit, Bianca tiba-tiba terjungkal ke belakang.

"Kak Bianca?!" jerit Kenanga.

***

Kenanga mengotak-atik ponsel dan berjalan bolak-balik. Jantungnya berpacu sekian kali lipat lebih cepat. Ia mengusap dahi sampai ke rambut, lantas duduk. Kakinya tidak bisa diam selama menunggu panggilan terjawab. Aroma rumah sakit biasanya mengingatkan dirinya pada Mama. Namun, sekarang di kepalanya hanya berisi nama Bianca Indira Darmawangsa.

"Sumpah, aku nggak ngerti, Mas," tutur Kenanga seraya menahan tangis. Ia lega sekaligus takut saat Dio mengangkat panggilannya. "Dia tiba-tiba pingsan gitu aja. Sekarang dokter malah bilang dia udah meninggal pas di ambulance."

"Iya, kamu harus tenang," ujar Dio di seberang sana. "Mas sama Niko masih di jalan, sebentar lagi sampai. Kamu tenang, ya?"

"Aku bingung, Mas ...," desah Kenanga frustrasi.

"Kamu udah hubungi keluarganya?"

Kenanga menggeleng seraya mengusap pipi. "Tadi pihak rumah sakit yang menghubungi. Aku kenal dia, tuh, sebatas pelanggan aja, Mas."

"Ya udah kamu tenang. Tunggu Mas sama Niko, ya."

Pembicaraan mereka berakhir di sana. Kenanga meremas-remas jemari, memandang sekeliling koridor diiringi gejolak firasat yang kian memburuk. Sakit apa yang diderita Bianca selama ini? Apa penyakit itulah penyebab kematiannya? Sayang sekali, wanita itu masih sangat muda. Dokter berkata kemungkinan besar diakibatkan karena serangan jantung dadakan.

"Kenanga."

Tanpa pikir panjang, Kenanga menubruk laki-laki itu, memeluknya erat. "Mas, Kak Bianca meninggal."

Kenanga tak peduli jika Dio merasa rikuh atau apa pun itu. Ia hanya terus bersyukur masih mempunyai tempat berkeluh kesah berwujud manusia. Laki-laki itu membalas pelukannya, mengusap-usap punggungnya lembut. Dugaannya benar, pelukan Dio Anggara Cokroatmojo sehangat perapian ketika musim dingin berlangsung.

"Udah takdirnya, kamu nggak perlu memikirkan itu terlalu jauh," ucap Dio yang sekarang berpindah mengusap rambutnya. "Niko, urus administrasinya."

"Mas, nggak tahu kenapa gue mendadak khawatir," tutur Juniko. "Ini yang meninggal Bianca Darmawangsa. Udah gitu di florist Kenanga."

Dio berdecak. "Udah, sana urus, jangan bikin Kenanga mikir yang aneh-aneh."

Juniko berkacak pinggang, lantas mengembuskan napas lewat mulut. "Bukan aneh-aneh, Mas. Masalahnya Darmawangsa sama kita—"

"Ko, udah." Dio mengarahkan dagu ke meja resepsionis. "Urus dulu administrasinya."

Seperginya Juniko, gadis itu merelai pelukan. Matanya yang merah bersinggungan dengan milik Dio yang masih setenang samudra.

"Ada apa sama Kak Bianca, Mas?" tanya Kenanga. Sekian detik terlewat, Dio hanya terus mengusap-usap bahunya. "Mas," panggilnya lagi.

"Nggak ada apa-apa, Ke. Kita nggak ada apa-apa sama Bianca. Cuma, dulu Eyang pernah punya masalah sama keluarga Darmawangsa."

"Mereka bakal nuntut aku?"

Dio menggeleng cepat. "Nggak ada yang bisa nuntut kamu. Jangan mikir terlalu jauh, ini cuma kematian mendadak yang Mas yakini karena takdir."

Mendengar itu, Kenanga mengangguk pelan. Kemudian ia meraih tangan Dio. "Aku nggak punya siapa pun ...."

"Kamu punya Mas," potong Dio.

"Iya ... karena itu jangan pernah tinggalin aku, Mas," pinta Kenanga dengan suara bergetar. Air matanya sekarang meleleh tanpa alasan. Pandangan mereka bersinggungan cukup lama hingga Dio mengangguk sekali. Kemudian ia menarik sepupunya itu ke dalam dekapan.

Dulu, dirinya pernah meninggalkan Ditha di titik ketakutan dan kekalutan terhebat. Sekarang ia tak akan meninggalkan Kenanga.

***

Kenanga tak juga mendapat kabar pemakaman Bianca. Sewaktu bertemu keluarga gadis itu di rumah sakit pun, ia tak banyak mengobrol dengan orang tua Bianca. Ia sebatas menyapa kemudian pulang dan meminta dikabarkan kapan pemakaman dilangsungkan. Mungkin apa yang Niko katakan benar, sebaiknya ia tak perlu menunggu. Sebab Eyang pernah punya masalah dengan keluarga besar gadis itu.

Omong-omong, tebakan Kenanga benar, mengenai Bianca adalah bagian dari Season to Remember alias sesama kaum old money. Namun, ia baru tahu mengenai masalah perebutan tanah kekuasaan antarkeluarga Darmawangsa. Gadis itu tak mengerti lagi kenapa dendam semacam itu bisa diwariskan. Ia bersandar pada sandaran sofa dan memulai sebuah panggilan.

"Kenapa, Ke?" tanya Dio di ujung telepon.

"Mas lagi di apartemen Kak Caca, ya?"

"Nggak."

Kenanga memandang ke arah jendela. Gedung pencakar langit masih berdiri kokoh dan angkuh. Mungkin gedung-gedung itu bisa diibaratkan seperti keluarganya, seperti orang-orang yang terlahir di lingkungan kaum old money. Mereka terlihat sebagai simbol kekuatan dan kekuasaan, tetapi mereka adalah sumbangsih terbesar rusaknya tatanan ekosistem.

"Temenin aku tidur, Mas ... pelukin sampai aku nyenyak," pintanya sembari memeluk kedua kaki.

"Ngaco kamu."

"Nggak tahu kenapa aku selalu merasa takut belakangan ini. Aku lupa kapan bisa tidur nyenyak," tuturnya penuh kejujuran.

Tiba-tiba bel pintu terdengar sangat tidak manusiawi. Ia melirik jam dinding, masih pukul 19 Siapa yang bertamu? Kenanga tak membuat janji dengan siapa pun.

"Mas, ada tamu, nih. Nanti aku telepon lagi wajib diangkat, ya."

Kenanga beranjak membuka pintu, lalu mematung bahkan hampir lupa bernapas. Ketakutannya kini semakin menjadi-jadi. Untuk apa sejumlah polisi berdiri di ambang pintu apartemennya?

"Saudari Bunga Kenanga Cokroatmojo. Anda kami tangkap sebagai tersangka pembunuhan Bianca Indira Darmawangsa."

***

Seperti biasa segala hal yang belum jelas di sini akan dijelaskan di bab depan ya.

Terima kasih masih menemani Cakra Kenanga ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top