25. Kepada Sebuah Kejujuran

"Mas Beno," panggil Kenanga.

Laki-laki itu mengangkat kepalanya, lalu tersenyum lebar. Terhitung kali keduanya mereka bertemu. Benjamin Noverdy adalah sosok yang menyenangkan. Di pertemuan pertama, laki-laki itu beberapa kali membuatnya tertawa saat diskusi. Tadinya Kenanga pikir laki-laki bernama Benjamin pasti memiliki wajah mengerikan atau setidaknya bercambang suram.

"Dekorasi Mbak jempolan, nih," tutur Beno seraya menunjukkan layar ponselnya. "Sasha pasti nangis lihat ini."

Mata Kenanga menyipit, kemudian ia menyilangkan tangan di dada. "Jadi Mas Beno susah payah bikin kejutan kayak gini, cuma buat bikin perempuan nangis?"

Tawa Beno pecah. "Bukan, bukan, maksudnya saya suka ngasih dia kejutan, tapi dia minim banget ekspresi. Sesekali pengin lihat dia nangis haru kayak di drama-drama gitu. Semua pacar temen saya kayak gitu kalau dikasih kejutan."

Kali ini giliran Kenanga yang tertawa.

"Kalau menurut saya, sih, Mbak Sasha itu bukannya nggak bisa terharu, Mas. Cuma dia, tuh, bukan tipikal perempuan yang mau nunjukin air matanya aja, kok."

Beno memiringkan kepala, tampak tengah menyelisik wajah Kenanga. "Sebenarnya yang tunangannya Sasha itu saya atau Mbak Bunga?"

Gadis itu malah mengangkat kedua bahu.

"Jadi ... ada apa, Mbak Bunga? Mbak nyari saya, kan?"

Mata Kenanga melebar. "Mas Beno tahu aku nyariin?"

"Tahu, Mbak mau tanya kapan saya bayar sisanya, ya?"

Kedua tangan Kenanga bergerak di depan dada. "Bukan, bukan soal itu. Santai aja, Mas. Saya ... cuma mau tanya Mas Beno dapat rekomendasi dari mana?"

"Dari teman saya. Bukannya saya udah bilang?"

"Iya, maksudnya ... siapa gitu? Barangkali salah satu pelanggan saya, soalnya mau saya kasih diskon. Lagi pula kalau saya tahu namanya dan ternyata bukan pelanggan saya itu nggak akan jadi masalah, kan?"

Satu sudut bibir Beno tertarik samar. Prediksi Cakrawala Pradipta benar, sekarang gadis itu mendesaknya. Akan tetapi, bukankah Cakra meminta Beno merahasiakan identitasnya? Lantas nama siapa yang harus ia sebut?

"Mas Beno ... teman Mas Dipta, kan?" Kenanga mengangkat jaket dalam dekapannya. "Dia tadi nitip ini, padahal saya udah lama nggak bertukar kabar sama dia."

"Kalau nyatanya dari orang lain, gimana? Pelanggan Mbak cuma Dipta?"

"Dari ciri-ciri yang Ani sebutkan, saya yakin itu Mas Dipta. Kalau Mas Beno nggak mau jawab nggak apa-apa."

Dipta satu-satunya pelanggan When The Flowers Talk yang berjenis kelamin laki-laki dan tunawicara. Aroma pada jaket ini pun persis parfum Dipta. Kemungkinan apalagi yang mau Beno paparkan?

"Iya, saya dapat rekomendasi dari Dipta," ujar Beno seraya menyunggingkan senyum.

"Kalau gitu sampaikan terima kasih saya buat Mas Dipta."

"Bilang langsung aja, Mbak."

***

From: Bunga Kenanga
Mas Dipta apa kabar? Semoga Mas baik-baik aja dan sehat.
Aku mau bilang makasih banget karena udah merekomendasikan jasa dekor aku ke temennya Mas. Kalau nggak sibuk, aku mau ngajakin Mas ke Taman Suropati lagi hari Sabtu jam 7.

To: Bunga Kenanga
Kabar saya baik. Saya agak sibuk minggu ini. Maaf.

From: Bunga Kenanga
Boleh minta alamat tempat tinggal?

To: Bunga Kenanga
Saya cuma melakukan hal kecil dan itu cuma kebetulan. Kamu nggak perlu merasa berutang budi atau semacamnya.

From: Bunga Kenanga
Iya, tapi itu berharga buat aku.
Aku minta maaf kalau punya salah sama Mas. Aku nggak bermaksud apa-apa.

Cakra menyandarkan punggung pada kursi, lantas mengembuskan napas keras. Padahal ia yang mengabaikan pesan itu selama berhari-hari, tetapi ia juga yang merasa bersalah dan berulang kali membacanya. Konyol sekali.

"Kepolisian belum bisa melacak keberadaan dia?" tanya Cakra kepada Rudy

"Belum, Pak," jawab Rudy.

Lagi-lagi Cakra mengembuskan napas keras. Ia memijat-mijat pelipis, lalu menunjuk brankas berkas perkara yang terkunci di atas mejanya. "Seharusnya dia sudah dieksekusi mati di sana."

"Kepolisian akan segera memberi tahu kita, Pak."

Rudy merupakan asisten jaksa sekaligus penyidik. Dia lebih dulu menemani Pak Adam sebelum menemani perjalanan karier Cakra. Tugasnya membantu jaksa mencari barang bukti lain, termasuk terjun ke TKP kalau perlu.

Cakra tiba-tiba menegakkan tubuhnya. "Kemarin dia masih di Lapas IIA Kembangkuning, kan Rud?"

"Dia dipindahkan ke Lapas IIA Besi, Pak. Karena—"

Cakra menggaruk sebelah alis, lantas mengangkat sebelah tangan. Kepalanya mau pecah karena mendengar Jason Sirait pindah lapas, tetapi mereka terlambat memberi tahu. Pantas saja narapidana itu bisa kabur. Rupanya petugas lapas belum mengenal seberapa cerdiknya Jason Sirait.

"Sudah salat kamu?"

Rudy meringis. "Belum, Pak."

"Saya mau ke musala," ujar Cakra sambil melepas arloji.

Pada akhirnya Rudy mengikutinya meninggalkan ruangan. Dalam perjalanan menuju tempat ibadah, Cakra terus memikirkan Jason Sirait yang berhasil kabur. Ia khawatir pembunuh berantai itu memakan korban lagi. Kalau Amerika punya Ted Bundy, lalu Inggris punya Jack The Ripper, maka ia punya gabungan keduanya. Bisa dibilang Jason Sirait adalah malaikat pencabut nyawa paling menawan senusantara. Tak heran kenapa korban yang berjatuhan berjenis kelamin perempuan semua.

Sebelum Jason Sirait, sudah ada lima narapidana legendaris yang berhasil kabur dari Nusakambangan. Di antaranya, Jhony Indo 1982, Saman Hasan Zadeh Leli 2016, lalu ada Hendra bin Amin, Agus Triyadi bin Masimum, dan Darmo bin Sukandar di tahun 2017.

"Kalau saya rasa, Jason masih ada di hutan bakau, Pak," kata Rudy begitu mereka melintasi koridor kantor.

"Saya juga berpikir begitu," sahut Cakra dengan pandangan menerawang. "Semoga besok kita bisa menemukan dia."

Nusakambangan dikenal sebagai Alcatraz-nya Indonesia. Pulau tersebut hanya dihuni para narapidana dan pegawai lapas beserta keluarganya, di bawah pengawasan Kementerian Kehakiman dan Pemerintah Kabupaten Cilacap. Terdapat sembilan lapas di sana, tetapi yang beroperasi sekarang hanya empat. Lapas Batu, Lapas Besi, Lapas Kembangkuning, dan Lapas Permisan.

Tadinya Jason Sirait hendak dikirim ke Lapas Batu, tetapi batal karena penuh. Konon beberapa terpidana mati kasus terorisme pernah menghuni lapas tersebut. Antara lain Imam Samudra, Amrozi, dan Ali Gufron. Ketiganya dihukum karena mengorganisasi tragedi Bom Bali pada 12 Oktober 2002 yang menewaskan 203 korban. Mereka dieksekusi mati di Nusakambangan pada 9 November 2003.

To: Bunga Kenanga
Taman Suropati Sabtu jam 7, tapi saya nggak janji.

Baiklah, laju logika Cakra tampaknya bukan hanya melambat, tetapi mandek total usai mengirim balasan tersebut. Karena mobilnya kini tengah menelusuri jalan menuju When The Flowers Talk.

Tidak, ia tidak berniat mencari sang mantan kekasih. Akan tetapi, ia perlu membuang bagian Kenanga yang masih tersimpan apik. Mungkin kepalanya belum mampu melakukan hal itu, tetapi tangan dan kakinya mampu. Usai memarkirkan mobil, Cakra melangkah lebar-lebar sambil membawa sebuah kotak besar.

"Selamat datang di When The Flowers Talk, jika Anda kesulitan menyampaikan perasaan biarkan bunga yang bicara," sapa pegawai bernama Susi.

Cakra menarik topi hingga separuh matanya tertutup. Ia memberi anggukan, lantas mengacungkan kunci Loker Harapan di depan Susi.

"Oh, mau simpan barang, ya, Mas?" Susi mengajaknya ke sebuah ruangan yang pernah Kenanga tunjukkan. Tempat di mana semua kebodohan ini berkembang pesat.

"Susi tinggal, ya, Mas."

Setelah yakin Susi meninggalkannya sendiri, ia berjongkok meletakkan kotak besar yang sejak tadi dibawa. Satu per satu kotak-kotak berukuran sedang itu Cakra susun rapi di dalam loker nomor 13. Empat kotak tersebut berisi benda-benda serta surat dengan tanggal yang sama. Ketika menutup kasar si pintu loker, laki-laki itu merasa jauh lebih bodoh karena menyadari bahwa ia belum sepenuhnya membuang bagian Kenanga. Ia justru mengantarkannya secara tidak langsung kepada si penerima.

***

From: Bunga Kenanga
Aku udah sampe di taman, kabarin kalau Mas bisa atau nggak bisa datang. Oh, ya, aku duduk dekat air mancur.

Pesan tersebut masuk ketika Cakra memasuki kawasan parkir Taman Suropati. Ia membuka pintu mobil, kemudian bersandar pada kapnya. Entah karena cuaca buruk atau rencana semesta, setiap ia menginjakkan kaki di taman ini gerimis pasti selalu turun. Ia akhirnya merogoh ponsel, tadinya ingin menelepon Kenanga, tetapi sesaat kemudian ia ingat kalau sedang menjadi Dipta. Lampu taman merupakan satu-satunya pencahayaan. Para pengamen masih setia memetik gitar, sedangkan para pedagang asongan mulai mencari tempat meneduh. Gadis itu berdiri di sana, memandangi sekeliling lantas tersenyum lebar ketika mata mereka bertemu.

Bisa Cakra tebak paper bag di tangan Kenanga pasti berisi tiramisu buatan Atmojo Queendom Kafe. Gadis itu mengenakan sweter merah muda, rok selutut serta rambut panjang tergerai menutupi bahu. Tampak pucat dan manis di saat bersamaan. Cakra mendekat tanpa ragu, kemudian mengulurkan sebelah tangan sambil menyodorkan ponsel.

Saya antar kamu pulang, ya? Ada yang ingin saya bicarakan juga di mobil.

Kalimat ajakan tersebut membuat senyum Kenanga menyusut. Mereka sudah dua kali berkunjung kemari, kenapa gerimis masih juga menghalangi? Kenapa langit enggan berubah cerah barang 20 menit saja? Ayolah, ini Sabtu malam dan Kenanga sudah memakai warna pakaian paling cerah. Ia memandang sekeliling lagi, menyayangkan momen yang harus sia-sia karena tetesan hujan. Walau setengah hati, ia tetap menyambut uluran Dipta.

"Mas, aku ada salah, ya?" tanya Kenanga yang sedikit mendongak, mencoba mencari jawaban lewat sorot mata laki-laki itu. Lantas sebatas gelengan singkat adalah jawaban yang ia dapatkan.

"Kamu ... kayaknya kesal banget sewaktu kita chatting kemarin," gumam Kenanga sambil menikmati gerimis lewat telapak tangan yang terbuka.

Tahu-tahu mereka telah sampai, Dipta membukakan pintu untuknya. Begitu duduk, matanya terpaku pada gantungan bentuk rumah gadang yang menghiasi kunci mobil. Mereka berada dalam kecepatan normal. Namun, degup jantung Kenanga justru berubah tak keruan. Ia seakan-akan pernah menjumpai pemandangan dan momen ini, tetapi entah kapan.

Gadis itu memperhatikan keseluruhan bagian mobil, mencoba memunguti kepingan memori. Kini pandangannya tertambat pada laki-laki yang mengendalikan setir. Guratan kekecewaan terbaca jelas di sana, tetapi tak tahu karena apa. Lama-lama mobil menepi, firasatnya pun memburuk seketika.

"Ada apa, Mas?" tanya Kenanga. Gadis itu berusaha keras menutupi kepanikan yang muncul tanpa sebab dalam nada suaranya.

Laki-laki itu melepas setir, mengubah posisi duduk. Mereka kini saling berhadapan dan Kenanga semakin tak mengerti dengan firasatnya. Alih-alih mengetik, lalu menunjukkan layar ponsel seperti biasa, Dipta malah mengusap bagian belakang telinga. Tatapannya lurus menembus relung hati. Kemudian kulit wajahnya mengelopak perlahan hingga Kenanga kesulitan mengontrol napas. Ia menjumpai wajah lain di balik sana.

"Dia nggak akan pernah datang. Dia nggak pernah ada."

Kenanga segera beralih, memegangi pelipis sekaligus menyembunyikan tangis. Pantas saja mobil ini terasa familier. Pantas saja ia bisa menerima laki-laki asing dengan mudah. Pantas saja banyak kesamaan yang sulit ditelaah.

Atas nama pelangi setelah hujan, kenapa harus Cakra yang ada di sini? Semesta seakan-akan mentertawakannya bersama kebodohan yang selama ini ia percaya. Takdir mereka lebih lucu dibanding drama kacangan.

"Dipta. Cakrawala Pradipta," katanya. "Lupain Dipta karena yang ada cuma Cakrawala Pradipta."

"Apa tujuan kamu ngelakuin ini?" tanya Kenanga dengan suara seraknya. Cakra terdiam. "Kamu tahu? Aku nggak percaya kamu sejahat ini ... kamu pikir ini bahan lelucon?"

"Aku ... sayang sama kamu," tutur Cakra.

Kenapa ia selalu mendadak sangat tolol saat menghadapi Kenangan yang seperti ini? Cakra menggenggam erat setir mobil hingga urat di punggung tangannya menonjol. Ia ingin menjelaskan banyak hal, tetapi gadis itu langsung berteriak.

"Aku nggak mau dengar apa pun!"

Kenanga berpaling lagi, mengusap kasar pipinya. Demi Tuhan, ia enggan berurusan lagi dengan laki-laki itu. Gadis itu menarik kasar gagang pintu sambil menggigit bibir kuat-kuat.

"Buka pintunya," pinta Kenanga. Nada suaranya begitu dingin.

Cakra masih termenung, tangannya terjulur hampir menyentuh pipi gadis itu. Namun, sebuah tangan menampiknya kasar.

"Buka pintunya, Cakra!"

Jeritan tersiksa itu disertai pukulan kasar pada kaca. Cakra berpaling ke jalanan tanpa menyahut. Ingin sekali rasanya menahan Kenanga di sini, di sisinya.

"Aku baru sadar, selama ini mungkin bukan kamu yang salah. Tapi, aku yang salah pernah mengenal dan memercayai kamu!" tukas Kenanga disusul bantingan pintu.

***

Makasih banget buat kamu yang masih menemani Cakra Kenanga sampai bab ini. Sekali lagi, terima kasih banyak ❤️ See ya in the next chap!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top